Quantcast
Channel: FROM ACEH WITH LOVE
Viewing all 268 articles
Browse latest View live

5 Hal Unik Tentang Aceh [On Media]

$
0
0

Aceh, provinsi yang terletak di ujung barat Indonesia. Sebagai ibukota provinsi, Banda Aceh merupakan salah satu kota tertua di Indonesia dengan usia 812 pada 22 April lalu. Ada begitu banyak hal unik tentang Aceh yang perlu diketahui. Selain memiliki satu-satunya museum tsunami tercanggih yang ada di Asia Tenggara, Aceh memiliki begitu banyak keunikan menarik lainnya. Berikut adalah sebagian catatan keunikan Aceh yang dirangkum oleh kontributor Linkers asal Aceh, Yudi Randa.

Wanita Aceh Menduduki peringkat kedua Mahar Termahal di Indonesia


hanya ilustrasi, Photo pakaian adat Suku Gayo yang ada di Aceh Tengah.
Banyak yang mengakui bahwa gadis Aceh terkenal dengan kecantikan parasnya. Perpaduan aneka ras penduduk dunia bertemu di Aceh. Mulai dari etnis Thionghoa, India, Eropa, dan Arab. Sangat jelas percampuran unik ini menjadikan wanita Aceh, terkenal akan kecantikannya yang unik. Namun kecantikan datang dengan harga yang mahal. Mahar untuk melamar seorang wanita Aceh bisa dikatakan kedua termahal di Indonesia.

Apa itu mahar? Emas kawin atau harta yang diberikan oleh pihak mempelai laki-laki (atau keluarganya) kepada mempelai perempuan (atau keluarga dari mempelai perempuan) pada saat pernikahan. Istilah yang sama pula digunakan sebaliknya bila pemberi mahar adalah pihak keluarga atau mempelai perempuan.

Secara hitung-hitungan rupiah, mahar wanita Aceh menduduki posisi kedua termahal di Indonesia setelah wanita suku bugis yang ada di Makasar.

Mahar di Aceh dihitung dalam hitungan satuan Mayam. Satu mayam emas bila dikonversi ke satuan gram maka akan menjadi 3,33 gram emas murni 24 karat. Nah, kisaran harga mahar wanita di Aceh berkisar dari 5 mayam emas hingga 30 mayam emas. Bahkan di beberapa lamaran tak jarang ditemukan 50 mayam emas. Jika dihitung harga per gram emas di Aceh sekitar Rp550.000 sudah termasuk ongkos pembuatan maka satu mayam adalah sekitar Rp1.831.500.

Jika ingin melamar seorang wanita Aceh dan pihak calon mempelai wanita meminta 20 mayam emas, maka artinya seseorang yang akan melamar tersebut harus membayar sekitar Rp36.630.000 dan itu belum termasuk biaya pernikahan, seserahan dan sebagainya. Tentunya bila dilihat dari sisi positifnya, sang pelamar terlihat keseriusannya saat melamar seorang wanita Aceh pujaan hatinya.

Aceh Memiliki Dua Warisan Dunia Non Benda 


Salah satu lanskap Kawasan Ekosistem Leuser
Terhitung sejak bulan Juli tahun 2004 lalu, sesaat sebelum gempa dan tsunami, UNESCO (United Nations Educational, Scientific and Cultural Organization) menetapkan dalam sidang ke-28, bahwa Hutan Hujan Tropis Sumatera sebagai warisan dunia non benda menyertakan Taman Nasional Gunung Leuser yang 70% luas hutannya berada di provinsi Aceh termasuk didalamnya.

Taman Nasional Gunung Leuser bahkan digadang-gadang sebagai  salah satu wilayah konservasi yang paling penting di muka bumi. Bagaimana tidak, di sinilah satu-satunya di dunia Badak, Orangutan, Gajah dan Harimau Sumatra liar hidup di dalam satu kawasan.

Lalu pada tahun 2011 lalu, harta warisan dunia non benda di Aceh kedua kembali ditetapkan oleh UNESCO. Sebuah tari tradisional Aceh yaitu Tari Saman sebagai salah satu Warisan Dunia Non Benda kedua untuk negeri para raja ini.

Bukan tanpa sebab dunia ingin mengabadikan Tari Saman sebagai salah satu warisan. Tarian yang hanya boleh ditarikan oleh kaum adam ini, telah menjadi darah daging dan diwajibkan turun temurun bagi masyarakat suku Gayo, Aceh. Jika Citilinkers berkesempatan kembara hingga ke Kabupaten Gayo, cobalah untuk minta anak-anak berumur 5 tahun untuk “bersaman” dijamin mereka akan langsung duduk dan mulai menarikan Tari Saman dengan baik.

Pahlawan Wanita Terbanyak Di Indonesia Atau Mungkin Dunia?


Replika Rumah Cut Nyak Dhien Di Aceh Besar
Tahukah Citilinkers bahwa beberapa pejuang wanita di Aceh masuk dalam jajaran 7 Warlord Women in The World? Dua dari tujuh Jenderal perang wanita di dunia mencatat nama Laksamana Keumalahayati dan Commander Cut Nyak Dhien. Keduanya tentu sudah tidak asing bagi mereka penggila sejarah negeri ini.

Bahkan, kedua jenderal wanita tersebut masuk dalam jajaran 10 Best Female Warrior at All Time dan Women Warrior in South East Asia.  Dalam literature sejarah Aceh dan Nasional tercatat setidaknya, ada 11 orang wanita di aceh yang tercatat dalam lintasan sejarah sebagai pahlawan wanita di negeri ini.

Mulai dari era Kesultanan Samudra Pasai, kesultanan Aceh Darussalam hingga perang jaman kolonial Belanda. Berikut adalah nama para pahlawan wanita pemberani tersebut; Ratu Nahrisyah, Sri Ratu Tajul Alam Safiatuddin Syah, Sri Sultan Nurul-Alam Naqiatuddin Syah, Sultanah Inayat Zakiatuddin Syah, Ratu Kamalat Zainatuddin Syah

Laksamana Malahayati atau “Keumalahayati”, Cut Nyak Dhien, Cut Meutia, Pocut Baren, Pocut Meurah Intan, dan terakhir seorang ulama besar wanita bernama Teungku Fakinah.

“Dari pengalaman yang dimiliki oleh panglima-panglima perang Belanda yang telah melakukan peperangan di segala penjuru dan pojok Kepulauan Indonesia, bahwa tidak ada bangsa yang lebih pemberani dalam perang serta fanatik, dibandingkan dengan bangsa Aceh. Kaum wanita Aceh melebihi kaum wanita bangsa lainnya, dalam keberanian dan tidak gentar mati. Bahkan, mereka pun melampaui kaum laki-laki Aceh yang juga dikenal pemberani dalam mempertahankan cita-cita bangsa dan agama mereka” sebuah pernyataan dari HC Zentgraaf saat mendeskripsikan kehebatan kaum hawa di Aceh.

Ada 154 Gereja yang tersebar di seluruh provinsi Aceh


adat pernikahan Suku Batak yang berlangsung di Aceh Tenggara. Mereka masih memegang teguh agama dan budaya aslinya. 
Aceh merupakan satu-satunya provinsi di Indonesia yang menjalankan hukum Syariat Islam sebagai hukum pemerintahannya disamping UUD Indonesia. Lantas, timbul pertanyaan tentang bagaimanakah nasib umat beragama lainnya? Apakah mereka bisa beribadah di Aceh?

Aceh telah menjadi sebuah negeri yang heterogen jauh sebelum Jakarta berdiri. Mulai dari jaman kegemilangan sultan Iskandar Muda, hingga masa setelah tsunami. Aceh tetap mengakomodir umat non muslim. Ada 154 gereja yang tersebar di 12 kabupaten dan kota di seluruh Aceh.

Bukan hanya umat kristiani, bahkan Budha, Hindu, dan Khonghucu memiliki tempat ibadahnya masing-masing. Di sinilah kemudian terbukti bahwa toleransi bukanlah sekedar konsep namun gaya hidup. Pemerintah Aceh menjamin kehidupan beragama di wilayahnya dengan undang-undang daerahnya. Hampir rata-rata letak rumah ibadah selain masjid berdiri di pusat kota.

Pelabuhan Tercanggih di Indonesia pada era kolonial


Kesultanan Aceh memang merupakan negeri yang takluk paling akhir di nusantara. Namun hal tersebut tak berarti membuat Belanda tak ingin membangun Aceh seperti kehendaknya. Belanda menyadari, letak Aceh yang begitu strategis yaitu sebagai pintu masuk selat Melaka. Pulau Weh yang beribukota Sabang merupakan pulau terdepan yang memiliki posisi strategis untuk pelabuhan kapal-kapal besar yang melintasi selat tersebut.

Pelabuhan Sabang, kini. Foto : Yunaidi (www.ranselkosong.com)
Tahun 1881, sebuah perusahaan Belanda membangun pelabuhan besar Sehingga pada tahun 1899 Pelabuhan Bebas Sabang yang bertaraf international dibuka untuk umum. Pelabuhan alam terbaik ini, kala itu sudah memiliki Fasilitas derek bongkar muat yang begitu modern. Pelabuhan dengan fasilitas tenaga listrik merupakan pertama dan satu-satunya di Indonesia. Tidak hanya sudah menggunakan sistem listrik, tersedia juga stasiun batu bara, Floating Dok atau Doking Kapal Terapung hingga rumah sakit yang dapat menampung 1500 pasien. Fasilitas medis yang lengkap dengan asrama para dokter dan tenaga medisnya.

Sejarah di kerajaan negeri Belanda mencatat, bahwa pendapatan dari Perusahaan Pengelolaan Pelabuhan Sabang masa itu. Belanda mampu untuk terus membiayai biaya perang melawan pejuang Aceh yang berada di kota Banda Aceh.

Ingin tahu hal unik apalagi yang terdapat di Aceh? Silahkan Citilinkers siapkan liburan bersama keluarga untuk pergi mengunjungi negeri raja di ujung barat Indonesia. Ayo main ke Aceh!


&&&

**keterangan, Foto paling atas adalah pintu gerbang Masjid Baiturrahman Banda Aceh. By : Anton Chandra**

=============================================================================

Tulisan ini telah di muat di Flight Magazine Linkers Citilink Edisi Mei 2017 dengan Tema Aceh. Jikaingin membaca versi e-magazine silahkan ke link yang telah saya cantumkan di atas. Terima Kasih





Sabang Coral Day 2017, Belajar Konservasi dari Hutan Ke Laut

$
0
0

Yaks..rasa-rasanya saya ingin muntah. Mengeluarkan semua isi perut. Perjalanan panjang menuju Gayo Lues menjadi sebuah keputusan yang mungkin saya sesali. Sungguh! Tak pernah sekalipun saya membayangkan akan menikmati jalanan yang tak ada jalan lurusnya ini. Naik turun, berkelok, lalu memutar membuat saya seperti naik roller coaster.

Bagi saya, konservasi adalah sebuah dunia yang sama seperti Aceh itu sendiri. Dia, unreachable. Dia, seperti sebuah mahkluk, ada tapi tiada. Tiada, tapi dia ada. Begitulah. Saya harus memutar otak untuk memahami apa itu konservasi, dan semua istilahnya.

Bahkan, didalam perjalanan menuju ke kawasan Hutan Leuser, saya baru tahu ternyata luas hutan Leuser itu lebih luas sebarannya di Aceh dibandingkan di Sumatra Utara. Saya sempat bertanya kepada Pimpinan Program, dengan polosnya saya memberanikan diri, lalu pada akhirnya saya menyesali kepolosan saya.

“Mbak, maaf, dari tadi mbak dan kak cut membicarakan Biodiversity. Itu apa ya mbak?” serentak, keadaan didalam mobil yang melaju bak ular tangga ini terdiam. Lalu sepertinya keadaan mulai slow motion. Semuanya seakan memandangi saya, sambil berkata, ini anak dari mana sih? Kok biodiversity aja nggak paham ya?

“Yudi, tahu keanekaragaman hayati?”
“Tahu Mbak..”
“Ya udah,  biodiversity itu keanekaragaman hayati”
“…”

Gajah Sumatra, yang menjadi endemik hutan Aceh. 
Begitulah, awal mula saya memutuskan untuk mempelajari dunia konservasi. Saya tak ingin terlihat seperti kejadian konyol kala perjalanan menuju ke Gayo Lues. Saya ini, sungguh tak suka bila harus jalan-jalan ke hutan. Sampai akhirnya saya harus “berwisata” ke dalam hutan. Lalu, semuanya berubah. Saya, jatuh cinta kepada dunia Konservasi!


Saya semakin menyukai hutan tatkala memahami bahwa ilmu konservasi tak jauh berbeda dengan ilmu supply chain managementseperti yang saya pelajari di kampus dahulu. Pun saya semakin jatuh cinta saat  saya memahami, bahwa menjaga hutan akan membuat Laut, tetap cantik. Ah, How Wonderful Life it is…

Dari Hutan Turun ke Laut

Ka deup nyo hancoe donyanyoe neunging keubit dengoen mata hate oh wareh e..
(sudah begitu rusak bumi ini, lihatlah dengan sungguh-sungguh, lihatlah dengan mata hati wahai saudaraku)

Oh wareh e..
(oh saudaraku..)

Peu yang nyang ta pubuet ka rap bandum hannjeut keu but ateuh bumoe nyang ka dimoe oh wareh e..
(apa yang telah kita perbuat, hampir semuanya sia-sia di atas bumi ini. Menangis bumi ini, oh saudaraku)

Oh wareh e.
(oh saudaraku..)

Peu jioh bala, peu jioh..
(jauhkanlah bala, jauhkanlah..)

Peu jioh bala, peu jioh..
(jauhkanlah bala, jauhkanlah..)

Bumoe..
(bumi..)

Bumoe..
(bumi..)

Jimoe ba-e..
(menangis dia..)

Jimoe ba-e..
(menangis dia..)

Musik etnik yang dilantunkan dengan nada sendu dan meraung-raung seperti orang menangis, menghiasi perjalanan saya ke pelabuhan Ulee Lheue. Pagi itu, antara senang, bahagia tapi sedih nan mendalam. Saya harus ke pulau Weh, memenuhi undangan acara Sabang Coral Day 2017


Seru? Pasti. Lantas kenapa sedih? Karena saya akhirnya sadar, kalau kondisi karang di pulau terbarat Indonesia ini dalam tahap yang cukup mengkhawatirkan.

Bagi saya yang orang Aceh, menjaga Pulau Weh (lebih dikenal dengan nama Sabang) dengan segala isinya, sama seperti mempertahankan identitas Aceh sebagai negeri bahari.
Saya sempat bingung kala beberapa blogger sibuk menggaungkan Save Shark. 

Apa pentingnya menyelamatkan Hiu? Ikan pemangsa yang suka menganggu manusia? Ternyata, setelah saya pelajari, hiu, hanya memangsa ikan-ikan yang sakit di lautan. Bila ikan tersebut mati karena penyakit, maka penyakitnya akan menyebar, lalu akhirnya? Tak ada lagi ikan di laut.  Sesimple itu? Iya. Sesimple itu! Hiu adalah predator puncak dalam dunia rantai makanan. Dia adalah pengontrol keseimbangan kehidupan ikan dilautan. Lalu, kamu mengangkapnya hanya untuk siripnya? Sungguh kau tak tahu diri!

Inilah pintu masuk selat Melaka, Dan kapal-kapal besar sedang melintas
Pun begitu dengan coral, alias terumbu karang. Tumbuhan lunak ini menjadi penentu kehidupan seluruh Pulau Weh. Percaya tidak percaya, suka tidak suka, lestari tidaknya tumbuhan terumbu karang ini benar-benar menjadi penentu kelangsungan hidup penduduk kota Sabang. Kota yang terkenal dengan wisata baharinya ini, bukan hanya mengandalkan keindahan terumbu karangnya, akan tetapi juga kelestarian dan kesehatan terumbu karang tersebut.

Acara yang berlangsung selama 3 hari 2 malam ini, berhasil membuat saya paham (walau dasar sekali) mengenai konservasi terumbu karang. Saya menyadari, kalau keadaan hutan di pulau weh, pun menjadi penentu kelangsungan hidup terumbu karang.

Saya akan mengambarkannya dengan mudah, ketika kayu terakhir di Sabang punah, maka air hujan yang turun akan langsung masuk ke laut lengkap dengan lumpur. Lumpur-lumpur itu akan mengendap di dasar laut, pantai, dan akan menutupi sebagian besar karang. Lalu akhirnya? Karangpun punah dan rusak. Ini belum lagi dengan factor  coral bleaching yang disebabkan oleh naiknya suhu air laut. Pemutihan karang ini juga akan membuat kekayaan laut Sabang akan punah.

Sekali lagi, inilah simbiosis mutualisme kehidupan yang telah diatur dengan baik oleh Tuhan. Dan, inilah konservasi. Se-simple ini ternyata. Kita saling menjaga. Bukan saling merusak.

Saya, harus jujur, terpukau dengan beberapa diver dari Jakarta kala menjelaskan keindahan laut Indonesia. Mulai dari Pulau weh, sampai ke raja ampat. Pun, saya harus menahan kesal kala mereka menggoda agar segera mengambil lisensi diving. Ya Tuhan..

Jangan tanya betapa sakitnya hati ini melihat mereka bisa diving di Sabang. Credit Foto : Bang Darma 
Melihat mereka diving sembari melakukan penanaman terumbu karang, sedangkan hanya bisa diving-diving manja diatas mereka. Itu pun saya lakukan sembari tetap memegang life jacket orange itu kemana-mana. Sudah, jangan tanya betapa malunya saya sebagai anak pesisir Aceh tapi diving pake pelampung.

Acara yang berlangsung cukup padat dan dilaksanakan di Pantai Sumur Tiga cukup menarik. Apalagi bagi saya blogger abal-abal sok traveler dan sok paham konservasi. Kalau ke hutan takut pacat, kalau ke laut tak bisa berenang. Lalu? Saya mau jadi apa sebenarnya.

Perairan pulau weh yang dihuni 3.000 spesies baik terumbu karang maupun ikannya dimana 538 diantaranya adalah jenis ikan hias. Menjadi penompang hidup untuk 31,355 jiwa penduduk Sabang, (statistic 2011) dan sebagian penduduk kota Banda Aceh.

Moray Eel di laut Pulau Weh, credit By : Kak Mimma
Saya masih mencoba melantunkan lagu yang dinyanyikan oleh Rafli, penyanyi local Aceh. Bumi telah menangis. Hati saya, tersayat-sayat. Menangis sejadi-jadinya. Tersedu-sedu mengingat keadaan hutan Aceh yang sudah kritis, saya menangisi keadaan laut Aceh yang juga tak kalah kritisnya. Tapi, saya patut berbangga. Ditengah kerusakan yang melaju cukup deras ini, masih ada anak-anak muda Aceh yang berusaha menahan laju kerusakan Aceh, baik di hutan maupun di laut.

Sabang coral day 2017, menjadi salah satu bukti bahwa, masih ada pemuda-pemuda Aceh yang peduli akan dunia konservasi laut. Sekarang sudah baik, tapi ke depan, harus lebih baik lagi. Oh wareh e..

Yups, bersama kak Taufan Gio owner www.Disgiovery.com
Credit Foto : Kak Mimma

Cerita Dibalik Menjadi Artis Di Vlog Anji Drive

$
0
0

Syahdan, di sudut kota Banda Aceh, di sebuah warung kopi, duduklah dua gadis remaja yang tak henti-hentinya memperhatikan saya. Kalian boleh mengatakan kalau saya baper, tapi, saya mengenal salah satu diantara keduanya.

Ona namanya, gadis ini, seingat saya dia masih mahasiswi tingkat awal, duta wisata Aceh Besar, dan pemudi yang cukup aktif di Banda Aceh. Saling lempar senyum dimulai, dan ketika saya hendak beranjak pulang sambil membayar tagihan kopi sanger arabika Gayo,

“Bang, udah lama? Kok sendirian? Kakak mana?” ia memulai pertanyaan paling template yang akhir-akhir ini sering ditujukan ke saya. hampir setiap saat, bila ngopi, saya sering membawa anak-anak dan istri. Jadi wajar bila akhirnya Ona menanyakan hal tersebut.

“di rumah, lagi masak” jawab saya sekenanya saja. Mana mungkin saya tahu istri saya sedang apa di rumah ibunya. Toh, saya juga sudah keluar sedari pagi, dan menjelang sore baru balik ke rumah. Laki macam apa saya ini, kan?

“Bang, kawan Ona penasaran sama abang. Dari tadi dia tanyain abang itu siapa, kayaknya dia sering lihat katanya” Ona tertawa cekikan ketika menyampaikan maksud dari teman sebangkunya itu.

“Muka abang kan pasaran. Mirip Irwan Djohan ( Wakil Ketua DPR Aceh) lah, atau mau bilang abang mirip gitaris wali, Apoi?” lagi-lagi saya menjawab dengan sekenanya. Soalnya, dua nama yang saya sebutkan itu, selalu dikaitkan dengan muka saya yang mungkin memang penasaran. Pun, bukan sekali dua, ketika ada teman-teman baru dari Jakarta, mereka akan menanyakan apakah saya ada hubungan darah dengan Apoi? Atau bila ada teman baru di Aceh, mereka juga akan menanyakan apakah saya ada hubungan darah dengan bang Irwan Djohan. Ah, dunia…

coba lihat baik-baik, apakah saya mirip gitaris Band Wali???
“Bukan bang, abang yang di vlog Anji Drive kan?” Teman sebangku ona yang saya tak tahu namanya itu akhirnya mengingat di mana ia pernah melihat muka saya yang rada-rada template ini. Dibilang muka Aceh, bukan. Dibilang muka arab, juga bukan. Dibilang mirip muka Thionghua, sudah pastilah nggak mungkin.

Nah, ini adalah hal baru bagi saya. setelah kejadian di sudut warung kopi itu, beberapa kali saya juga mendapatkan pertanyaan yang sama dari para dedek-dedek emesh penggemar Anji Drive. Itu lho, penyanyi tembang Oh Tuhan, Ku Cinta Dia, Ku Sayang Diaand soon and soon..

Di satu sisi, suka tidak suka, saya harus menerima kenyataan baru. Saya memang menjadi artis bintang tahu, eh, tamu di vlog anji Drive yang berjudul GANJA, KOPI & KEBIASAAN DI ACEH. Di sisi lain, saya harus siap-siap bisa menjelaskan kepada sang bidadari biru yang telah saya persunting 6 tahun lalu, bila tiba-tiba ada gadis remaja senyum-senyum kepada saya. Padahal saya tidak tahu dia itu siapa.

Dunia Manji, tempat bang Anji Ngevlog
Terkadang saya akan menjawab dengan enteng, “palingan dia penggemar Vlog Anji Drive, dek”. Kalau saya tidak menjawah demikian, dunia bisa berbalik guys. Saya bisa hammock-an di depan pintu kamar tidur selama satu bulan. Kan kacau dunia persilatan, kan?

Pun, beberapa teman, ada yang sampai iseng mention akun social media saya sambil menyematkan link Vlog tersebut. Ada pula yang meng-Screenshoot video itu. Mulailah gempar Banda Aceh (ini lebay..sumpah!)

Nah, di kesempatan kali ini, saya ingin membuka tabir mengenai Takdir yang membawa saya bisa hadir di Vlog salah satu penyanyi terkenal di Indonesia ini. Kenapa saya bisa nongol di vlog itu, kenapa harus saya yang terpilih? Bukan mereka yang lebih kompeten. Yang mukanya lebih menjual. Yang suaranya nggak se-fals saya. kenapa dan kenapa.. Oh Tuhaaan… ku cinta lidia, eh, ku cinta Yasmina…

jadi menurut loooo?
Saya, hari itu, ada event dari sebuah produk makanan cepat saji. Event organizer local bernama AK Production, yang kebetulan pemiliknya adalah teman saya, menjadi salah satu penyelenggaranya. Saya, diminta oleh AK Production, untuk membantu menyetir mobil artis. Saya yang kebetulan kosong, alias tidak ada kegiatan apa-apa, menyanggupi hal tersebut.

Seharian menjadi supir mobil artis Anji and Crew, membuat saya sedikit mengenal dengan para musisi dibalik Anji. Mulai dari Drumer sampai keyboardist-nya yang ternyata ia adalah Andy Machdar, keyboardist Band Stinky. Tahukan lagunya?

Di ujung acara, kala para artis ini hendak kembali ke bandara, di sebuah hotel di kota Banda Aceh, Anji, yang ingin membuat vlog mengenai Aceh, ia memanggil Qemal yang telah menjadi Tour Leadernya selama acara tersebut. Admin Instagram Kota Banda Aceh ini, diminta untuk berbicara mengenai hal-hal yang cukup sensitive tentang Aceh. Semisal ganja, gadis Aceh, dan syariat Islam di Aceh.

Ia tak berani. Lalu menyarankan agar Anji dan kameramannya memanggil saya. yang menurut Qemal lebih berani berbicara mengenai hal yang dimaksud. Dan, taraaa… jadilah saya ada dalam video tersebut.


Harus diakui, hal yang dibicarakan adalah hal yang paling sensitive di Aceh. Saya pun menyadari, akan terjadi pro dan kontra ketika saya menjawab pertanyaan-pertanyaan yang cukup tajam dari mas Anji. Dan, saya sudah mencoba menjawab sebaik mungkin. Sejelas mungkin. Seperti apa yang saya ketahui selama ini. Seperti apa yang terjadi selama hidup saya di Aceh.

Mengenai ganja dan Aceh, bila ada yang tidak setuju dengan ungkapan saya, silahkan searching di internet. Mengenai seni di Aceh, saya berbicara sembari melihat fenomena yang berkembang di Aceh. Saya, tak akan memaksa semua pihak setuju dengan saya. karena bisa jadi bacaan dan literature kita berbeda. Tapi haruskah kita meributkan hal tersebut, padahal kita semua menginginkan hal baik untuk Aceh di masa yang akan datang?

Salam, dari hikayatbanda.com…





  • Silahkan baca juga pembahasan saya mengenai Ganja di :

  1. Q & A, Everything About Aceh
  2. Tsunami 2004 Itu Karena Dosa Orang Aceh

Tari Samanku Bukan Saman!

$
0
0
anak-anak di Gayo Lues tengah belajar ber Saman ( foto by : www.leuserlestari,com credit Zulfan Monika) 
Mukanya yang ramah tiba-tiba berubah. Menjadi tak lagi bersemangat. Sepertinya bathinnya bergumul. Merutuki keadaan yang sudah terlanjur salah. Saya, benar-benar merasa bersalah di siang itu. Ini semua, berawal dari sebuah pertanyaan yang sederhana.

“Apakah di sini, ada kelompok Tari Saman Wanita, Pak?”

Tak dinyana, pertanyaan itu membuat ruangan yang riuh menjadi diam. Seolah malaikat maut baru saja menyelesaikan tugasnya. Hening. Tak bergeming. Hanya angin yang bertiup dari lembah-lembah bukit Gayo Lues berusaha mencairkan suasana.

“inilah dia, semua orang sudah salah paham. Tari Saman itu, tidak ada penarinya yang perempuan” jawabnya datar. Sambil menahan bulir-bulir air mata yang mulai jatuh perlahan. Saya, hanya bisa mematung. Merutuki keadaan terus menerus. Ingin berteriak ke diri sendiri, Pantengong Kau Yud! Baru pertama kalinya ke Kabupaten Gayo Lues, bertemu dengan pejabat setempat, malah sebuah pertanyaan konyol yang kau tanyakan?!


Deg!

Jujur saja, saya adalah satu dari sekian puluh ribu orang di Indonesia ini yang tidak paham kalau sebenarnya Tari Saman, tidak ditarikan oleh kaum hawa. Lalu apa yang terlihat selama ini di setiap pentas, panggung, telivisi, dan acara-acara besar daerah ataupun Negara? Itu, tari apa?

Apakah kamu tahu, bagaimana Tari Saman yang sebenarnya? Lalu tarian yang ditarikan selama ini oleh kaum hawa, tari apa?

Tari Saman, oh Tari Saman...

pakaian asli penari Saman ( foto by www.lintasgayo.com)
Sepulang dari pertemuan siang itu, saya berusaha menenangkan pikiran dengan minum kopi di salah satu warung yang ada di kota blangkejeren. Di sana, Supri, sudah menunggu. Dan mulailah Ia bercerita, setelah sebelumnya ia mengatakan, kenapa sampai saya tanyakan hal sekonyol itu kepada seorang pejabat daerah Gayo Lues.

Tapi, sekali lagi, saya begitu karena saya benar-benar tidak tahu. Media yang selama ini menjadi corong informasi tak pernah memberikan gambaran jelas mengenai apa dan bagaimana Tari Saman sebenarnya. Bahkan, kacaunya lagi, di Jakarta sana, tarian Saman yang versi kaum hawa ini, menjadi salah satu kegiatan kurikuler. Jadilah ia, tarian Saman versi wanita.

“Bang, Tari Saman, adalah tarian yang begitu melekat pada kami, orang Gayo, khususnya yang mendiami kabupaten Gayo Lues, Kabupaten Aceh Tenggara dan masyarakat Gayo yang berada di Kabupaten Aceh Tamiang (Tamiang Hulu), Aceh Timur (daerah Lokop atau Serbejadi). Sedangkan masyarakat Gayo yang ada di Kabupaten Aceh Tengah dan Kabupaten Bener Meriah mereka tidak punya Tari Tradisional Saman. Melainkan tari Didong.” Fakta awal yang disampaikan oleh Supri, membuat saya bengong. Tadinya saya berpikir kalau tari Saman adalah milik seluruh masyarakat Gayo, ternyata ada klasifikasi yang begitu detail.

Syahdan, menurut penuturan dari mulut ke mulut. Tarian Saman yang ada di kota seribut Bukit ini, dibawa oleh seorang Syeh Saman. Seorang ulama yang membawa Islam masuk ke tanah Gayo. Sedangkan menurut beberapa pendapat, dahulu, masyarakat Gayo telah mengenal Pok-ane,  sebuah kesenian yang mengandalkan tepukan kedua belah tangan dan tepukan tangan ke paha sambil bernyanyi riang.

Lalu, syeh Saman, mulai memasukkan unsur-unsur Islam di dalam kesenian tersebut. Persis seperti kesenian wayang kulit yang digunakan oleh sunan kalijaga dalam menyebarkan Islam di tanah Jawa sana. Jadi, bukankah wajar kalau kaum hawa, tidak masuk dalam konteks tarian ini. Karena, dalam Islam, wanita dan pria tak boleh dicampur begitu saja.

ini bukan Tari saman, tapi Tari Ratoeh Duek ( foto : www.hananan.com )

“lalu kenapa ada wanita yang menarikan saman, bang Supri?” saya mulai tak sabar mendengar lebih detail darinya. Dia mulai bercerita mengenai kalau Tari Saman, memiliki proses yang panjang. Mulai proses Rinnenan, sampai Bejamu Saman. Supri memberikan jawaban tanpa jeda. Saya mulai kelimpungan dan pusing. Ternyata wajar, bila akhirnya Tari Saman, menjadi sebuah warisan dunia dalam hal non benda.

Tari yang dilebih diperuntukkan menyebar-luaskan Islam di tanah gayo, juga dijadikan sebagai ajang mencari jodoh. Loh kok? Iya, dalam prosesnya, Tari Saman ini menjadi sebuah media silahturahmi antar kampong atau desa. Setiap kali pemain tampil yang biasanya ditarikan oleh para Pemuda kampong tamu, maka, akan ada barisan pemudi-pemudi yang mencoba melirik-lirik calon suami. Uhuy..

“Itu tari kreasi bang. Kalau tidak salah, namanya, Tari Ratoeh Duek” supri menjawab singkat. Sekaligus membuat saya akhirnya paham dan menutup pembicaraan singkat kami mengenai Tari Saman. Kalau tari Saman yang kini heboh seantero bumi, bukanlah tari saman yang sebenarnya. Melainkan sebuah tari kreasi yang bernama Ratoeh Duek.

Perbedaan Tari Saman dengan Ratoeh Duek

Tari Saman dan Tari Ratoeh Duek, merupakan dua jenis tari yang sangat jauh berbeda. Berikut adalah perbedaannya yang berhasil saya kumpulkan dari berbagai sumber.

Inilah perbedaan Tari Saman dengan Tari  Ratoeh Duek/Jaroe (editing by : stamalia.wordpress.com)

  • Tari Saman tidak ditarikan wanita, melainkan hanya pria dengan jumlah ganjil. Sedangkan Tari Ratoh Duek seluruhnya ditarikan wanita dengan jumlah genap.
  • Tari Ratoh Duek dikendalikan oleh dua orang syahi (penyanyi syair di luar formasi duduk penari), sedangkan Tari Saman dikendalikan oleh seorang penangkat yang duduk di dalam formasi paling tengah.
  • Syair Tari Saman selalu menggunakan Bahasa Gayo, sedangkan syair Tari Ratoh Duek menggunakan Bahasa Aceh.
  • Tari Saman dibagi dalam beberapa gerakan atau bagian utama dalam posisi duduk; rengum, dering, salam, uluni lagu, lagu, anakni lagu dan penutup.
  • Ratoh Duek ditarikan dengan gerakan dalam posisi duduk hanya terdiri dari gerakan tangan menepuk dada dan paha, gelengan kepala ke kanan dan ke kiri, gerakan duduk dan berlutut serta mempersilangkan jari dengan penari di sebelahnya yang dilakukan dengan urutan yang lebih fleksibel, dapat berubah dan dikreasikan sewaktu-waktu.
  • Tari Saman tidak pernah diiringi oleh musik tradisional apa pun, sedangkan Tari Ratoh Duek sering kali diiringi oleh dentuman rapai
  • Baju penari Saman adalah baju tradisional Gayo yang bernama baju Kantong lengkap dengan motif kerawang. Sedangkan tari Ratoeh Duek, menggunakan pakaian polos yang dipadu dengan songket Aceh.
Jadi, kawan, berhentilah menyebutkan tari Ratoeh Duek sebagai tari Saman. Karena tari Saman, merupakan sebuah identitas masyarakat Gayo dan Negeri Aceh yang tak boleh lekang dimakan jaman. Tak terbayangkan oleh saya, ketika masyarakat gayo berusaha mengembalikan identitas mereka melalui perhelatan tari Saman 10001 ( sepuluh ribu satu penari) yang akan dilaksanakan tanggal 13 Agustus 2017 mendatang.

kala Tari Saman Massal tahun 2015 lalu di Kabupaten Gayo Lues

“dek Yudi, kami ini kabupaten baru, kami nggak punya apa-apa selain Hutan Leuser dan Tari Saman. Makanya, kami berharap dengan tari Saman ini, orang-orang seperti dek yudi akan mengenal kami lebih dekat.” Tutup obrolan saya dengan seorang pejabat di gayo lues pada siang itu. Setelah sebelumnya saya merasa begitu bersalah.

Begitulah, siang itu menjadi begitu bermakna. Pergulatan bathin mengenai tari Saman, akhirnya terselesaikan. Pun, saya berharap, kita mau menggunakan Tari Saman pada tempat yang semestinya.

Ah iya, hampir saya lupa. perbedaan yang paling mencolok dari kedua tarian ini adalah, salah satu tujuan dari Tari Saman adalah untuk mencari calon pengantin. Sedangkan tari Ratoeh Duek itu... ya gitulah.. hehe



 **referensi : websitenya bang supri dkk

Tari Saman 10001 Penari, Gayo Lues - Aceh, Part 1 [ Video]

$
0
0

Sebuah perhelatan yang spektakuler di abad ini. Dari relung relung bukit barisan yang menjulur sepanjang provinsi Aceh. Inilah dia, tari Saman yang sungguh memukau siapa saja yang menyaksikannya. 

Saya sungguh beruntung, bisa terlibat langsung pada event yang akhirnya memecahkan rekor muri sekaligus rekor dunia untuk tari Saman dengan penari terbanyak. 

Inilah kesenian yang muncul dari hati terdalam orang Gayo- Aceh. Saman!

4 kabupaten, 11 kecamatan, 145 desa dengan jumlah keseluruhan penari 12.262 penari yang semuanya adalah kaum Adam! Mulai dari yang muda sampai mereka yang tua.  

Saman...


To be continue 



Rawa Singkil, The Little Amazon In Aceh

$
0
0
Membayangkan Kabupaten Singkil, seperti membayangkan sesuatu tempat yang begitu sulit dijangkau dari kota Banda Aceh. Jaraknya yang luar biasa jauh, medan jalannya yang cukup menyiksa batin. Sampai akhirnya, harus sabar duduk di mobil sampai 15 jam perjalanan darat.
Tapi, bukankah perjuangan setimpal dengan hasil? Begitulah hati kecil saya membatin setiap kali hendak akan melakukan perjalanan jauh. Walaupun masih dalam satu provinsi, Aceh ini cukup luas. Bahkan hampir dua kali luas provinsi jawa barat. Jadi, kebayang dong, kalau dari Banda Aceh hendak ke Singkil, atau ke Blangkejeren, ataupun ke Pulau Simeulue, kamu harus menyediakan waktu yang banyak sekaligus koyo.

“Bagaimana Pulau Banyak? Bagus kan?” Sergah bang Mus kepada saya. Rasanya, sedikit malas untuk menanggapi pertanyaan yang cenderung klise ini. Bagi saya, setiap tempat memiliki keindahannya masing-masing. Tergantung sudut mana kita hendak menilainya. Saya melihat matanya berbinar-binar seperti menungu sebuah jawaban yang pasti. Belum sempat saya menjawab, Bang Mus, pria yang kelahiran Desa Pulo Saruk, Aceh Singkil ini kembali menyergah.


“bang Yud, kalau masih kurang puas ke Pulau Banyak, Bang Yud harus main ke Rawa Singkil” kalimat sakti nan mandraguna dari Bang Mus yang kesehariannya bekerja sebagai pawang Boat penyeberangan Kota Singkil ke Pulau Balai di Kepulauan Banyak, berhasil membuat kuping saya berdiri. Bak kucing melihat ikan segar di pinggir pasar. Saya siap siaga. Membenarkan tempat duduk. Lalu mendekatkan telinga kehadapannya.

keseharian di sungai Singkil menuju rawa singkil
Jujur, lahir dan besar di Aceh, bukanlah jaminan pasti engkau akan mengenal Aceh secara detail dan keseluruhan. Mulai dari budaya, adat istiadat, sampai pada kawasan wisata. Suaka margasatwa Singkil adalah salah satunya. Menurut penuturan bang Mus kala itu, Rawa singkil ini, terlihat seperti sungai Amazon yang ada di Brazil, Amerika Selatan.

Di sana, satwa-satwa liar masih dengan mudah ditemui, bahkan sampai ada beberapa flora endemik yang tak ada daerah lainnya kecuali di kawasan rawa. Adrenalin saya naik. Semangat kembali membuncah, tapi saya harus rela kandas di tepi jalan. Tak mungkin saya ke sana karena waktu untuk menjelajah Aceh bagian selatan kala itu, sudah selesai. Saya hanya bisa tertunduk lesu. Patah hati. Gelisah tak menentu. Hanya puing-puing doa yang bisa saya panjatkan. Semoga, Tuhan masih mengijinkan saya kembali ke negeri Syech Abdura’uf as Singkili ini.

Kembali Ke Singkil!


“Pokoknya, Yudi harus bisa lihat buaya di Rawa Singkil. Apapun caranya, Bang” Tak ubahnya seorang anak balita. Saya merengek kepada bang Zulfan Monika, atasan sekaligus teman perjalanan saya ke Rawa Singkil kali ini. Yaps, Akhirnya Tuhan mengabulkan doa saya. Akhirnya, saya mendapatkan kesempatan kembali ke Singkil dalam rangka mengikuti survey keanekaragaman hayati hewan dan tumbuhan bawah air. Pusing? Sama. Nanti sajalah kita bahas yang ilmiah-ilmiah begini. Apapun itu, Saya berhasil ke Rawa Singkil titik!

masih di sungai Singkil, sekitar desa Kilangan
Setelah sempat menunda sehari dikarenakan faktor cuaca, akhirnya tibalah saya di Desa Kilangan. Sebuah desa yang menjadi titik awal untuk menuju ke kawasan Rawa Singkil. Tak ada bayangan sama sekali dibenak saya, akan seperti apa tampilan Rawa Singkil itu. Akankah tampilannya seperti hutan dalam film Anaconda, ataukah seperti film Jurassic Park? Entahlah. Bismillah saja.

“Nanti kita siang akan makan di Kuala Baru, ya Dek” wanti-wanti dari Pawang Boat yang akan membawa kami keliling kawasan Suaka Margasatwa Rawa Singkil. Saya hanya mengangguk, paham pun tidak.

Satu jam perjalanan mengarungi sungai Singkil yang hampir selebar sungai Kapuas di Kalimantan, membuat pikiran saya melayang entah kemana. Langit biru, kiri-kanan terhampar pepohonan rindang menutupi sisian hutan. Boat yang berkapasitas 8 orang ini melaju cukup baik. Beberapa kali, rasanya seperti kehilangan kendali karena arus sungai yang cukup kuat. Ditambah lagi, kami harus melewati pusaran-pusaran air.

siapa yang nggak bengong liat beginian?
Layar sudah terkembang, laut sudah pasang. Pantang untuk surut kembali. Boat tetap melaju, sampai akhirnya, pawang boat memelankan laju boat. Seketika, suasana begitu hening. Keadaan sekitar seperti slowmotion. Ilalang seakan bergerak bak dalam film percintaan India, beberapa bangau besar berwarna gelap mulai terbang satu-satu. Hanya suara shutter kamera yang terdengar. Bang Zulfan dengan sigap mengabadikan setiap momen. Saya? masih bengong.

Beyond my imagination! Begitulah... kawasan rawa yang kini sebagai Kawasan Pelesatarian Alam berdasarkan Keputusan Menteri Kehutanan tahun 1998 ini, begitu luar biasa! Batang keladi berduri, berjejer ditepian sungai. Ah iya, kami, menyusuri sungai dalam kawasan, jadi tidak sampai turun ke rawa.

Pepohonan Manggrove berpadu dengan tumbuhan hutan lainnya menjadikan kawasan ini begitu unik terlihat. Tepat, ketika dikatakan SM (Suaka Margasatwa) Rawa Singkil sebagai the little Amazon. Di sini, saya menemukan Kerbau rawa, Anggrek Pensil, burung elang, monyet, orangutan, dan... Buaya! Iya, akhirnya mimpi saya jadi kenyataan.

sayangnya, si buaya nggak sempat terekam kamera :D
Foto oleh Ustadz Amra (pawang boat yang membawa saya ke Rawa Singkil), warga Kuala Baru, Singkil sumber di sini 
Daerah ini, memang menjadi salah satu kawasan populasi buaya muara yang terkenal cukup buas. Pun, kawasan ini, menjadi surga bagi satwa endemik Sumatra, yaitu Orangutan Sumatra. Sayang, setiap kali kami menyusuri sungai kawasan, beberapa kali kami bertemu dengan para pembalak liar. Ternyata, si cantik ini, tak terlepas dari nafsu bejat para pencuri kayu.

Sore mulai naik keperaduan. Lelah sudah di ubun-ubun. Koyo sudah berlembar-lembar menempel pada kulit yang menggosong tersengat matahari. Ingin rasanya menyandarkan kepala lalu tertidur lelap dengan nyanyian alam. Tiba-tiba...

Pawang boat mematikan mesin boat. Suasana sore di Rawa Singkil begitu sulit dideskripsikan. Antara syahdu namun mengerikan. Mirip-mirip hutan yang ada di film-film horror Amerika. Lalu, terdengar percikan air. Kami semua, terdiam. Tak ada yang bersuara. Semua mencoba menerka apakah gerangan itu. Buaya yang tadi sempat lari ke bawah boat ataukah ular sawah raksasa yang siap menerkam?

so, what do you think?
Terus terang, kondisi sore itu, di atas boat sangat tidak menguntungkan kami, para penghuni boat kecil ini. Sungai di Rawa Singkil ini cukup luas dan dalam. Akan tetapi, boat kami terjepit diantara tumbuhan bakung yang menutupi seluruh permukaan sungai. Jadilah boat ini terjepit dan harus merangkak perlahan untuk bisa kembali ke sungai besar yang menuju ke desa Kilangan. Tempat di mana cerita ini semua bermula.

Bila seorang saja diantara kami jatuh, maka bisa dipastikan akan sulit sekali untuk ditolong. Belum lagi dengan kondisi, di sekitar rawa banyak buaya. Sudah, jangan paksa saya untuk terus menjelaskan keadaan. Kalian tebak saja seperti apa muka indo  (preeet) saya berubah menjadi pucat pasi. Hilang sudah kegantengan saya hari itu.

Tak lama, suara percikan air semakin terdengar jelas. Diiringi dengan ringkikan monyet. Loh kok? Sebuah pemandangan luar biasa. Satu persatu, rombongan monyet melompati tumbuhan Bakung. Sesekali, terlihat monyet yang dewasa menuntun anaknya untuk menyeberang. Sesekali, terlihat monyet muda jatuh ke sungai lalu ia berenang secepatnya menggapai ujung pohon bakung di seberang. (scene monyet nyebrang sungai ada di Video saya )

Sungguh, ini luar biasa! Raut wajah yang tadinya seperti tak bernyawa, serempak kami semua yang ada diatas boat merasa seakan menyaksikan film dokumenter Earth Planet secara langsung. Bukan dari televisi melainkan melihat langsung dengan mata kepala sendiri!

Malam tiba, boat telah kembali bersandar di dermaga desa Kilangan. Saya dan rombongan, harus segera ke Aceh Selatan. Tapi, tak sekalipun keindahan itu terlupakan. Dia, Rawa Singkil, begitu Indah! Terutama bagi kamu yang mencintai alam liar, Rawa Singkil adalah tujuanmu selanjutnya.
 
sore, di kawasan Suaka Margasatwa Singkil, Aceh - Indonesia

Anggrek Pensil, yang hanya ada di kawasan Rawa
 Good To Know : 
  • SM rawa Singkil merupakan kawasan konservasi. Sehingga untuk masuk ke kawasan ini, kamu harus minta ijin ke Badan Konservasi Sumber Daya Alam provinsi Aceh. 

  • Bila hendak menyewa boat, carilah pawang yang benar-benar paham lokasi. Karena tak semua pawang boat pernah menjelajahi kawasan ini.

  • Hati-hati bila menurunkan kamera underwater dan usahakan tidak terlalu gegabah. Mengingat di daerah ini masih banyak buaya.

  • Masyarakat setempat, menyebut buaya dengan panggilan nenek. 

  • Hargailah budaya masyarakat setempat.



Sabang Underground; Tempat Para Tahanan Perang Bercinta

$
0
0
Benteng Jepang di Pulau Weh


Beruntung, mungkin itulah kata yang tepat untuk mengungkapkan sebuah keadaan yang terjadi di akhir maret lalu. Awalnya, saya sempat kebingungan ketika sebuah undangan famtrip dengan tema sejarah masuk ke email saya. Berulang-ulang saya membacanya. Ibarat menterjemahkan bahasa kaum hawa. Undangan ini singkat tapi penuh makna dan penghayatan.

Saya berusaha mengkonfirmasi melalui sambungan telepon pada nomor yang tertera. Lalu, seorang wanita menjelaskan perihal undangan tersebut. Paham? Tetap tidak. Lagi-lagi jawabannya harus dihayati dengan begitu dalam. Jujur saja, setiap kali seorang wanita berbicara, saya harus memanjangkan antena otak. Ini dia berbicara to the point atau muter-muter dulu?

Hari yang dinanti tiba. Istri dengan sepenuh hati mengantarkan saya ke kantor Badan Pelestarian Nilai Budaya Aceh. Muka istri yang sedari tadi sumringah, tiba-tiba berubah kusam, tatkala melihat para peserta yang hadir.

“bang ini serius acara famtrip? Kok kayaknya anak SMU semuanya?” sergahnya. Seolah ia mulai mengkhawatirkan keadaan suaminya yang akan bepergian dengan rombongan anak SMU. Jangankan istri, saya sendiri sempat kaget (atau senang kali ya? #eh) ketika melihat para peserta yang jumlahnya ada puluhan orang yang sebagian besar dari mereka adalah Anak Baru Gede alias ABG...
***

“Hello Den Hag! Hier Sabang! (Halo Den Hag! Ini Sabang”

“Ibu, masih empat tahun lagi sebelum aku pulang ke Holland.”

“Halo Sayang, Ibu rindu sekali kepadamu, Halo?”

“Ya ibu, di sini aku” sesaat kemudian, Yang terdengar hanyalah bunyi Tet..tet..tet.. suara telepon Sabang itu pun terputus selamanya, ketika Sabang diserang dari berbagai sisi..hilang.. (saduran buku Sabang Dalam Lintasan Sejarah, 2015)


Kota metropolitan di ujung Sumatera ini, luluh lantak kala tentara Jepang berhasil merengsek masuk ke teluk Sabang.



Sebenarnya, Pulau Weh, atau yang lebih dikenal dengan sebutan kota Sabang ini, selain menyimpan keindahan bawah laut, ia juga menyimpan sejarah panjang didalamnya. Pulau ini, selalu menjadi rebutan para penjelajah sekaligus penjajah. Mulai dari Portugis, Belanda, sampai Jepang. Mulai dari jaman pra sejarah, sampai perang dunia ke dua. Tapi, tak banyak orang yang mau mengeskplorenya lebih jauh.

Kalian pernah dengar pulau Iwojima atau Perang Iwojima? maka Sabang, adalah miniatur dari pulau tersebut. Beberapa para sejarawan menyebutkan jika Kota Sabang, adalah kota diatas “kota”. Tepat pada tahun 1942, Jepang berhasil menguasai Indonesia dengan mengusir Belanda. Dan, posisi pulau Weh yang berada di pintu masuk selat melaka, menjadi alasan kuat, mengapa tentara Jepang menjadikan Sabang sebagai pulau pertahanan utama yang dilengkapi senjata yang luar biasa!

Benteng Jepang di Pulau Weh
Benteng Baterai Jepang, begitu sebutannya
Berlebihan? Awalnya mungkin terkesan lebay. Akan tetapi, kala bang Albina dan Mas Stanov memaparkan bagaimana kecanggihan teknologi Pulau Weh kala Perang Dunia II, saya hanya bisa bengong. Bayangkan, Sabang yang kota kecil itu memiliki telepon radio yang pemancarnya itu setinggi tower Telkom, pelabuhan dengan docking listrik, dan senjata meriam yang mampu menenggelamkan setiap kapal perang yang melintas masuk ke selat Melaka.

Ada begitu banyak benteng pertahanan Jepang yang tersebar hampir di seluruh pulau. Tak terkecuali pulau Rubiah. Benteng-benteng ini hampir rata-rata berada di bawah tanah atau di bawah bukit-bukit batu. Sepintas, ia akan terlihat seperti lorong-lorong gelap nan pengap yang menghubungkan satu titik ke titik lain. Inilah yang dimaksud dengan kota diatas kota. persis seperti pulau Iwojima, bunker Tentara Jepang sisa perang dunia kedua hampir mengisi keseluruhan pulau. Pun begitu di Pulau Weh, hampir di seluruh kawasan kota Sabang, dibawahnya pasti terdapat kurok-kurok Jepang ini. (kurok-kurok adalah sebutan orang Aceh untuk bunker Jepang)


Benteng Jepang di Pulau Weh
lorong-lorong seperti ini, akan mudah kamu temukan bila kamu jeli kala jalan-jalan di Kota Sabang

Penjara Bawah Tanah, Katanya!

Jalan becek. Sesekali, kubangan bekas sapi membuang hajat ternganga begitu saja. Pohon kelapa berjejer rapi. Tak jauh dari kota Sabang, sebuah areal terbentang flat seluas 700 meter dibatasi pagar pohon kedondong diikat dengan kawat berduri. Hampir-hampir tak ada yang menarik didalamnya, kecuali kawanan sapi yang tengah memamah biak.

Beberapa bangunan tua terlantar tergeletak begitu saja. Beberapa masyarakat sekitar menyebutnya dengan benteng Baterai Jepang. Bangunan besar tanpa pintu dan daun jendela ini menghadap ke teluk Sabang. Dahulu, digunakan sebagai kantor meteorologi Jepang.

Benteng Jepang di Pulau Weh
bekas kantor meteorologi,katanya

Tak jauh dari bangunan tersebut, lagi-lagi ada tangga turun ke bawah. Sebuah ruangan yang cukup besar dan lebar. Ini menjadi Bunker utama berdinding kokoh setebal 50 sentimeter. Di dalamnya ada empat ruang tersekat beton setebal 30 sentimeter. Suasana kemudian menjadi mengerikan. Udara yang lembab, pengap dan sedikit apek menusuk hidung. Beberapa bulu hidung saya merinding dibuatnya.
Beberapa saat kemudian, saya terperanjat. Ini kan.... 

Saya menahan nafas. Menelan ludah. Melihat sebuah hal yang cukup membuat bulu kuduk berdiri. Perasaan bercampur aduk. Sebuah lukisan tangan tergores sempurna di dinding bunker yang dipercayai berfungsi sebagai penjara sekaligus benteng pertahanan ini. 

Sebuah lukisan sepasang wajah anak manusia nan lusuh, digores dengan bebatuan kasar yang keras. Raut wajah dari lukisan yang terlihat cukup jelas itu, menyiratkan beragam makna. Ada kesedihan di relung bola matanya yang hilang tertelan usia. Ada garis kerinduan dalam setiap goresan tangannya. Air muka yang mirip orang Jepang campuran jawa ini, terlihat begitu sendu. Seolah merindukan sebuah pertemuan yang tak kunjung tiba.

Benteng Jepang di Pulau Weh
kamu, ketemu gambar ginian, ditengah malam gimana?
“Katanya, ini asli dari jaman Jepang dulu, bang..” hampir saja saya melompat lalu lari terkencing-kencing seperti kuda binal yang dipaksa lari dengan pecut. Seorang pria berperawakan sedang, muka gelap, dan bersuara sedikit parau tiba-tiba berbicara disamping saya. Suaranya terdengar jelas. Mengalahkan teriakan “cheese.. “ anak-anak abege yang sibuk swafoto didalam ruangan yang cukup angker ini.

Saya hanya mengangguk lalu berjalan pelan meninggalkan pria misterius tadi. Menyusuri setiap bunker yang terletak di setiap sudut lahan datar ini, membuat Imajinasi saya membayangkan, betapa rindunya para pasukan Jepang ini akan kekasih hatinya nun jauh di negeri Matahari Terbit itu. Dalam setiap langkah tegapnya, hatinya tetap saja ingin memadu kasih dan cinta dengan belahan jiwanya. Atau mungkin, itu adalah lukisan dari para tahanan perang yang disekap dalam bunker dengan dinding beton setebal 30 sentimeter ini. Ah, bikin merinding..

Benteng Jepang di Pulau Weh
silahkan nilai sendiri...
Setelah puas mengambil beberapa foto, saya naik ke atas gundukan tanah yang menutupi langit-langit bunker. Satu stasi pemandangan yang indah terpampang. Kawasan Teluk Sabang terlihat jelas dari sini. Kapal-kapal yang bersandar di pelabuhan terlihat laksana mainan kapal-kapalan Ziyad yang mengapung dibirunya air laut. 

Pulau Klah dan pulau Rubiah terlihat berbaris dengan ujung Pulau Sabang menyempil di sudut belakangnya. Sebuah pemandangan yang menguatkan mengapa bunker ini layak dibangun, dari sini, mereka bisa memantau dengan leluasa musuh yang masuk ke teluk Sabang. 

“Bang, geser dulu sedikit boleh? Kami mau selfie..” seru seorang anak gadis yang membuyarkan lamunan saya akan suasana Benteng Baterai kala di puncak kejayaannya dahulu. Alamak! Saya lupa, kalau sebagian besar peserta adalah anak-anak remaja siswa SMU. Dan, saya adalah peserta “nyasar” sekaligus peserta tertua di acara tersebut. Ampun...

Benteng Jepang di Pulau Weh
inilah yang terjadi ketika engkau ikutan famtrip yang isinya anak-anak SMU hehehe #canda

Keliling Kota Tua Jakarta, Dari Beos Sampai Ke Lhoknga

$
0
0
Keliling Kota Tua Jakarta
"Waduh Mas, saya sudah ngedayung sepeda sejak zaman Pak Harto, Mas. Anak dan istri ya di kampung. Kalau ada lebih rezeki ya saya pulang kampung untuk menjenguk mereka"
Logat Kebumen-nya, terasa masih begitu kental walaupun ia sudah puluhan tahun di Jakarta. Wajahnya hitam legam. Dengan topi bucket hat di kepala, dia terlihat sedikit muda dari umur yang saya bayangkan. Namanya, Mubarokah. Sebuah nama yang begitu khas Indonesia dan Jawa. Pelafalan “O” yang memang menjadi khas bagi sebagaian besar penduduk Jawa (sepertinya).

Awal perjumpaan kami, adalah ketika saya keluar dari Museum Bank Indonesia dengan muka sedikit semberawut. Bukan karena ngantuk, tapi karena pikiran yang terus berkecamuk memikirkan nasib Aceh dengan tampilan kliping yang tak sedap di baca. Tak banyak yang pakai ojek sepeda di siang yang terik ini. Apalagi ditambah bau asap knalpot kenderaan dan perut yang berteriak minta diisi nasi Padang.

Baca juga : Ini cerita tragedi di Museum Bank Indonesia


"Biasanya pagi-pagi itu rame Mas yang naik ojek sepeda. Mereka rata-rata orang kantor. Kan mau cari jalan pintas dan biar cepat nyampe ke kantornya” Ungkap pria yang sedari tadi khusyuk mengayuh sepeda ontelnya sambil sesekali menjawab pertanyaan yang saya lontarkan. 


Keliling Kota Tua Jakarta
Pak Mubarokah, dengan saya dibelakangnya
Dari pelataran museum Bank Indonesia, sepeda melaju pelan memasuki areal museum Fatahillah. Persis seperti seorang bapak mengantarkan anaknya masuk Sekolah Dasar. Saya duduk tak bergerak, mematung di belakang sepeda pak Mubarokah. Sedangkan ia, terus asyik mengelilingi halaman museum tersebut. Sambil sesekali menceritakan keadaan keluarganya di kampung halaman

“Mau ke sisi sungai mas?” Sudah dua kali ia mengelilingi pelataran gedung yang dipengaruhi oleh bentuk balai kota Di Amsterdam yang berdiri seabad sebelumnya. Saya mengiyakan ajakannya. Sepeda ontelnya kembali meluncur pelan. Keluar dari sisi utara kawasan kota tua. Cafe Batavia, gedung Jasindo, Kantor Pos, berderet-deret membentuk pagar tembok yang apik.

Keliling Kota Tua Jakart
jarang sekali rasanya ketemu langit biru kek gini di Jakarta hehe
Keliling Kota Tua Jakart
keren ya lapangannya? Tahukah kamu, kalau dahulu di lapangan ini sering sekali dilaksanakan hukuman mati?
Sejujurnya, saya mulai jatuh cinta dengan kawasan ini. Andai saja tak banyak penjual kaki lima, mungkin, kawasan ini akan terlihat lebih elegan. Bentuk bangunan ala eropa dari abad ke 18 masih terasa cukup kental. Walaupun beberapa bangunan kini sudah dipugar dan telah menyerupai bentuk asli.

Pak Mubarokah mulai menyusuri kawasan luar kota tua. Tanpa banyak cakap, ia terus mengayuh. “pak berhenti sebentar” Saya menepuk punggungnya cukup kuat. Terperanjat ia dari atas sadel sepedanya.

“Kenapa mas?”

“Itu, Pak, ada nama bangunan yang mirip nama kampung saya”

Dari seberang jalan yang ramai. Sebuah ruko tua dan sudah tak berpenghuni terlintas di depan mata. Lantai duanya tertutup triplek, sedangkan halaman depan ruko ditumbuhi pohon yang mentutupi atapnya. NV Lho’nga Coy. Kok bisa ada nama Lhoknga di sini?
Keliling Kota Tua Jakart
tidak ada sama sekali ceirtanya di internet. sekilas katanya, ini dahulu perusahaan dagang milik orang aceh

“Seingat saya, dulu, di sebelah ruko itu ada orang jualan karpet mas. Dan salah satu karyawannya orang Aceh”. Pak Mubarokah hanya bisa menjelaskan hal tersebut ketika saya tanyakan dari mana asal muasal nama tersebut. Deadlock. Tak ada jawaban pasti!

*****

“Yud, saya di depan museum Wayang yaâ”sebuah pesan dari Whatsapp masuk. Ah akhirnya dia sampai juga. Mbak Olivia Bendon. Si kakak angkat yang hobi menjelajah bangunan kuno dan kuburan tua.

Rasa-rasanya, menjelajahi kota tua Jakarta, tanpanya akan berbeda. Saya, yang memang sedari awal kedatangan ke Jakarta tidak menyusun ittenary. Jadi, saya sangat berharap darinya. Syukurnya, Mbak olive dengan ringan tangan mengajak saya menyurusi stasiun beos. Alias stasiun Jakarta Kota. Stasiun asli dari jaman Kolonial Belanda. Kini terlihat lebih rapi dan tertata.


Keliling Kota Tua Jakart

Bangunan boleh tua, tapi giliran saya dan mbak Olive masuk ke area dalamnya? Starbuck, KFC, dan banyak restoran franchise serta swalayan ternama sudah berdiri didalamnya. Perlahan demi perlahan setiap sudut ruangan kami jelajahi. Puas menikmati setiap ruangan di station kota tua Jakarta, langkah kaki kami kini menuju ke sebuah gereja tua.

Setiap sudut mulai kami jelajahi, sesekali, ia bercerita tentang sejarah singkat stasiun Kereta Api yang cukup tua di Indonesia ini. Versi lain, Beos berasal dari kata Batavia En Omstreken, yang artinya Batavia dan Sekitarnya, yang berasal dari fungsi stasiun sebagai pusat transportasi kereta api yang menghubungkan Kota Batavia dengan kota lain seperti Bekassie (Bekasi), Buitenzorg (Bogor), Parijs van Java (Bandung), Karavam (Karawang), dan lain-lain (sumber Wikipedia.com)

Kaca Patri kuning keemasan terpajang rapi di sudut atas langit-langit stasiun. Memberikan efek warna yang kontras dengan kegiatan manusia dibawahnya. Seketika, pikiran saya melayang ke kampung halaman. Aceh, dahulu pernah jaya dengan perkereta-apiannya. Nama Lhoknga Coy masih terbayang dibenak. Adakah hubungannya diantara semua ini. Entahlah...

Keliling Kota Tua Jakart


Satu hal yang pasti, hari itu, ketika saya mengunjungi begitu banyak bangunan tua di Kota Tua Jakarta ini, ada begitu banyak untaian cerita akan Aceh dan Jakarta yang terserak. Saya membayangkan, andaikata di Aceh masih memiliki bangunan-bangunan bersejarah seperti Jakarta ini, mungkin, akan banyak generasi muda Aceh yang akan mengerti betapa Aceh dahulu juga pernah gagah dalam segela hal. Tak beda jauh dengan Jakarta.

Mentari sore mulai turun perlahan, kegiatan anak manusia Jakarta semakin riuh. Sepeda motor mulai bertarung dijalanan bersamaan dengan laju kenderaan roda empat lainnya. Pak Mubarokah, sepintas terlihat sembari melempari senyum dan mengangkat tangannya. Ia ingin pulang keperaduannya. Mengenang cinta kasih akan kekasihnya nun jauh di Kebumen sana. Saya? Masih terpaku di sudut stasiun kota Tua Jakarta sampai akhirnya lamat-lamat suara adzan magrib berkumandang.

Keliling Kota Tua Jakart
semakin sore, stasiun ini, semakin riuh


*cerita ini pernah dimuat di Portal Harian Aceh Indonesia 

Jajanan Khas Aceh, Pisang Sale

$
0
0
Jajanan Khas Aceh, Pisang Sale
Saya, awalnya tak percaya bila di Banda Aceh, ada pabrik makanan yang sudah berumur cukup tua ini. sampai bang Hotli mengabarkan kalau ia ingin meliput kegiatan pembuatan pisang Sale tak jauh dari makam Syech Kuala. Rugi sekali rasanya bila momentum ini saya lewati begitu saja. Jadilah saya ikut bersamanya.

Jarum jam masih menunjukkan pukul sembilan pagi. Tangan bang Ishak, bang Martunis dan kak Leha, sudah terampil memisahkan pisang Wak dari tandannya. Cukup cekatan. Dua pria muda ini, sudah melakukannya selama hampir setahun belakangan ini. Sedangkan kak Lela,  sesekali menggebuk pisang yang sudah matang dengan rolling kue.

Jajanan Khas Aceh, Pisang Sale
Bang Martunis, Bang Ishak, dan seorang warga sekitar tengah mengupas pisang
Satu persatu pisang Wak (musa acuminata) yang sudah matang pindah ke dalam ember hitam ukuran sedang. Saban kali wadah hitam bulat itu penuh, bang Ishak dengan cekatan mengangkutnya ke ruang pemanggangan.

“ini harus di sale (diasapi) sampai dua hari dua malam. Sampai benar-benar matang. Apinya juga harus diatur agak kecil. Jangan terlalu panas. Biar rasanya enak dan warnanya bagus, tidak terlalu hitam” ujar bang Ishak sembari membolak-balikkan pisang yang sudah diasapinya sejak kemarin siang.

Sesekali, Ia memeriksa api pembakaran. Sesekali, ia hanya berdiri dan memandangi satu persatu tungku pisang. Asap dari tungku mengisi hampir seluruh ruangan di pagi itu. Memandanginya, membuat saya terjebak dalam nostalgia rumah nenek kala menjelang Idul Fitri.

Jajanan Khas Aceh, Pisang Sale

Pisang Sale, pada dasarnya adalah penganan khas Aceh pesisir timur. Akan tetapi, seiring dengan perkembangan kota Banda Aceh hari ini, beberapa penganan khas Aceh mulai merambah pasar-pasar di kota Banda Aceh. Tak terkecuali Pisang Sale Red Golden. Pemiliknya, berasal dari kabupaten Pidie Jaya. Lalu, tatkala permintaan semakin besar dari kota Banda Aceh, ia pun memutuskan untuk memulai usahannya di kota paling utara Indonesia ini.

Penganan khas Aceh ini, memang sudah menjadi salah satu oleh-oleh khas dari Aceh. Biasanya, peminat paling ramai adalah turis yang berasal dari negeri jiran, malaysia. Rasanya yang manis dan legit, membuat siapapun yang menikmatinya tak ingin berhenti di satu bungkus saja.

Jajanan Khas Aceh, Pisang Sale
menuangkan pisang ke tungku pemanggangan 
Jauh sebelum Aceh mulai menjadi salah satu destinasi wisata, Pisang Sale, memang sudah menjadi penganan wajib disajikan bila hari raya idul fitri tiba. Pisang yang diolah dengan cara tradisional dan tidak menggunakan pengawet ini, menurut penuturan beberapa orang dipercaya telah ada sejak era kerajaan Samudra Pasai.

Saya berdiri, mematung. Menikmati aroma pisang yang mulai matang. Satu persatu dikutip, lalu mulai dibungkus dengan ukuran rata-rata 200 gram perbungkusnya.
“kalau pisangnya tidak habis, kami akan mengolahnya menjadi pisang sale goreng” ujar kak lela, yang sedari awal ketibaan saya sibuk memukul-mukul pisang sale sampai pipih dengan menggunakan rolling kue.

Jajanan Khas Aceh, Pisang Sale

“Nanti dia di jemur lagi sampai benar-benar kering. Baru setelah itu dia akan digoreng dan siap kembali ke pasar”. Ungkap kak Lela sambil terus menerus menggebuk pisang Sale sisa dari pasar. Wajar produk pisang ini tak tahan lama lalu sering berlebih. Bukan karena tak laku, akan tetapi karena pengelohannya yang tidak menggunakan bahan pengawet. Sehingga hal tersebut membuatnya tak terlalu tahan lama.

Pabrik yang berada di kawasan Alue Naga, Banda Aceh ini, sudah berdiri lebih dari enam tahun. Dengan total sekitar enam orang pekerja yang sebagian besar adalah perempuan. Dalam seharinya, mereka memproduksi sampai 50 kg Pisang Sale. Pasar yang disasar masih seputaran Banda Aceh.
Jajanan Khas Aceh, Pisang Sale
eh, ada penampakan hihi
Namun, saya harus mengakui, jika kids zaman now mungkin tak terlalu kenal dengan penganan yang satu ini. Beberapa penganan luaran Aceh mulai merambahi pasar-pasar yang berada di kota yang luasnya hanya 62 km persegi. Sebut saja, bika Ambon, bolu Napoleon dan lain sebagainya.

Walaupun tampilannya tidak menarik, dibalik itu semua, Pisang Wak memiliki khasiat yang baik untuk kesehatan tubuh. Apalagi bila ia sudah diasapi. Salah satunya adalah dapat mengurangi sakit Maag. Bukan, bukan karena pisang itu mengenyangkan. Akan tetapi senyawa organik dalam pisang merangsang aktivitas sel-sel di lapisan perut untuk membangun pelindung terhadap asam. Pisang juga mengandung inhibitor protease, yang menghilangkan bakteri berbahaya yang dikaitkan dengan perkembangan radang perut. (sumber wikipedia)

Jajanan Khas Aceh, Pisang Sale
pisang Wak (musa acuminata)
Dan masih begitu banyak manfaat lainnya dari pisang tersebut. Tapi, zaman sudah canggih. Tak semuanya akan peduli akan hal tersebut. Terpaan kerasnya persaingan usaha, invasi produk-produk dari luar Aceh. Membuatnya harus bertahan dan terus bertahan. Saya, terkadang merasa miris dan bangga sekaligus. Miris karena Banda Aceh hari ini, sudah begitu banyak makanan “impor” yang perlahan mulai menggerus makanan-makanan nostlagia saya kala masih kanak-kanak. Bangga, karena melihat pisang Sale ini masih mampu bertahan.

Entah berapa lama, saya pun tak berani mengira-ngira. Satu hal yang pasti, saya senang bisa melihat langsung proses pembuatan penganan legendaris Aceh ini. Jadi, bila kamu ke Aceh suatu hari ini, jangan sampai lupa merasakan nikmatnya pisang Sale. Sampai ketemu di Aceh ya sobat...


Jajanan Khas Aceh, Pisang Sale
Bang Ishak tengah mengecek pisang Sale yang hendak di angkat.

Jajanan Khas Aceh, Pisang Sale
Siap dijual

Menyusuri Keindahan Pemukiman Kuno Krueng Raya

$
0
0

Krueng Raya, sebuah distrik atau mukim yang terletak nun jauh dari sebuah cerita kesuksesan pariwisata di provinsi terbarat Indonesia, Aceh. Dahulu menurut cerita yang saya dengar, Mukim ini pernah berjaya kala Portugis berusaha mati-matian ingin menguasai selat Melaka. Krueng Raya juga pernah jaya dalam kancah sejarah kala Lamuri, yang merupakan cikal-bakal lahirnya Kerajaan Aceh Darussalam yang menjadi salah satu dari kerajaan terbesar di dunia yang hilang ini, kembali ditemukan. 
Di Mukim terujung Aceh Besar sebelah timur ini juga pernah berjaya dengan pelabuhan penyeberangan Banda Aceh - Pulau Weh. Jauh, sebelum Ulee Lheue kembali mengambil peran lamanya. Lalu, apa jadinya Krueng Raya hari ini? Percayalah, tak lebih dari sebuah distrik mati nan sepi.

Beberapa waktu lalu, rasa penasaran saya berhasil menuntun saya untuk menyambangi Pemukiman sunyi ini. Mirip seperti kota mati. Tak banyak penduduk yang berlalu-lalang. Beberapa kantor administrasi pemerintahan ataupun lembaga terkesan sepi dan tak ada aktifitas. Jalanan yang lengang, sesekali hanya sapi dan kambing yang melintas.

Menyusuri Jejak Laksamana Perempuan Pertama Di Dunia

benteng Indra Patra yang pernah digunakan oleh Keumalahati
Mobil yang saya tumpangi terus melaju melewati Pelabuhan Barang Keumalahayati. Jalanan yang rata berubah menjadi berbukit-bukit. Mobil mini bus putih ini terus menanjak naik sampai akhirnya  berhenti tepat di atas sebuah tanjakan, lalu mengambil haluan ke kiri.
“Turun dulu Bang, kita akan lihat pemandangan Teluk Krueng Raya secara utuh dari atas sini” ujar bang Faisal sang pemilik Imgcarrental yang langsung sigap dengan mematikan mesin mobil lalu mempersilahkan saya turun dan merekam sebuah pemadangan yang luar biasa tersaji.
Beberapa kapal nelayan, terlihat berwarna-warni dan seperti disusun secara beraturan dan berjejer. Tak bergerak. Ada dua buah kapal besar yang sedang melakukan bongkar buat. Selebihnya, beberapa boat nelayan hilir mudik mencari ikan di sekitar teluk. Di ujung mata memandang, bukit hijau berdiri tegak. Seolah menghalau awan dan angin yang hendak menciptakan gelombang laut. Saya terdiam seketika. Menikmati sebuah pemandangan bak sebuah lukisan tangan seorang pelukis handal, tapi, ini nyata. Bukan lukisan.


ini kok jadi kontras gini ya?  hedeuh
Belum lama mobil menempuh jalanan yang terjal, Bang Faisal dengan sigap mengambil haluan ke kiri. Ternyata kami dibawa ke benteng Inong Balee (wanita Janda). Benteng Inong Balee adalah sebuah benteng peninggalan Laksamana Keumalahayati. Benteng ini di bangun sebagai benteng pertahanan dan pusat logistik kapal perang Aceh di jaman kesultanan Sultan Alauddin Riayat Syah Sayyid al-Mukammil (1589-1604 M).
Disebut sebagai Inong Balee atau wanita janda, karena kala itu, Sang Laksamana mengumpulkan para janda yang suaminya telah menjadi korban perang melawan Penjajah Portugis. Lalu, sejarah mencatat bagaimana kemasyhuran sepak terjangnya. Ia, berhasil mengumpulkan 2000 orang wanita yang kesemuanya adalah wanita janda perang. Tembok kokoh berdiri. Di pesisir pantai krueng raya berjejer kapal perang yang gagah pada masanya berderet rapi. Bersiap untuk menggerayangi setiap jengkal kapal penjajah yang nakal memasuki perairan Aceh.

Baca Juga Krueng Raya kota Para Janda

sisa benteng Inong Balee di Aceh Besar, Aceh-Indonesia
Pernah terjadi pertempuran besar di mana pasukan Portugis dipimpin Cornelis de Houtman menggempur pertahanan pasukan Kerajaan Aceh di Benteng Inoeng Balee. Namun serangan itu berhasil dipatahkan, dan bahkan Cornelis de Houtman harus kehilangan nyawanya ditangan sang laksamana. Saya seolah terbawa ke masa keemasan Sang Laksamana Keumalahayati kala itu.

Di hadapan saya, hamparan pepohonan yang hijau berdiri mengikat batu belikat yang membentuk dinding tua. Tapi, itulah dia, sisa dari benteng hebat sang Laksamana Keumalahayati-arti dari namanya adalah cahaya hatiku-yang pernah menjadi cahaya bagi seluruh kaum wanita Aceh sampai hari ini. Cut nyak dhien, pun terkesima dibuat olehnya. Langkah Cut Nyak Dhien menjadi seorang pemimpin perang tak luput dari inspirasi sang Laksamana.
Dinding itu masih cukup kokoh, walaupun benteng tak berbentuk lagi. Beberapa pengunjung dari Jakarta, terlihat sibuk menyusuri setiap inci dari sisa-sisa benteng kuno itu. Di sisi lain dari benteng tersebut, ada sebuah makam tua dengan nisan yang mirip dengan nisan lamuri. Istri saya mencoba membaca tulisan arab yang terpatri di nisan tersebut. 1206 M “Selebihnya Adek nggak tahu bang” jawabnya kala saya meminta menerjemahkan yang lainnya.
makam yang berada di kawasan benteng Inong Balee

Bukit Ujung Batee Puteh
di puncak bukit bersama dengan para bocah. Taken by : Putri
Angin Timur mulai berhembus kencang, saya, istri dan bang Faisal sedikit meragu ketika melanjutkan trip sehari menyusuri Mukim Kuno ini. Bukan apa-apa, Banda Aceh dan sekitarnya masih musim hujan. Kami ingin menaiki sebuah bukit yang katanya ada pemandangan seperti di Irlandia. Bukit ini, berada tak jauh dari benteng Inong Balee. Dari Benteng, kira-kira 15 menit berkendara ke arah timur. Jauh terus memasuki ke daerah perbukitan mukim Krueng raya.
Suara hiruk pikuk pelabuhan kini berganti dengan ciutan burung perkutut dan burung hutan. Sesekali, terlihat sapi merumput di punuk bukit yang hijau. Sejauh mata memandang, hanya hamparan hijau yang menenangkan mata terlihat. Sampai -lagi-lagi- bang Faisal berbelok ke arah kiri. Tak jauh dari jalan aspal berbukit, saya disuguhkan sebuah pemandangan yang unik.
Jalanan berbatu ini berakhir pada pasir hitam halus yang berwarna legam, seolah menjadi kontras kala berpadu dengan tebing putih yang gagah. Tebing Putih terjal tinggi menjulang. Beberapa pohon tumbuh di sisi tebing kapur yang putih beradu hijau ini, menjadikannya sebagai hal yang indah dan unik. Pesona pantai yang terletak di Kilometer 47 dari Banda Aceh menuju ke kreung raya ini, akan semakin indah ketika saya berada di puncak bukitnya.
selalu kangen dengan pemandangan ini, walaupun kudu harus berpanas-panas ria
Lelah, penat, dan peluh bercampur menjadi satu. Saya hanya bisa terduduk lemas sesampai di puncak bukit Batee Puteh (Batu Putih) ini. Pandangan saya lemparkan ke hamparan laut yang biru muda dan hijau toska. Sesekali terlihat elang elang putih terbang tinggi mengangkasa lalu menukik tajam di punggung laut. Di sisi selatan bukit, terlihat tebing yang curam sembilan puluh derajat. 

Berdiri kokoh berwarna putih. Menjadikan pemandangan di sini seperti layaknya di negeri subtropics. Seketika lelah, dan penat saya hilang. Hanya rasa tenang, nyaman, dan bahagia yang saya rasakan. Dari atas bukit batu putih ini pula, kesan kota mati ataupun kota para janda menghilang. Semuanya tersaji indah di hadapan saya.
Di sebelah utara, dari atas bukit, terlihat sebuah pantai dengan pasir berwarna putih bersih. Debur ombak yang mengalun lembut, pepohonan yang tumbuh rapat-rapat nan hijau. Berbanding terbalik dengan sisi selatan bukit. Dan, inilah uniknya. Bukan hanya tebing bukit kapur berwarna putih, melainkan saya langsung diperlihatkan dua pemandangan unik sekaligus.

Makam Laksamana Keumalahayati

Mobil putih yang sudah tak karuan warnanya ini karena berkalang lumpur kembali ke jalanan aspal. Memacu sedikit kencang lalu berbelok ke kiri lagi. Tepat di depan pelabuhan Keumalahayati. Ternyata, Bang Faisal ingin menuntaskan seluruh rangkaian cerita dari Mukim Kuno Krueng Raya hari ini. Ia memutuskan mengajak saya dan istri mengunjungi makam sang pencetus emansipasi wanita pertama kalinya dalam dunia kemiliteran dunia. Dialah, Laksamana Keumalahati.
jalan menuju ke Makam Keumalahayati
Setelah wafat dalam pertempuran di teluk Krueng Raya, beliau disemayamkan tak jauh dari benteng Inong Balee. Di sebuah bukit kecil yang berpagar beton putih tersusun mengular mengelilingi bukit. Letaknya tak jauh dari pelabuhan Krueng Raya. Pepohonan besar menjulang tinggi. Memayungi areal makam dari panasnya sinar mentari siang itu. Saya dan istri menapaki anak tangga yang terus naik sampai ke puncak bukit.
Ada tiga makam yang dinaungi cungkup. Di sana, terbaring jasad Laksanama Keumalahayati, suaminya dan anaknya. Dipusara Nisan yang berbentuk caping itu, saya duduk terdiam dan termenung. Merenungi semua kisah hebatnya berjuang demi tanah negeri tercintanya dari tangan-tangan penjajah.
Kondisi makam cukup terawat loh
Perjalanan singkat hari itu, menyusuri sebuah pemukiman kuno yang berdasarkan beberapa literature sejarah telah berdiri sejak abad ke 11 Masehi, berhasil membuka pandangan mata saya. Sebuah tempat yang sunyi, dan indentik sebagai sebuah kota mati, ternyata menyimpan begitu banyak cerita. Terlebih lagi, di Mukim Kuno itu pula terbaring seorang wanita hebat, yang menjadi pelopor emansipasi dalam dunia kemiliteran dunia. Dari bukit yang terkesan ditinggalkan ini, saya belajar banyak hal. Paling tidak, saya belajar mencintai Aceh dengan semua kisah klasiknya.

** Artikel ini pernah dimuat di Harian Aceh Indonesia
** Foto paling atas milik kak Olyvia Bendon (obendon.com)

Ketika Musik Berhasil Merangkul Aceh Untuk Bersatu

$
0
0

Sore masih, ruangan aula besar ini mulai memperlihatkan gemuruhnya. Suasana yang awalnya kaku berubah menjadi begitu mencair. Dentuman drum bercampur dengan rapai. Rintihan gitar berpadu dengan tepukan tangan yang memberikan nada-nada mistis tersendiri.

Saya sempat ragu, jika acara festival musik daerah ini akan berhasil menyita perhatian banyak orang. Pun, biasanya tak lebih dari sebuah ajang musik biasa. Tapi, penampilan totalitas dari sebuah grup yang musik yang berasal dari kabupaten Bireuen, mampu membuat semua pikiran picik saya sirna.

Sudah lama rasanya di Banda Aceh ada ajang musik band seperti ini. Bila saya tak salah, masa-masa kejayaan event-event ngeband ini berada pada awal tahun 2000an. Namun kali ini, Dinas Pariwisata Provinsi Aceh mencoba melakukan sesuatu hal yang sedikit lebih unik dari biasanya. Aceh Musik Festival, dimana seluruh peserta diberikan kebebasan berekspresi dalam membuat musik-musik yang berlirik Aceh.

Setelah melalui proses screening yang panjang akhirnya loloslah 13 grup musik kontestan yang berasal dari berbagai daerah di Aceh. Mulai dari kota Banda Aceh sampai kabupaten Aceh Tengah. Dan, jujur saja, ternyata musik etnik Aceh yang dimainkan oleh para peserta cukup asyik didengar. Mulai dari genre rock sampai pop pun dilatunkan.

kawan-kawan dari Juang Art Community
“Kami, pada prinsipnya hanya sebuah komunitas bang, sampai akhirnya 2 tahun yang lalu kami melegalkan komunitas ini. Didalamnya, bukan hanya ada musisi, namun kami menampung semua seniman muda yang ada di Aceh.” Ungkap Yayan yang merupakan wakil ketua dari Juang Art Community yang berbasis di Bireuen ini.

Grup JAC menampilkan satu performance yang luar biasa ini, berhasil mengantarkan mereka menjadi juara satu dalam acara tersebut. Tapi, bukan itu yang ingin saya bahas. Terlepas dari mereka juara satu atau tidak, musik mereka, gaya mereka, berhasil membuat saya terharu dan tercekat.

Bagaimana tidak, musiknya sedikit mirip dengan musik-musik yang beraliran perkusi, didalamnya ada celempung, sebuah alat musik dari bambu yang bersenar. Lalu ada seruling bambu, dan tak lupa Rapai. Iya, alat perkusi khas dari tanah Aceh pesisir ini menjadi seperti alat musik wajib dalam menunjukkan kekhas-an musik Aceh.

Rapai, Suling, Dan, Celempung
Menariknya, sesekali ketika mereka menepuk dada dan tangan, mirip sekali dengan tari Saman. Sesekali, gitar listrik melengking tanpa ampun. Lalu, drum dipukul tanpa henti. Tiba-tiba hening. Selanjutnya, saya dan hampir seluruh para penonton yang hadir di gedung AAC DAYAN DAWOD Universitas Syiah Kuala ini merinding sejadi-jadinya.

Seorang pemain Celempung, lengkap dengan pakaian adat Gayo berdiri menggunakan kain kerawang Gayo. Berjalan ia dengan pasti menuju ke tengah panggung. Dan, ia pun menarikan tarian Guel. Alamak! Semua penonton berdiri. Bertepuk tangan dan tak henti seolah tersihir oleh keapikan tarian guel.

Kemudian, musik kembali berubah alunan. Sedikit kencang dengan tabuhan rapai. Kini, giliran seorang pemain rapai yang berdiri menuju ke tengah panggung. Lalu... ia menepuk nepuk bagian perutnya. Ya! Ia menarikan tarian Seudati. Sebuah tarian asli dari tanah pesisir Aceh.

seorang pemain celempung, menarikan tari Guel dengan terus diiringi alat musik kontemporer
Kini, saya benar-benar meneteskan air mata. Bagaimana mungkin?

Selama ini, kala berbicara Aceh, seolah selalu ada sekat antara yang pesisir dengan yang pengunungan. Selalu ada keriuhan dalam politik jika sudah membahas dua kawasan Aceh yang berbeda ini. Tapi di sini? Mereka berhasil menyatukan dua budaya tanpa satu orangpun yang komplain. Paduannya begitu syahdu. Tepukan tangan semakin meriah. Penonton semakin terhipnotis ketika dua penari ini tanpa henti menunjukkan kebolehannya masing-masing. Celempung berbunyi merdu. Rapai di pukul dengan garang.

Hingga akhirnya, berhenti dalam harmonisasi yang sungguh luar biasa.

“Bang, yang kami mainkan tadi berjudul, Murum Meusajan. Artinya Kebersamaan. Kita harus mengakui kalau Indonesia ini kaya akan budaya. Juga demikian dengan Aceh. Garapan musik ini sebenarnya menceritakan perpaduan dua warna kebudayaan yang sangat kontras. Antara keras dan kelembutan, panas dan dingin, terang dan gelap, tinggi dan rendah, pesisir dan pegunungan. Semuanya kami tuangkan menjadi satu kesatuan. Inilah yang kami sebut Murum Beusajan-kebersamaan” jawab Yayan ketika saya menanyakan apa maksud dari karya musik yang mereka pentaskan tadi.

ingin rasanya saya menyalami mereka sambil terus mengucapkan terima kasih
Yayan juga mengatakan kalau selama ini, ia dan teman-teman di JAC juga merasakan kegelisahan yang sama. Aceh seolah terpecah belah karena faktor budaya yang dipolitisasikan. Walaupun JAC berasal dari Bireuen, akan tetapi semua anggota mereka berasal hampir dari seluruh Aceh. Lengkap dengan berbagai background budaya dan bahasa.

Jika mereka bisa bersatu dalam lantunan musik, mengapa kita tidak? Inilah pesan kuat yang saya dapatkan selama menyaksikan pementasan mereka.
drummer dari grup Cupa Band yang berasal dari Banda Aceh. Ganteng ya? #eh

Beli barang bagus di Aceh, Susah? Manfaatkan aplikasi Shopback di Harbolnas!

$
0
0
foto pasar di Banda Aceh ( by : acehprov.go.id)
Akhir-akhir ini, Banda Aceh sedang dirudung masalah. Masalah yang paling anyar adalah masalah transportasi online. Hampir mirip dengan daerah lainnya di Indonesia raya ini, Aceh juga tak lepas dari perkembangan teknologi. Sehingga bisa dipastikan jika tranportasi online akhirnya menggerus transportasi offline.

Prilaku masyarakat jaman now yang berubah seusai jaman nggak akan bisa dibendung. Sudah pasti, bukan hanya tranpostasi yang berubah akan tetapi prilaku berbelanja. Saya sendiri yang begitu maniak kopi arabika misalnya. Bila cuaca tak cerah lalu turun hujan lebat dan malam hari pula, maka aplikasi ojek online menjadi pilihan. Ya.. walaupun terkadang ongkos antar lebih mahal daripada makanan atau minuman yang saya pesan.
Tapi, intinya cukup membantu dan membuat orang-orang seperti saya cukup terbantukan. Lalu bagaimana bila akhirnya, gaya belanja yang offline berubah menjadi online ini didukung dengan program atau aplikasi cashback?

tempat belanja favorite saya dan istri.. lengkap sih, tapi...
Kota Banda Aceh yang terletak di ujung pulau Sumatra ini, turut menyumbang kenaikan harga barang yang cukup signifikan. Memang tidak terlihat secara kasat mata. Tapi cukup terasa secara kasat dompet. Tak heran, bila saban kali menjelang idul fitri atau hari besar keagamaan, akan banyak orang kota Banda Aceh atau Aceh yang berbelanja ke provinsi tetangga, ke Jakarta, atau malah ke negara jiran.

Tidak cukup sampai di situ, terkadang kelengkapan kebutuhan juga menjadi kendala tersendiri. Mengingat masih monotonnya permintaan akan barang dan jasa tertentu. Toh jadi blogger aja di Aceh masih rada-rada nganu.

Nah, sekarang! Kalau kamu sedang dinas atau tugas di Aceh dalam waktu yang cukup lama, atau kamu orang Aceh butuh sesuatu yang sedikit langka atau malah mulai masuk dalam kategori Endangered. Kenapa tidak belanja melalui shopback aja? Apalagi bulan depan, akan ada Harbolnas 1212 yang akan menyita semua kesaktian dompet dan ATM para penggila belanja.

Lalu, Apa itu Shopcback?


Tak kenal maka tak sayang, begitulah kata pepatah. Tapi untuk teknologi? Tak kenal maka tak digunakan. Shopback, sebenarnya adalah startup portal e-commerce dari Singapura yang memanfaatkan program komisi cashback dan didirikan pada tahun 2014 lalu.

ShopBack juga dianggap sebagai sebuah situs penghubung antara pembeli dengan penjual dari berbagai e-commerce. Dan, kacaunya lagi, jumlah jejaring yang berhasil dibangun oleh shopback ini malah mencapai ratusan e-commerce. (pusing, pusing deh lo nyari barang, haha)

Jadi, setiap kali kamu berbelanja online di e-commerce favorit melalui www.ShopBack.co.id semisal; Tokopedia, BukaLapak, Lazada, Matahari Mall, eBay, AliExpress, Blibli, Groupon, Orami, Agoda, Tiket.com, Zalora, Muslimarket, foodpanda, Berrykitchen, UBER, dll) kamu akan diberi tambahan uang Cashback hingga 40% yang dapat dicairkan ke rekening pribadi. Iya! Cashback bang bro... ada baiknya ulasan ini dijauhkan dari istri tercintamu ya. Kasihan atm-mu, nanti patah lagi hihihi

ehem, beli eyeliner biar istri senang, mumpung diskon hehe

Sebenarnya, kelebihan belanja di shopback.co.id apa saja?
  • Langsung dapat cashback dengan syarat dan ketentuan pastinya. Silahkan kamu check sendiri ya.
  • Satu aplikasi dengan semua online shop terpercaya. Nah, salah satu peraturan yang diterapkan sama portal belanja yang satu ini adalah, semua online shop yang sudah bergabung bisa dipastikan aman 100%. Jadi selain aman, maka kamu juga udah nggak perlu lagi download berbagai aplikasi belanja online lainnya. Yang mana itu pastinya akan menghemat space telpon seluler pintarmu.
  • Lengkap. Dalam artian, karena semua online shop sudah bergabung jadi satu. Jadi kamu tinggal pilih mau belanja dimana, lalu buka shopback, dan tinggal touch  toko yang kamu inginkan.
  • Banjir diskon hampir setiap hari. Saya lebih suka menyebutnya diskon sekaligus simpanan. Memang nggak banyak dan nggak gede. Tapi kalau istrimu atau kamu sukanya belanja online, maka ini bisa dipastikan akan memberikan keuntungan untukmu disuatu hari kelak. Saat negara api menyerah kalah.

Oh iya, ada beberapa hal lagi yang harus kamu ketahui ketika akan belanja di Hari Belanja Online Nasional nantinya di Shopback.co.id


Pastikan kamu tidak menyia-nyiakan Hari Belanja Online Nasional yang hanya berlangsung satu hari ini. Namun demikian, jangan pula terlalu bersemangat dan mengabaikan tips belanja daring. Jangan sampai salah pilih dan tidak mengindahkan syarat dan ketentuan yang ada. Untuk memperoleh harga lebih murah dengan promo berlipat-lipat pastikan Kamu buka dulu promo Harbolnas ShopBacker dari situs ShopBack Indonesia.

Gunakan kartu kredit untuk mendapatkan promo yang lebih banyak lagi. Karena gelombang pemesan sudah pasti jauh lebih besar, maka Kamu harus hati-hati menyimpan bukti pemesanan dan pembayaran. Bila perlu, cetaklah bukti pemesanan Kamu. Gunakan password yang kuat, agar akun Kamu tidak dibobol para spekulan licik. Periksa terus laporan keuangan setiap kali melakukan transaksi, jangan sampai saldo Kamu menipis tanpa alasan yang jelas. Cermatlah dalam berbelanja, jangan sampai Kamu tertipu diskon Harbolnas dan kode kupon Harbolnas palsu. Cek harga di semua situs belanja daring untuk mendapatkan harga terbaik.

kamera yang saya beli beberapa saat lalu
Saya kini sedang membayangkan, suatu hari nanti, orang-orang yang jualan di pasar tradisional akan demo juga di gedung Dewan Perwakilan Rakyat Aceh. Mengadukan nasibnya yang tergerus oleh kencangnya laju teknologi. Sama seperti transportasi online, belanja online pun kini menjadi sebuah gaya hidup dan kebutuhan di jaman now. 

5 Penginapan Mewah di Aceh

$
0
0

Seiring meningkatnya jumlah wisatawan ke Aceh, varian penginapan juga mulai berkembang dan bersaing. Tidak cukup ketat, tapi bolehlah. Bahkan kini, harga kamar penginapan di Aceh sudah ada yang mendekati angka 3 juta rupiah. 

Iya, Aceh juga memiliki hotel atau penginapan dengan harga yang cukup mumpuni. Bukan hanya penginapan murah saja yang tersedia. Akan tetapi buat kamu yang orang kayah, ganteng nan rupawan, rajin menabung serta suka kelayapan bak artis india, nah di Aceh sekarang sudah tersedia yang cukup lux.

Berikut ini saya rangkum menjadi 5 Penginapan Mewah di Aceh. Oh iya, standarisasi mewah seseorang bisa saja berbeda. Apa yang menurut saya mewah, belum tentu mewah menurut anda. Jadi, ini murni berdasarkan penilaian saya pribadi yang mengambil sudut dari harga dan pelayanan yang ditawarkan. (semoga habis posting ini dapat staycation gratis, yes!). Inilah 5 Penginapan Mewah di Aceh (versi hikayatbanda.com)

  • Hermes Hotel

kamar suite junior yang kini telah direnovasi. (sumber foto : hermespalacehotel.com)

Beruntung, akhirnya Banda Aceh memiliki satu-satunya hotel bintang LIMA. Jadi, sudah bisa dipastikan berapa harga kamar standarnya per malam, bukan? 

Kelebihan hotel ini sendiri memang hanya pada service bintang limanya. Kolam renang yang cukup, lobi yang nyaman, serta ruang dining yang cukup bagus untuk kategori kota sekecil Banda Aceh. 

Saya sendiri dan keluarga pernah mendapatkan hadiah menginap satu malam di kamar junior suite room. Bukan, ini bukan hadiah dari pihak hotel. Tapi oleh salah satu lembaga zakat dunia. (asyek!)

Terdiri dari 6 lantai dengan 159 ruang tamu mewah dan desain yang elegan di setiap kamarnya yang dibagi menjadi 117 kamar deluxe, 12 kamar grand deluxe, 20 kamar suite junior, 8 kamar suite eksekutif dan 2 kamar preseidential suite memberikan pengalaman akomodasi terbaik di Banda Aceh.

Rate Kamar permalam : Deluxe room : starting from Rp. 1.795.000,-

Hermes Palace Hotel
Jl. T.Panglima Nyak Makam
Banda Aceh, Nanggroe Aceh Darussalam, Indonesia
Phone : +62 651 755 5888
Fax : +62 651 755 6999
Homepage : http://www.hermespalacehotel.com


  • The Pade hotel

5 Penginapan Mewah di Aceh
my favorite spot (sumber foto : thepade.com)

Kalau kamu melihatnya dari lokasi, ini hotel kayaknya nggak banget. Kenapa? Karena ia terletak sedikit di pinggir kota Banda Aceh. Dan, sedikit jauh dari pusat kuliner atau pusat jajanan. Jadi, kalau kamu berharap bisa belanja malam hari sambil jalan kaki dari hotel, lupakanlah!

Akan tetapi, jika kamu mendambakan tidur dengan suasana nyaman, tidak berisik, lalu ketika pagi udara persawahan yang dibelakang hotel terhirup segar, maka inilah hotelnya. Gaya bangunannya sedikit bergaya timur tengah. Dan yang paling penting, lobbi hotel ini instagramable banget. 

Sebenarnya, ini hotel favorite saya dan keluarga. Soalnya tempatnya memang nyaman banget. Jauh dari kota, ada kolam renangnya walaupun kecil. Dan kalau malam, view lobbynya benar-benar bikin betah buat duduk dan baca buku berjam-jam. 

Hotel The Pade dibangun pada tahun 2008. Hotel ini terletak di Jalan Soekarno Hatta No.1 Desa Daroy Kameu, Banda Aceh. Hotel The Pade ini memiliki tinggi 3 lantai, 1 bar dan restauran serta 65 jumlah kamar dengan beberapa macam pilihan. Desain setiap kamarnya menggunakan nuansa Timur Tengah.


Deluxe Rooms Rp. 1.155.000,-nett

The Padé hotel
Jl. Soekarno Hatta No. 1, Desa Daroy Kameu

Kecamatan Darul Imarah, Aceh Besar 23352

ACEH - INDONESIA
Ph : +62 651 49 999, 46 999, 43 490, 43 397, 43 391, 43 396
Fax : +62 651 47 999
E-mail: info@thepade.com , booking@thepade.com

  • The Pade Resort

5 Penginapan Mewah di Aceh
sumber foto : thepade.com 

The Pade Resort ini menjadi satu bagian dari the Pade Hotel Banda Aceh. Bedanya, ia terletak di pulau Weh. 

Dan, bisa dipastikan kalau The Pade Resort Terletak di pinggir laut dengan fasilitas yang cukup mumpuni. Andalan paket menginap yang ditawarkan biasanya pasti tak jauh-jauh dari diving. Dengan harga permalam mencapai 2.800.000 sudah wajib bagi kamu mendapatkan pelayanan yang luar biasakan? 

Fasiltas hotel : 
Guest Room : 11 rooms with Sea / Garden View, 2 Indoor rooms. Satellite TV, DVD Player, Individually AC Controller. Bathroom with Amenities and Hot/Cold water shower. Wi-Fi Hot Spot

5 Penginapan Mewah di Aceh
thepade.com 
The Pade Resort
Jl. Balik Gunung, Gampong Iboih
Kecamatan Suka Karya, Kota Sabang 23518
Weh Island, ACEH, Indonesia.
Telp : +62 652 - 33 24 500
Fax : +62 652 - 33 24 400
Email : info@thepade.com / sales@thepade.com / fo@thepade.com

  • Casanemo Resort And Spa

Taraaa... ini dia dambaan sejuta umat. Murah, tapi nggak murahan. Sederhana tapi tetap luxury. Impian menginap saya dan keluarga yang sampai hari ini nggak pernah kesampaian. Kenapa? Karena selalu fullbook. Jadi, bagi kamu yang ingin menghilangkan penasaran tidur di casanemo resort and spa yang ada di kota Sabang, pulau Weh ini wajib memesannya jauh-jauh hari. Atau ambilnya di musim sepi pengunjung. 

5 Penginapan Mewah di Aceh
ini bagian belakangnya atau depannya ya? bingung saya jelasinnya (sumber foto : traveloka.com)
Resort yang pernah mendapatkan “certificate of excellence” dari tripadvisor tahun 2013 ini, memiliki restoran yang langsung berhadapan dengan pantai Sumur Tiga pulau Weh yang terkenal dengan nuansa birunya. 

Dia memang tidak mahal tapi bukan berarti tidak mewah kan? Dan itulah yang membuat penginapan ini saya masukkan dalam kategori 5 Penginapan Mewah di Aceh!

Rate permalam (based on traveloka) mulai dari Rp. 475.000,-
Casanemo Resort And Spa
Alamat: Jl. H. Agus Salim, Ie Meulee, Sukajaya, Kota Sabang, Aceh 24411
Telepon: 0813-6299-9942
  • Pulau Weh Resort 


Kalau soal harga? Resort ini adalah yang termahal dari semua yang saya rangkumkan. Kalau soal keinginan bermalam di sini? Sudah sejak pertama kali ngeblog. Pernah beberapa kali melewati penginapan ini. Dan, memang harus setuju tatkala ada yang berpendapat harga menentukan kualitas. 

Kamar yang menghadap ke laut terlihat begitu menawan. Ruangan yang sebagian besar kaca bisa dipastikan pemandangan indahnya kala pagi atau menjelang senja. Pun, bila kamu ingin berleha-leha di keheningan pantai? Bisa. Dan, kalau kamu ingin diving, mereka juga akan menyediakan paket diving lengkap dengan semua fasilitas.

5 Penginapan Mewah di Aceh
sumber foto : www.pulauwehresort.com
Fasilitas lengkap di sini dalam arti kata selengkap-lengkapnya. Mulai dari jeti pribadi, boat pribadi, sampai guide pribadi!

Rate kamar dengan view laut mulai dari Rp. 2.800.000,-/malam

Pulau Weh Resort Sdn. Bhd. (Weh Island Resort)

Malaysia office :

A-1-11A, Jalan PJU 1A/20A,

Dataran Ara Damansara,
47301 Petaling Jaya,
Selangor, Malaysia
Indonesia Office :
Jalan KM 0, Sabang,
Pulau Weh, Aceh, Indonesia.
Tel    : +603 7845 8989 (Malaysia)  +62 652 332 4919 (Pulau Weh)
Fax   : +62 652 332 4900 (Pulau Weh)
H/P   : +62 821 632 99118 (Pulau Weh)
Email     : admin@wehresort.com
Website : www.pulauwehresort.com


5 Penginapan Mewah di Aceh
mak, ini kamar semalam harus jual kamera yang mana lagi? :(sumber foto : www.pulauwehresort.com)
Oh iya, tidak lama lagi akan hadir hotel yang memiliki franchise dari perancis di Banda Aceh. Posisinya juga sangat asyik. Yaitu tepat di tengah kota Banda Aceh. Namanya Kryad Muraya Hotel. Walaupun bintang tiga, tapi harga dan pelayanannya cukup menggiurkan. Permalam-nya berdasarkan info yang saya dapatkan adalah Rp. 1.000.000,- untuk kamar standar. Review? Doakan agar sama dan keluarga dapat undangan staycation di hotel ini ya!

Merengut di Monkey Forest, Tersenyum di Jungle Fish Bali

$
0
0
wisata di Ubud Bali
 “Bang, ke Jungle Fish yuks? Mumpung sudah di Ubud!” Viqi, merayu saya agar tidak balik dulu ke Legian tempat di mana saya memutuskan untuk menginap selama di Bali dalam beberapa hari ke depan.
Setali tiga uang, bang Bobby (virustravelling.com) juga mengangguk mengiyakan. “mumpung sudah di Ubud” begitu katanya. Saya masih terus menyeruput kopi Bali yang mulai dingin. Beberapa bebek mulai gatal dan genit berlarian di pematang sawah. Bilqis asyik masyuk bersama ibunya yang mulai lelah. Sedang Ziyad, masih duduk tenang untuk mengembalikan arwahnya yang sempat hilang di kejar monyet.

Terus terang, saya sedikit kecewa dan kesal. Pasalnya, gara-gara ke Forest Monkey Ubud! Awalnya, saat mendengar nama forest monkey, saya yang mulai sok konservasi ini sangat tertarik. Kali aja ada yang bisa dipelajari dan dibawa pulang ke Aceh untuk menjadi bahan konservasi. Begitulah pikiran saya yang lagi kemaruk konservasi ini. ada orang bicara konservasi, ada saya bicara konservasi. Entah apa, entah...

Monkey Forest Ubud

Berhubung ke Bali tidak ada ittenary khusus, jadilah akhirnya saya memutuskan ke Forest monkey. Sungguh! Ini semua hanya demi menghilangkan rasa penasaran dan sok konservasi. Butuh waktu satu jam untuk sampai ke monkey forest dari Loft Legian Hotel.

wisata di Ubud Bali
salah satu pura dari tiga pura yang ada di Forest monkey

Kesan pertama masuk Monkey Forest? Saya shock karena harus mengeluarkan dua lembar uang bergambar soekarno hatta. Bagaimana tidak, di Banda Aceh, sangat susah ditemui tempat wisata yang biaya masuknya semahal ini. Dengan sedikit berlagak sok jadi blogger kayah, saya membeli dua tiket dewasa seharga 100.000 ( @50.000 x 2 dewasa) dan 80.000 untuk anak anak ( @40.000 x 2 anak). Totalnya? 180.000! muahal cyin..Cuma untuk lihat monyet?!

Jika bicara soal tempat, hutan monyet Bali ini sebenarnya bagus. Rapi malah. Track dari papan kayu yang disusun sangat teratur dan jelas arah petunjuknya. Ada yang mengarah ke pura, ada yang mengarah ke Holy Spring dan toilet. 

wisata di Ubud Bali
sumpah, penasaran kali lah pengen masuk kedalamnya
Dengan luasan area seluas 12,5 hektare dan dipayungi oleh hampir 186 spesies tumbuhan serta ada tujuh ratusan monyet yang bernama latin Macaca Fascicularis ini, forest monkey sebenarnya cukup sejuk dan menyenangkan. terutama bagi mereka yang sulit mendapatkan daerah seperti ini di kampung halamannya.

Saya, yang saat itu baru saja balik dari hutan desa ketambe dan merupakan kawasan taman nasional leuser, merasa sedikit dongkol. Bagaimana tidak, demi melihat monyet saja saya harus membayar mahal. Padahal, di kampung, monyet-monyet yang hampir sejenis ini bisa dengan mudah saya temukan di pinggir jalan lintas Banda Aceh- Sigli, lintasan Banda Aceh – Lamno, atau lintasan calang-Tapak Tuan. Mereka akan duduk dengan cantik di sepanjang jalan tersebut. Semuanya free free free! Tanpa bayar. Sedangkan di Ubud saya harus bayar Rp 180.000 demi melihat monyet!

Pelajaran dalam perjalanan kali ini adalah, siapkan uang yang banyak kalau ingin jalan-jalan ke kawasan yang bertemakan alam hijau. Terutama bagi kamu yang di kotanya sudah tidak ada lagi hutan! Dan bagi kamu yang masih ada hutan di kampungnya, maka belajarlah dari forest monkey Ubud di Pulau Bali ini.
Baca cerita lainnya tentang Bali 
Harus saya akui, hutan ini menarik. Saya suka dengan cara mereka menatanya. Terlepas semua kekesalan saya akan mahalnya harga masuk demi melihat monyet (dibahas!), di sini, pada saat tertentu kamu bisa melihat prosesi ngaben atau ritual lainnya. Di dalam kawasan ini pula, ada tiga pura. Pura Dalem Agung, Pura Beji dan Pura prajawati yang terletak di area parkir lengkap dengan kuburan warga sekitar.

wisata di Ubud Bali
pemandangannya asyik memang, tapi monyetnya itu nggak nahan
Menurut informasi, kuburan yang berada dalam Pura Prajawati tersebut, setiap lima tahun sekali akan digali dan dilakukan ngaben massal. Jadi, untuk kamu yang gila meliput budaya, bisa mencari informasi lebih mengenai jadwal ngaben tersebut. Paling tidak, bisa mengobati rasa sakit hati dengan fee entrance-nya.

“Ayaaaah....ayaaah... tolong Yah..ayaaaah...” Ziyad menjerit, menangis dan lari terbirit-birit! Seekor monyet Bali betina besar dengan anak pada pangkuannya menarik-narik baju bagian belakang Ziyad. Suasana yang tadinya terkesan sunyi mulai menjadi gaduh. Saya harus melepas Bilqis dan istri untuk lari ke sumber suara teriakan Ziyad. Para penjaga kawasan hutan monyet pun tak kalah sigap. Tiba-tiba suasa benar-benar menjadi tegang.


wisata di Ubud Bali
udah bisa senyum karena udah kenyang..
Hap! Sejurus kemudian, bang Bobby sudah menangkap dan menggendong ziyad. Iya, bang Bobbylah yang menemani saya dan keluarga untuk jalan-jalan ke kawasan ini. kalau tidak ada bang Bobby, manalah saya paham kalau di Bali ada hutan monyet begini?

Jungle Fish? Hutan Ikan?

Rasa-rasanya saya malas menerima tawaran keliling di kawasan Ubud, Bali di siang itu. Mungkin, bila ada yang bertanya bagaimana Bali? Saya akan menjawab bali keren. Terutama dari segi manajemennya. Walaupun, saya harus menerima pil pahit dari kepintaran bali dalam mengelola wisatanya. Masuk hutan lihat monyet aja muahal, Gam!

Selesai makan siang di sebuah resto yang pemandangannya sawah lengkap dengan padi menghijau dan bebek genit berlarian di pematang sawah, saya akhirnya mengikuti ajakan bang Bobby dan Viqi ke Jungle fish.

wisata di Ubud Bali

Sumpah! Dengar namanya saja saya sudah mulai merasa aneh. Ini jangan-jangan kayak Forest monkey lagi. Udah mahal, hutan, dan cuma ada monyet doang! Jungle Fish, Hutan ikan? Ini mahal jugakah? Hutan dan cuma ada ikan mas koki doang kah?

Pikiran saya berputar-putar. Antara menebak-nebak seperti apakah daerah tujuan selanjutnya dengan terus menghitung sisa duit di ATM. Jangan-jangan biaya masuknya sama juga? Atau malah lebih mahal? Lalu saya teringat pesan dari almarhum nenek, jak beuto kalon beudeuh, bek rugoe meuh saket hate ( datanglah sampai tujuan, jangan rugi emas sakit hati). Siplah kalau begitu, saatnya melangkah kaki ke Jungle Fish.

Kesan pertama? Tempatnya cukup sepi sore itu. Jarum jam menunjukkan pukul lima sore. Tak lama lagi akan magrib. Bangunan berbahan kayu bergaya minimalis menyambut saya dan keluarga. Pramusaji dengan ramah mempersilahkan kami masuk.

wisata di Ubud Bali

“langsung ke kolam renang ya bang Yud” begitu kata Viqi yang terus berjalan bersama sang ibundanya. Jalan setapak ini terus menurun sampai pada akhirnya sebuah pemandangan yang menyejukkan tersaji di depan mata.


Pepohonan rimbun nan hijau, kolam ikan dengan ikan koi bukan mas koki. Beberapa tumbuhan bunga mempercantik tangga yang terus menurun sampai ke pinggir kolam renang infinity-nya. Tanpa ba bi bu, Ziyad dan bilqis sudah siap dengan pakaian renang ala ala mereka. Lalu, cebur...

Saya masih bengong dengan keadaan. Beberapa bule ada yang bersantai ditepian kolam. Bang bobby dan Viqi sudah nyebur duluan. Ternyata, Jungle Fish tak seperti yang saya bayangkan. Ini bukan Hutan Ikan, melainkan sebuah resto, swimming pool, spa atau apapunlah yang ada di situ. Intinya ini bukan hutan Ikan titik!

wisata di Ubud Bali

Bingung karena tak ada celana pendek, masa iya mandi pake kolor robek? Apa kata dunia? Untungnya bang Bobby berbaik hati meminjamkan celana cadangannya. Dan, jadilah sore menjelang magrib itu saya dan anak-anak menikmati kolam renang infinity kayak di instagram-instagram itu. Ah suka hati kalianlah, mau bilang saya kemaruk atau norak. Kapan lagi berlagak jadi orang kaya? Walaupun harga kopi dan kentang gorengnya bikin atm patah dan muka merengut, yang penting, tetap gaya.

So guys, buat kamu yang menghabiskan liburan atau tahun baru, mungkin, dua tempat liburan di Bali ini bisa kamu singgahi. Oh ya, siapkan juga bugdet lebih ya.. hehe 


wisata di Ubud Bali

wisata di Ubud Bali



Fun Fact :

  • masuk di bawah jam lima sore di Jungle Fish; orang dewasa bayar 150k rupiah
  • kalau di atas jam 5 sore biasanya free yang penting pesan minuman

5 Hal Yang Membuat Aku Merindukan Gayo Lues

$
0
0
Satya Winnie lagi tidur-tiduran di kawasan  Hutan Lumut
foto by : www.satyawinnie.com
Ah, tak ada yang lebih bahagia tatkala berhasil melangkahkan kaki ke Negeri Seribu Bukit untuk menyaksikan masyarakatnya menarikan Tari Saman secara serempak. Tak tanggung-tanggung, ada sekitar 12. 467 pria. Tua dan muda tumpah ruah tumplek blek di lapangan Stadion kota seribu bukit. 

Sebenarnya, bukan hanya itu sob. Berhasil ke kabupaten yang baru terbentuk di tahun 2002 ini, merupakan pencapaian yang luar biasa dalam hidup saya. Dulu, jika ada yang berbicara tentang kabupaten ini, saya selalu mengatakan; “Ampun bang, abang aja yang ke sana. Yudi di sini saja. Lihat laut lebih menenangkan”

Lebay? Ah, menurut saya yang memang sedikit dramatis ini, Gayo Lues memang mengundang drama kala engkau pertama kali ke sini. Jalanannya yang terus berkelok tanpa henti akan membuat perut dan kepalamu sulit dibedakan. Mana lebih dulu yang sakit, pusing atau mules. Semuanya menjadi satu jika kamu pertama kali ke sini. 

Jarak tempuhnya yang tak sebentar, bagi sebagian orang akan membuatnya untuk berpikir dua kali untuk menempuh ± 15 jam perjalanan darat. Tapi, saya berani jamin, jika engkau sudah ke sini sekali, pasti dan pasti, engkau akan merindukan ke sini lagi.

Inilah 5 hal yang selalu saya rindukan akan Gayo Lues-Aceh;


1. Menyaksikan Tari Saman Secara Langsung 


Yups, kamu bisa menyaksikan langsung pemuda desa menarikan Tari Saman. Negeri inilah tempat berasal Tari Saman yang telah ditetapkan dan diakui UNESCO sebagai warisan budaya dunia tak benda sejak 24 November 2011 dengan kriteria warisan budaya yang memerlukan perlindungan mendesak. Tari saman merupakan warisan budaya masyarakat Gayo yang dapat dilacak sampai abad ke-13.

Menariknya, kamu tidak harus menunggu sampai ada event Saman 10.001 penari seperti agustus 2017 lalu. Akan tetapi, kamu bisa menyaksikannya kapan saja. Bila ada musim panen, maka masyarakat desa akan menarikannya. Bila ada rihlah atau kenduri atau acara-acara lainnya, mereka juga akan menarikannya. Lengkap dengan tari Bines.

jadi ingat iklan "oke" jaman dulu ya? 

Adalah sebuah kebahagian tatkala kamu bisa melihat anak-anak sekolah dasar duduk berjajar di atas tikar, lalu mulai memainkan tangan dan tubuhnya. Luar Biasa!

2. Menginap Semalam Di Kaki Gunung Leuser

kalau tamannya begini, enaknya ngapain ya?
Berhubung saya belum punya daya dan upaya serta keberanian untuk menaiki puncak gunung Leuser yang terkenal sebagai salah satu gunung tertinggi di Sumatra, jadilah saya hanya bisa menginap dikakinya saja. Atau lebih tepatnya, di pintu Hiking Gunung Leuser. 

Apakah itu seru? Tentu saja! Ada sebuah penginapan di sana. Logde Rainforest namanya. Penginapan sederhana ini lengkap dengan taman bunga, pepohonan rimbun lalu ditemani suara riak sungai yang airnya masih begitu segar!

tepat persis di samping penginapannya
Sumpah! Saya yang tak suka camping di hutan akhirnya menjadi begitu mencintai kegiatan tersebut. Menginap di sini seperti memasuki dunia dalam novel roman picisan. Kala pagi, engkau akan ditemani temaran sinar mentari pagi yang malu malu menembus lebatnya kanopi hutan. Lengkap dengan canda tawa para burung. Ah, sudahlah, semakin panjang saya menulis semakin saya merindukan bermalam di sana. 

3. Bermain River Tubing Di Agusen 

airnya, dingin beuuud
Agusen, adalah sebuah desa yang mempunyai cerita masa lalu yang cukup unik. Dahulunya, masyarakat desa ini adalah penanam ganja. Iya, beneran, serius! ( nanti akan saya ceritakan lebih seru di kesempatan yang lain). 

Tapi, bukankah kita harus selalu move on. Tak boleh tenggelam dengan masa lalu, masyarakat Agusen akhirnya mendeklarasikan dirinya menjadi desa wisata. Salah satu yang ditawarkan adalah, river tubing. 


River tubing dengan kondisi sungai dan alam yang masih alami itu menjadi sesuatu hal yang sukar diungkapkan. Bermodalkan ban dalam mobil, life jacket, dan helmet, saya memberanikan diri bermain river tubing di sungai Agusen. Airnya yang deras-deras kuku, dan sejuknya luar biasa, membuat saya mengulanginya sampai dua kali! Jarak tempuhnya juga asyik. Mau yang jarak berapa? Kamu tinggal pilih sendiri. Tapi ingat! Safety first ya guys. 

4. Photographi Wildlife Hunting


Nah, ini adalah hal yang selalu wajib saya lakukan bila mengunjungi Gayo Lues. Walaupun bermodalkan kamera alay dan tak punya lensa tele, saya tetap bersemangat bila di ajak hunting photo burung atau orangutan. 

Kawan, saya kabarkan kepadamu satu hal! Gayo Lues sebagian besar daerahnya adalah hutan hujan Leuser. Jadi, bayangkan bila kamu bisa melihat satwa khas hutan hujan Sumatra di habitat aslinya secara langsung. Tak ada kebun binatang di sini. Hewan-hewan hidup secara liar di hutan. 

rangkong tak jauh dari penginapan di Lodge Rainforest Kedah-Gayo Lues
foto by : Khairul Abdi-www.leuserlestari.com
Itu doang? Tentu saja tidak kawan. Padukanlah hobi ini dengan bermalam di kaki gunung Leuser atau di puncak gunungnya sekalian. Sensasinya? Aduhai...

5. Menikmati Kopi Di Tengah Kabut Pagi


Ah, tak lengkap rasanya bila jalan-jalan ke tanah Gayo tak merasakan citarasa kopinya yang khas. Kopi Pantan Cuaca adalah salah satu kopi andalan dari kabupaten ini. Tapi menikmati dan menyesap kopi di warung kopi itu kan sudah terlalu biasa. Di Banda Aceh banyak kok, ngapain jauh-jauh ke Gayo Lues?

Ada satu hal yang membuat saya selalu terkenang jika minum kopi di Gayo Lues, yaitu ngopi pagi di kawasan Genting. Kabut pagi yang tebal, suhu yang bisa mencapai 16 derajat celcius. Lalu ditemani secangkir kopi tumbruk pekat yang panas. Duhai kawan, inilah salah satu bentuk kebahagian yang harus kamu rasakan. 


Sensasinya akan menjadi seru tatkala asap tipis keluar dari mulutmu setiap kali kamu berbicara. Duduk meringkuk sembari tetap mengenggam gelas kopi yang panas. Sesekali, pikiranmu melayang layang mengikuti gerak asap yang keluar dari gelasmu. Lalu, berbait-bait puisi akan terangkai. Bukankah ini candu?


Inilah Gayo Lues, jauh di mata namun dekat di hati. Saya, selalu yakin jika suatu daerah selalu memiliki sisi uniknya sendiri. Tinggal bagaimana caranya kita menikmatinya. Begitu, kan? 
Ah iya, kak Satyawinnie (pemilik blog www.satyawinnie.com) sudah pernah lho merasakan keseruan mendaki Gunung Leuser. Kamu? kapan? nggak pengen? 

Inilah Tari Saman, Dari Generasi Ke Generasi

$
0
0

Anak-anak Sekolah Dasar dan Sekolah Menengah Pertama berpakaian pramuka duduk berjejer diatas tikar plastik. Mereka duduk dengan kaki terlipat ke belakang. Tangannya bersedekap. Perlahan mereka merapatkan bahu. Sesuara air sungai yang berasal dari gunung Leuser menjadi musik latar berpadu dengan cuitan burung-burung fly kacer yang hinggap di dahan pokok kopi arabika.

Tak lama, seorang anak yang menjadi pengangkat mulai berguman, suaranya merdu namun tetap “laki”. Beberapa saat kemudian, puji-pujian mengalir dari seluruh mulut para siswa tersebut. Dengan berpakaian pramuka, ditempat yang teduh dan seadanya, ditengah suasana sejuk nan syahdu, mereka menarikan tarian kolosal kebanggaan orang Gayo, Tari Saman!
Add caption

Ini, adalah kali kesekian saya menyaksikan masyarakat kabupaten Gayo Lues, Aceh-Indonesia menarikan tari yang telah menjadi warisan dunia. Sejak dijadikan sebagai warisan dunia tak benda oleh UNESCO pada 24 November 2011, Tari Saman meraih popularitas yang baik di seluruh penjuru negeri. Berawal dari Gayo, Aceh, Saman mulai digemari dan digeluti secara meluas tidak hanya di Indonesia namun juga dunia. 

Saman, sebuah tarian model duduk asli dari masyarakat Gayo Lues ini, sedikit berbeda dengan tarian lainnya. Saya pernah menyaksikan sendiri, bagaimana anak-anak duduk dalam lautan manusia yang berpakaian hitam berbintik oranye. Lalu tak jauh dari mereka ada deretan bapak-bapak tua berambut putih pun dalam pakaian yang sama. Sesaat kemudian, mereka melakukan gerakan gelombang, tepuk dada, memainkan pergelangan mereka, apik sekali! Inilah kali pertama saya menyaksikan perhelatan Tari Saman terbesar di dunia. Jumlah penarinya kala itu adalah 12.277 Penari yang semuanya adalah PRIA!

Tari Saman 10.001 Penari tahun 2017 lalu
Kala itu, seorang punggawa tari saman berdiri di atas panggung. Di tengah Lapangan Seribu Bukit, di pagi yang mulai menyala, lalu dengan sebuah microphone ditangannya, ia berseru lantang!

“Jangan tertawakan budaya (tari saman) sendiri, karena budaya itu datangnya dari hati orang-orang Gayo!!”
quote by pak Bungkes

Seketika diorama manusia yang hadir duduk terdiam, bulir-bulir air dari sudut mata mulai mengalir. Bulu kuduk ini berdiri, saya seketika itu berhasil menyatu dengan ribuan anak adam yang duduk berjajar di tanah lapang. Begitu spektakuler, begitu luar biasa, begitu magis, begitu syahdu. 

Tari Saman 10.001 Penari tahun 2017 lalu
Hari itu saya sadar, penetapan Tari Saman sebagai Warisan Dunia Non Benda oleh UNESCO bukanlah tanpa sebab. Tarian ini begitu mengakar dalam diri orang Gayo. Bila kamu berkesempatan datang ke kabupaten Gayo Lues, Provinsi Aceh-Indonesia, cobalah kamu temui anak-anak kecil, lalu mintalah mereka menarikan Saman. Niscaya sambil tersipu malu, mereka akan merapatkan barisan dan mulailah langgam-langgam Saman terucap dari bibir kecil mereka.

Begitulah, Saman bagi masyarakat bersuku Gayo ini bukan hanya sekedar budaya, namun sebuah jati diri yang tak boleh dimakan masa. Turun-temurun mereka menjaganya, merawatnya, lalu melestarikannya tanpa henti. Dari mulai kakek sampai ke cucu. Dari mulai yang tua sampai muda. Mulai dari yang sehat sampai yang (maaf) disabilitas. Semua, semuanya, ikut menarikan Saman setiap kali mereka diberikan kesempatan. 

Tari Saman 10.001 Penari tahun 2017 lalu
Ada banyak versi yang menceritakan asal-muasal tari Saman, dan saya tak ingin membahas satupun perihal itu. Terlalu banyak versi, terlalu banyak klaim. Biarlah Saman itu seperti hari ini. Ditarikan oleh banyak pemuda. Malang melintang penjuru bumi untuk menarikan tarian kebanggaan mereka. 

Yuks baca lagi tentang Salah Kaprah Tari Saman 

Di Gayo sendiri, jika kamu ingin menyaksikan perhelatan Saman ini, kamu bisa datang ketika musim panen raya tiba. Biasanya, acara “Besaman” akan digelar dari satu kampung ke satu kampungnya lagi. Acara itu bisa terlaksana sampai semalam suntuk. Lengkap dengan tarian pengiring wanita yang bernama tari Bines.

Penari Bines pada Acara Saman 10.001
Menariknya, dalam acara Besaman inilah masyarakat Gayo Lues menjalin silahturahmi yang erat. Bahkan ada yang sampai menjalin hubungan pernikahan dari Tari Saman. Percaya atau tidak, itulah pada kenyataannya. 

Kawan, inilah Saman, dari generasi ke generasi. Ini, bukan tentang pencatatan dan penghargaan, ini adalah tentang pelestarian nilai-nilai budaya!

Tari Saman 10.001 Penari tahun 2017 lalu

Penari Saman Massal 10.001

Para pengarah Tari Saman pada acara Saman 10.001 tahun 2017

Kyriad Muraya Aceh Hotel, Ketika Mimpi Menjadi Kenyataan!

$
0
0
Hotel di Banda Aceh, Kyriad Muraya Aceh

Bayangkan! Setiap hari kamu melewati bangunan paling megah di kota-mu, lalu setiap itu pula anakmu meminta dan memohon agar suatu hari ia bisa masuk ke sebuah bangunan yang berdiri megah menjulang tinggi. 

Bila konteks berbicaranya adalah kota Jakarta, maka cerita ini akan terlihat basi dan tidak mengundang selera untuk dibaca. Tapi di Banda Aceh? Bangunan tinggi bisa dihitung dengan jari. Bila bangunan lebih dari 5 lantai maka menjadi sesuatu yang luar biasa. 

Salah satu bangunan tinggi menjulang yang terletak di kota Banda Aceh itu, bernama Kyriad Muraya Aceh Hotel. Letaknya persisi di Simpang Lima kota Banda Aceh. Jadi, wajar saja jika akhirnya Ziyad and geng bila melewati kawasan tersebut selalu meminta dan berdoa agar suatu hari ayahnya membawanya menginap di gedung tersebut. 

Sampai beberapa waktu lalu, Ziyad pun terkena penyakit Difteri dan harus menginap di RS selama kurang lebih 15 hari. Salah satu hal yang disarankan oleh dokter yang merawatnya adalah dengan selalu memberikan semangat kepadanya agar sistem imunitasnya kembali terbangun sehingga ia cepat sembuh. Saat itu, yang terpikir oleh saya adalah, Staycation di hotel tersebut!

Hotel di Banda Aceh, Kyriad Muraya Aceh
koridor menuju ke kamar

Walau sedikit nanar memandang harga kamar permalamnya yang cukup menguras isi tabungan, tapi apalah jika dibandingkan dengan kesembuhan anak laki satu-satunya, kan? Tuhan maha baik, saya ternyata mendapatkan voucher menginap semalam di Kyriad Muraya Aceh Hotel ketika menghadiri pembukaan Daud Terrace Cafe yang juga ada di hotel tersebut. 

Hari yang di nanti tiba, saya memboyong sekeluarga untuk bisa menginap semalam di hotel yang merupakan franchise managemen dari Kyriad Hotel Perancis ini. Kesan pertama, saya suka dengan welcome greetingnya. Jarang-jarang ada hotel yang menyajikan welcome drink saat pertama kali kamu memasukinya. Abang bellboynya juga terkesan sigap. Mengingat saya cukup ribet dengan tas bayi, tas laptop dan dua orang anak balita. 

Hotel di Banda Aceh, Kyriad Muraya Aceh
kamar Deluxe di lantai 6

Hotel di Banda Aceh, Kyriad Muraya Aceh
eh...
Akses untuk ke kamar juga menjadi sedikit privasi karena untuk mengaktifkan lift harus memakai kartu yang sama untuk membuka pintu kamar. Tidak seperti kejadian dibeberapa hotel sebelumnya yang sering mempersilahkan tamunya tamu langsung mengetuk kamar. Menurut saya, ini sangat penting. Mengingat bila saya ingin staycation di sebuah hotel dimanapun itu, saya benar-benar ingin privasi. 

Saya mendapatkan Deluxe Room di lantai 6. Sengaja meminta yang tinggi, karena saya juga penasaran dengan penampakan kota Banda Aceh dari ketinggian tersebut terutama di waktu malam hari. Kamarnya, (menurut saya) terkesan cukup sederhana dan simple. Bahkan warna di lorong menuju kamar juga terkesan begitu “biasa”. Tak terlalu mencolok namun cukup nyaman dipandang. 

Hotel di Banda Aceh, Kyriad Muraya Aceh

Hotel di Banda Aceh, Kyriad Muraya Aceh

Secara ukuran luas kamar, bisa dikatakan cukup lega dengan lantai kayu. Walaupun kasurnya bukan king size yang asli karena dua kasur single disatukan, namun space untuk anak-anak bermain benar-benar lega. Mungkin, ini terkesan norak. Tapi, harus saya akui, jarang-jarang bisa staycation di hotel bintang kelas tiga namun pelayanan bintang lima. Aih..

Bahagia itu memang sederhana, kawan. Ketika engkau berhasil mewujudkan mimpi-mimpi sederhana, menyenangkan anak-anak, dan bisa staycation di hotel megah di kota sendiri walaupun hanya satu malam. 

Hotel di Banda Aceh, Kyriad Muraya Aceh
bilqis di restoran
Hotel di Banda Aceh, Kyriad Muraya Aceh
makan pagi sembari membaca buku? bisa
Oh ya, satu hal lagi, jika malam hari tiba lalu kamu sedikit malas meninggalkan hotel, kamu juga bisa menikmati sajian kopi di Daud Terrace Cafe yang menghadirkan warung kopi di hotel berbintang tiga. 


Hotel di Banda Aceh, Kyriad Muraya Aceh
suasana di Daud Terrace Cafe 

Rate kamar per malam :
  • Fasilitas Kamar dan Harga :
  • Superior Room : Rp. 1.100.000
  • Deluxe Room : Rp. 1.200.000
  • Family Room : Rp. 1.400.000
  • Business Suite Room : Rp. 1.500.000
  • Honeymoon Suite Room : Rp. 1.700.000
  • Resident Suite Room : Rp. 5.100.000
 > Disarankan, kamu memesan kamar via aplikasi pemesanan hotel online

  • Room Feature : AC Kamar mandi pribadi TV layar datar 32 inc, • Pembuat teh/kopi • Shower • Brankas • TV • Peralatan mandi • Toilet • Layanan bangun tidur • Ketel listrik • Handuk • Seprai • Tisu toilet


Hotel di Banda Aceh, Kyriad Muraya Aceh
Perlengkapan Mandi

Kesimpulannya, untuk kamu yang ingin staycation di tengah kota Banda Aceh, luxury, dan makan pagi melimpah, maka hotel ini bisa menjadi pilihan kamu bila kamu ke Banda Aceh. 


Kyriad Muraya Aceh Hotel

Jalan Tengku Muhammad Daud Beureuh, 24415 Banda Aceh, Indonesia
No. Telp : 0651-6300123
reservation@kyriadmurayaaceh.com
http://kyriadmurayaaceh.com

Masjid Tua Ulee Kareng, Ketika Sejarah Mulai Memudar

$
0
0
Sejarah Banda Aceh

“Tidak ada shalat jamaah lagi di sini, masjid ini hanya digunakan untuk anak-anak desa sekitar mengaji di malam hari. Atau untuk penggajian Tasawuf yang diadakan seminggu sekali”

Jelas bang Safari yang saat saya menanyakan mengapa masjid ini terlihat sepi. Tak ada yang shalat atau bersiap-siap untuk shalat Ashar sebagaimana keadaan masjid pada umumnya. Quran beraneka ukuran tersusun begitu saja di pinggir dinding masjid yang sebagian besar bangunannya masih dari kayu.

Harus diakui, tak banyak yang mengetahui mengenai keberadaan masjid Tua Ulee Kareng (sebagian pendapat mengatakan dahulu penyebutannya bukan Kareeng melainkan Kareung / karang). Saya sendiri baru beberapa tahun belakangan ini mengetahui jika di Banda Aceh, ada sebuah masjid tua yang dibangun oleh seorang ulama yang berasal dari Yaman. 

Sejarah Banda Aceh

Di Banda Aceh, pada umumnya kita hanya mengetahui Masjid Raya Baiturrahman yang berada di tengah kota, lalu masjid tua Tengku Di Anjong yang terletak di desa Peulanggahan sedikit menjorok ke pesisir pantai. Sayang, masjid itu ikut menjadi korban dari bencana Tsunami tahun 2004 silam sehingga ia harus direnovasi total. Walaupun bentuknya masih sama, akan tetapi bahan penyusun bangunannya berubah total. Dari kayu, menjadi bangunan beton bertulang.

Jauh dari kesan manis pariwisata di kota Banda Aceh yang tengah bergeliat, masjid tua Ulee Kareeng ini sebenarnya terletak di pusat kuliner Kopi Aceh yang terkenal. yaitu kawasan Simpang Tujuh Ulee Kareeng yang selalu terkenal dengan aroma khas kopi robustanya. 

Hari telah menjelang sore, saya masih mencoba meraba-raba di mana persisnya letak masjid tersebut. Setelah beberapa saat bertanya kesana kemari, ternyata masjid ini terletak persis di belakang MIN Ulee Kareng yang tak jauh dari Simpang Ulee Kareeng. 

Sejarah Banda Aceh

Saya hanya bisa berdiri diam memandangi bangunan tua itu sembari menikmati hangatnya matahari kota Banda Aceh yang cerah. Angin timur bertiup syahdu memberikan suasana teduh tatkala saya masuk ke dalam masjid. 

Menurut bang Safari, masjid tua Ulee Kareeng ini beberapa saat lalu baru saja selesai direnovasi. Lantainya yang dahulu masih semen kasar, kini telah berkeramik. Atapnya yang dahulu sudah bocor karena dimakan usia, kini berganti dengan seng baru. Rasa senang, haru menyatu dalam tetesan air wudhu yang mengalir dari ujung-ujung uban yang mulai memperlihatkan umur tak lagi muda. 


Sejarah Banda Aceh

Tiang-tiang kayu dari tahun 1800an masih berdiri kokoh. Ukiran-ukirannya masih terpahat rapi. Di beberapa titik, gigi-geligi rayap kuat melubanginya. Namun semua itu tak membuat rasa yang membuncah dalam dada ini berkurang. Ibarat anak kecil yang menemukan main baru, saya tak henti-hentinya menikmati setiap sudut masjid. Kapan lagi bukan? Masjid ini rapi, bersih, dan sepi. Jadilah saya merajai seluruh isi masjid yang masih memiliki hubungan dengan masjid tua Tengku Di Anjong. 

Walau terlihat sepi dan seperti tak berpenghuni, sebenarnya masjid ini memiliki sejarah panjang. Dahulu, masjid ini pernah menjadi pusat pembelajaran Islam untuk sebagian kawasan Kutaraja pada abad 18 silam. 

“kadang-kadang, ada tamu dari Malaysia, Turki, dan beberapa Negara Arab yang berziarah ke makam Tengku habib Kuala Baku” ungkap bang Safari yang menemani saya sembari ia terus merapikan kawasan pemakaman yang terletak di sisi utara masjid.

Sejarah Banda Aceh


Sejarah Pembangunan Masjid

Berdasarkan beberapa sumber sejarah dan plakat pada komplek makam yang terletak di sisi Barat Masjid, Masjid Tua Ulee Kareng ini bisa dikatakan hampir menyerupai masjid Tengku di Anjong Peulanggahan, dan Masjid Tuha Indrapuri. Hanya saja ia memiliki perkarangan kecil bila dibandingkan dengan kedua masjid lainnya.

Masih menurut plakat tersebut pula, masjid ini didirikan oleh Habib Abdurrahman Bin Habib Husen Al Mahdali atau yang bergelar Habib Kuala Baku, beliau berasal dari Hadrul Maut negeri Yaman. Ketibaan beliau di Aceh diperkirakan pada tahun 1826 Masehi, tak jauh beda dengan Habib Abu Bakar Balfagih atau yang lebih dikenal dengan Tengku Di Anjong yang juga membangun masjid dengan bentuk arsitektur yang sama di desa Peulanggahan, tak jauh dari Masjid Raya Baiturrahman Banda Aceh.

Sejarah Banda Aceh
Plakat pada komplek makam yang terletak di sisi barat masjid
Bahkan dibeberapa literature yang pernah saya baca, masjid ini dahulunya menjadi salah satu pusat pengajaran agama Islam. Sang habib tak ingin bersama dengan saudaranya, yang lebih memilih pesisir pantai sebagai pusat dakwah, melainkan beliau memilih untuk sedikit ke dalam dari pusat kota Banda Aceh kala itu. 

Walaupun masjid ini sebagai salah satu situs sejarah, saya harus mengakui belum banyak masyarakat kota Banda Aceh yang mengetahui keberadaan masjid ini. Selain dulu pernah sedikit terlantar, posisinya juga sedikit masuk ke dalam. Tapi, bukankah itu semua tak bisa menjadi alasan kita untuk memungkiri bahwa nun di pusat keramaian Kecamatan Ulee Kareng, masih terdapat masjid Tua peninggalan sisa-sisa kemasyhuran kerajaan Aceh Darussalam di masa lalu. 

Sejarah Banda Aceh
Tampak Depan Masjid Tua Ulee Kareeng
Tak lama lagi, adzan shalat Ashar menyapa, anak-anak kayu yang menjadi dinding masjid berwarna kecoklatan seolah tersenyum lesu. Tiang-tiang kayu yang menjadi penampang atap seolah merindukan kembali suara azan yang berkumandang, mengisi setiap relung-relung ukiran kaligrafi dalam masjid yang kini berusia lebih dari seratus tahun. 

Mungkin, kita bukan tak peduli. Mungkin sebenarnya kita lupa. Jika dari tiang-tiang masjid inilah, Aceh pernah menjadi begitu perkasa dalam menjawab semua invasi dari luar. Dari ratapan tiang-tiang berwarna coklat tua itulah seruan merdeka disematkan dalam setiap jiwa anak-anak Aceh. 

Ada benarnya ungkapan dari Presiden Indonesia pertama, bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai sejarahnya. Apapun ceritanya, apa yang engkau tanam itulah yang engkau tuai. Bila sejarah tak engkau hargai, maka jangan harap bangsa ini akan menjadi besar. Mungkin...

Sejarah Banda Aceh
ukiran ukiran yang masih asli pada papan penyangga tiang masjid

Sejarah Banda Aceh
kaligrafi yang masih jelas terbaca

Sejarah Banda Aceh
ingin rasanya tetap berlama-lama didalamnya sembari menikmati sejuknya suasana

Sejarah Banda Aceh
anggap saja model salah asuhan!

Indonesia Rasa Luar Negeri, Bali

$
0
0
Indonesia Rasa Luar Negeri, Bali

Berkali-kali saya mengucapkan syukur saat pesawat Boeing ini mendarat di Bandar Udara I Gusti Ngurah Rai, Bali. Mungkin bagi teman-teman yang cukup dana, main ke Bali adalah hal yang membosankan. Tapi tidak bagi saya dan keluarga. Kami, dari Aceh, tinggal pun hanya di kampong. Ke Bali, seolah menjadi sebuah hal yang di luar prediksi.

Bila kebanyakan orang selalu mengatakan akan bulan madu ke Bali, tidak bagi saya dan istri. Saya hanya berani mengajaknya berbulan madu ke pulau Weh, Sabang. Itupun karena pulau ini cukup dekat dengan kota Banda Aceh, hanya 45 menit penyeberangan laut bila naik speed boat. Tapi Bali? Ah, membayangkannya saja saya sudah cukup bahagia apalagi berhasil membawa anak dan istri ke pulau para dewata ini.

Begitulah, berawal dari iseng ikut lomba giveaway yang diadakan oleh blog virustravelling.com milik bang Bobby Ertanto. Sungguh, saya benaran iseng kala mengikuti lomba “advice” untuk blog tersebut. Berharap jadi pemenangpun tidak berani. Mengingat yang ikut lomba tersebut begitu ramai. Tapi, mungkin, inilah yang dikatakan, Bermimpilah, maka Tuhan akan memeluk mimpimu. Saya menjadi juara kedua dan berhak mendapatkan 1 voucher 2 malam diBerry Glee Hotel.

Ziyad, dan bundanya menjadi kegirangan. Saya? hanya duduk termangu memandang buku rekening. Ternyata isinya kosong. Duit dari mana? sedangkan ke Bali, sepertinya memang membutuhkan effort khusus. Terutama soal harga tiket Banda Aceh-Bali pulang pergi yang harganya cukup membeli kamera mirrorless.

Indonesia Rasa Luar Negeri, Bali
ini pesawat Raja Arab Saudi, Yups, kami sekampung, di Bali hehe
Tapi, ketika pesawat yang terbang dari Malaysia ini mendarat di Bali. Hanya tersenyum. Merasakan sebuah kebahagiaan tersendiri. Bukan hanya berhasil ke Bali, akan tetapi saya juga sudah dijemput oleh travel Qemana.com. Setiap kali ada yang bertanya mau ngapain ke Bali, mau main kemana saja di Bali, saya hanya menjawab, entahlah. Biarlah Qemana.com membawa saya dan keluarga kemanapun dia mau. (Inilah tempat-tempat wisata di Bali yang wajib kamu kunjungi)

Dua malam mendapatkan kamar di hotel bintang 4, nyaman untuk anak-anak karena ada kolam renang dan kids playgroundnya ( hotel ini akan saya review di lain kesempatan) ditambah keliling Bali bagian selatan bersama travel yang pemiliknya masih bang Bobby juga. Sepertinya menjadi sebuah kebahagian tersendiri. Mulai dari Tanah Lot, Monkey Forest Ubud, sampai ke Jungle Fish.

Indonesia Rasa Luar Negeri, Bali
Pantai Kuta, Bali

Pun, saya tak lupa meminta kepada pak sopir yang ganteng ini untuk mengajak saya keliling legian, pantai kuta, dan pura. Ada banyak cerita yang saya dapatkan. Terutama mengenai bagaimana adat dan budaya orang Bali yang selama ini hanya saya dengar dan baca dari media social. Ternyata, Bali itu…
Baca Juga : Loft Legian Hotel, Hunian Nyaman dan Murah di Legian Yang Sibuk
Luar biasa? No! Bali itu menurut saya, adalah sebuah tempat di negeri Indonesia ini yang rasanya seperti Luar negeri. Jalan Legian, seperti mirip dengan jalan yang ada di Phuket, Thailand. Pantai Kuta juga terlihat seperti beberapa pantai di luar negeri, dimana hampir sejauh mata memandang yang terlihat adalah wisatawan asing yang sedang ehem ehem.. (Aceh nggak ada gituan soalnya)..

Indonesia Rasa Luar Negeri, Bali
Yang Baper, mohon geser sebentar
Sepanjang jalan dari hotel ke kawasan pantai Kuta, kiri kanan jalan hampir setiap menit yang saya jumpai adalah mereka yang berkulit putih kemerah-merahan dan tentu saja tak pakai baju. Melainkan hanya ya itulah pokoknya.

Belum cukup sampai di situ. Saya dan istri sempat kaget ketika hendak membayar makanan yang harganya bikin dada ini kembang kempis. Sampai pada akhirnya, drama patah kartu atm pun terjadi. Hanya memaklumi, karena kemalasan saya mencari informasi mengenai Bali secara menyeluruh membuat saya terkaget-kaget. Kalau ternyata hampir semua destinasi wisata di Bali itu harga masuknya muahal..Harga makanannya hampir rata-rata menyesuaikan dengan daya beli para wisatawan luar negeri.

Indonesia Rasa Luar Negeri, Bali
inilah rombongan oma opa dari luar negeri 


Demi apa coba? saya jadi photografer langsung cetak 
Kalau dikampung saya, air putih biasa itu tinggal minta dan gratis, mau minum sampai beserpun tetap gratis. Maka beda halnya di Bali. Di sebuah restoran di sebuah mall, masih kawasan Kuta, Badung, Bali, saya hampir pingsan ketika melihat menu Air Putih satu gelasnya berharga 5000 rupiah! Mungkin bagi mereka yang sudah terbiasa dengan keadaan di Bali itu tak masalah. Tapi bagi saya yang dari kampong ini? Air putih dengan harga segitu membuat hati ini pilu.

Tapi, terlepas dari itu semua, saya angkat salut kepada sebuah provinsi yang-menurut saya-memiliki rasa Luar negeri tapi masih menjalankan adat istiadat mereka dengan cukup baik. Bahkan, di satu titik, saya menyimpulkan yang membuat Bali hebat dalam bidang pariwisatanya adalah kemampuan mereka mengelola budaya local menjadi sebuah hal yang begitu mahal serta mampu menarik para wisatawan luar negeri menjadikan Bali sebagai destinasi wisata.

Jadi, Bali itu masih Indonesia kan? He he he…

Aceh, Si Buruk Rupa dari Indonesia

$
0
0


“Mana ini peserta? kok belum pada ngumpul? sudah telat 15 menit dari yang ada di rundown!” suaranya sedikit meninggi. Pria berambut kekinian itu terlihat gusar dan tak senang. Di depan aula yang berada dalam kawasan Asrama Haji kota Banda Aceh, dia terus mengulang hal yang sama. Sesekali, ia berbicara dengan rekan sejawatnya. Sesekali pula, ia menegaskan sembari bertanya dengan nada gusar kepada panitia acara yang duduk manis di meja registrasi.

Tebakan saya, mereka pasti berasal dari daerah yang sama dan sepertinya belum pernah ke Aceh atau belum mengetahui kalau matahari sedikit berbeda dengan Jakarta. Seolah, se-iya sekata, merekapun mulai gusar. Peserta dari acara nasional nan hebat belum berkumpul sesuai dengan jadwal yang disusun oleh panitia.

Lima menit sebelumnya, adzan Ashar baru saja berkumandang. Mengisi relung-relung ruang kosong dari setiap sudut kota banda Aceh. Dan, entah mengapa, mungkin mereka lupa kalau lima menit kemudian, sebagian dari peserta yang sebagian beragama muslim, pasti sedang shalat Ashar. Terutama mereka yang berasal dari Aceh. 

Nada-nada gusar mengenai telatnya para peserta Lawatan Sejarah Nasional 2018 yang diadakan di Aceh membuat saya tak nyaman. 

“Bu, di Aceh, shalat ashar itu jam 4 sore, shalat magrib jam 7 malam, isya jam 8, shubuh jam 5.15, serta shalat dhuhur di jam satu siang. Mungkin sebagian peserta sedang shalat, bu” Saya menimpali obrolan si pria dan ibu-ibu pada meja registrasi.

di Aceh, matahari seperti ini baru ada di jam 10 pagi 
Hati sudah mulai panas, tapi saya pikir, wajar saja kalau mereka tidak paham perihal ini, walaupun sebagian besar pasti muslim. Toh, bisa jadi mereka baru pertama kali ke Aceh dan malas cari tahu tentang local wisdom Aceh yang cukup menjaga waktu-waktu shalat. 

“oh berarti jam gue salah ya? Minta lihat jam yang sesuai dengan waktu di Aceh dong!” sergah pria sepatu merah, dan memegang DJI Osmo MObille itu sembari menyodorkan jamnya kepada saya. 

“Aceh masih WIB, sama seperti Jakarta, yang berbeda hanya waktu shalatnya saja” tutup saya sambil memasukkan isi goody bag ke dalam ransel serta bersiap-siap menuju kamar penginapan seperti yang diarahkan oleh ibu-ibu di meja registrasi tadi. 

Saya hanya bergumam dalam hati, semoga ini bukan pertanda buruk. Melepaskan acara sekaliber nasional di Aceh kepada mereka yang tak paham mengenai hal-hal sepele seperti waktu shalat di Aceh. Ah, mungkin saya terlalu berpikir picik. Aceh sudah damai, menyingkirkan semua prasangka adalah kewajiban semua pihak, bukan?

Dari kejauhan, pria yang saya ketahui bernama Asep dari Komunitas Historia Indonesia itu masih sibuk menanti peserta yang satu persatu mulai memasuki ruangan. Walaupun sebagian lainnya belum sampai dari provinsi asal mereka. Ah entahlah, mungkin dia lupa, kalau naik si raja singa, pasti akan sering delay. Wallahu’alam.

***
Jam lima pagi di hari Sabtu, sebagian peserta yang berasal dari Aceh dan daerahnya yang terkena tsunami, hampir lari terbirit-birit dari kamar penginapan Asrama Haji kota Banda Aceh! Pasalnya sederhana, panitia yang bertugas membangunkan peserta menggunakan sirine yang ada pada TOA! Dengan sedikit terbingung-bingung, Khairul bercerita, kalau dia sempat bingung dan sedikit panik. Asrama haji ini, merupakan salah satu bangunan yang terkena efek tsunami 2004 dengan cukup parah. 

Pertanyaannya sekarang, apakah mereka melupakan sejarah Gempa dan Tsunami Aceh? Ataukah sebenarnya mereka-lagi-lagi-tak paham mengenai betapa trauma dan takutnya orang-orang di Aceh dengan bunyi sirine di waktu-waktu tertentu? Atau mungkin, mereka juga tak paham mengenai perihal waktu terbit matahari di Aceh yang berbeda hampir satu jam dengan kota Jakarta, tempat sebagian besar panitia Lasenas 2018 ini berasal. 


suasana di Benteng Iskandar Muda yang terletak tak jauh dari Benteng Indra Patra

Benteng Indra Patra tersenyum tatkala melihat langkah gontai sebagian peserta. Matahari begitu terik. Terlalu panas untuk tidak kena air minum. Ingin lari ke bus yang mengangkat 250 orang peserta, serasa sia-sia. Air mineral botol yang di bagi, tak cukup. Banda Aceh dan Aceh besar begitu panas, jatah air setiap peserta seolah hanya di jatah 600 ml per orang. Lagi-lagi saya berpikir sama. Ah, mungkin mereka tak paham kalau Aceh punya cuaca yang saingan dengan Riau atau Pontianak. 

Adzan dhuhur sudah berkumandang beberapa jam yang lalu. Pak Yondri, guru pendamping dari Sumatra barat mulai gelisah di dalam Bus yang membawa kami dari Benteng Indra Patra ke Gunongan (jarak kedua tempat ini sekitar 1 jam bila naik bus). Saya mencoba menenangkan beliau, kalau beliau bisa mengambil jamak atau qasar saja. Mengingat beliau terhitung musafir atau travelers. Sehingga ada keringanan untuk menggabungkan dua shalat menjadi satu waktu. 

Beliau kembali duduk di sudut bus. Hingga akhirnya bus berhenti di Gunongan yang merupakan tanda bukti cinta Sultan Iskandar Muda kepada istrinya yang berasal dari Negeri Pahang ini, pak Yondri berjalan tergopoh-gopoh mencari tempat shalat dalam kawasan cagar alam tersebut. 

Tak lama, Wanti, Ella, Risna, Yelli, Ayu, dan beberapa teman-teman lainnya mulai menyuarakan hal yang sama. Mengapa begitu sulit shalat di tanah serambi mekkah ini? Saya hanya tersenyum. Sembari terus mencari solusi dan jawaban. Menurut pengakuan Wanti, mereka sudah bertanya dan mengkomplain mengenai waktu shalat yang tak leluasa kepada panitia. Lalu jawaban mereka?



“ teeeet... teeeeet..teeeeeeeet....” suara nyaring keluar dari TOA yang dibawa oleh pemandu acara yang keduanya bernama Asep. 

“Adik-adik peserta Lasenas! waktu kalian hanya 10 menit lagi! Kita harus berangkat ke tujuan selanjutnya. Siap-siap, jangan terlalu lama!” peserta yang baru saja mendengarkan penjelasan dari nara sumber mengenai Gunongan dan Kandang Taman Ghairah, terpaksa turun dan berlarian untuk mengambil wudhu. Yang baru selesai shalat, hanya bisa meringis kalau akhirnya mereka tak akan dapat cerita berharga mengenai gunongan langsung di tempatnya. Ah, masih ada wikipedia kan?

***


Waktu terus bergulir. Cerita demi cerita sumbang terus terdengar. Sebagian kecil teratasi, sebagian lainnya malah semakin parah. Satu persatu peserta mengeluhkan keadaan. Para pembimbing mulai mencari tahu ada apa sebenarnya yang terjadi dibalik buruknya manajemen acara dan susunan rundown yang sedikit aneh serta sangat tak fleksibelnya panitia pusat. 

“Pak Yudi, Saya Mohon Maaf Ya, Saya Pikir Aceh Itu Serambi Mekkah, setiap perhelatan acara akan menyediakan waktu shalat. Tapi ini kok malah kebalikannya ya?! Inikan acara nasional dan di Aceh pula lagi. Mengapa pak Yudi tidak sampaikan kepada panitia daerah? Mana bisa begini. Buruk sekali manajemen acara di Aceh ini!”. Seorang pendamping siswa yang berasal dari tanah Sunda mencoba mengeluarkan kegalauannya selama 5 hari 4 malam belakang. 

Sakit, perih, nyeri sampai ke ulu hati. Orang lain yang makan nangka, Aceh yang kena getahnya. Akhirnya, hal yang saya khawatirkan terjadi. Aceh kembali menjadi si buruk rupa dari Indonesia. Negeri yang kaya dengan sejarahnya ini. 

Pendamping dari Kalimantan, tak mau ketinggalan. Dari Papua dan Bali senasib sepenanggungan. Mereka masih berusaha menenangkan murid didiknya yang menangis karena pada acara penutupan tak jadi tampil. Latihan panjang seolah tak ada kesan manis di sanubari. Semua hikayat sedih ini seperti paduan suara yang bercampur dengan stagnasi suara mesin kapal Ekspres Bahari yang melaju menuju kota Banda Aceh.

ketika Aldo menghiasi tangan temannya untuk bersiap-siap tampil, tapi semuanya hanya jadi cerita!
Ingin rasanya saya mengatakan kepada mereka, kalau ada rasa sedih yang berkalut-kalut di hati ini. Saat semalam tadi, saya mendengar dengan kuping sendiri kalau seorang panitia pusat dengan lantang sembari mengebrak-gebrak meja mengatakan “Wong Aceh iki Memang Gendeng! Nggak paham apa-apa! Dibilangin malah nggak ngerti!”.

Salah saja kami-orang Aceh-dimata penduduk negeri Indonesia ini. Jika ada yang tak beres dari negeri ini, pasti orang Aceh biang keroknya. Pasti Aceh yang menjadi pemberontaknya. Jika ada hukum rimba nan primitif maka Aceh adalah tempatnya. 

Jika orang dari luar Aceh kesulitan untuk melaksanakan ibadah Shalat, maka orang Aceh-lah biang keroknya. Jika acara tak lancar sesuai rencana, maka orang Aceh-lah penyebabnya! Semua ini, pasti salah orang Aceh. Karena orang Aceh bukanlah orang yang berteriak, “Saya Indonesia, Saya Pancasila!”

Orang Aceh, memang bukan orang yang pintar dalam bertutur kata, tapi kami tak pernah mengkhianati republik ini! Kami hanya paham memberikan dengan tulus tatkala diminta membelikan pesawat agar Indonesia berdiri dan Pancasila ditegakkan. 

Kami, orang Aceh, yang katanya tak cinta republik ini, hanya paham bila dengan mendirikan radio Rimba Raya, lalu memberikan biaya dan fasilitas agar Menteri Muda H Agus Salim melawat ke beberapa negara dunia hanya untuk mengabarkan bahwa Indonesia masih ada.

tadinya berpikir kalau gambar ini bisa bikin senang, ternyata malah bikin baper

Aceh, yang katanya negeri orang gila ini, pernah menjadi ibukota republik Indonesia selama 1 minggu dengan seluruh biaya perpindahan itu ditanggung oleh nenek-nenek dan kakek-kakek saya dulu. Orang Aceh mereka, orang Aceh yang kalian katakan mereka adalah orang-orang Gendeng!

Ada banyak rentetan rasa kecewa, sedih, dan malu. Kami orang Aceh harus menanggung diri menjadi si buruk rupa hanya karena sesuatu hal yang kami tak lakukan. Menuntut hak atas diri, tak digubris lalu dikatakan gila. Menuntut keadilan dan persamaan perlakuan, kami orang Aceh dikatakan tak paham aturan. 


Maybe we are stupid but we are not that stupid!


Bila engkau berbicara sejarah apalagi sampai membawa nama lembaga yang berbau sejarah, maka engkau pasti paham ada local wisdom yang harus di jaga. Ada norma-norma yang harus diikuti. Jadi, Bijaklah kawan!

Tulisan ini semoga menjadi catatan terbuka untuk seorang bapak yang berasal dari kementerian Pendidikan dan Budaya bagian Direktorat Jendral Sejarah; hati-hati berbicara Gendeng, dan dua orang pria bernama Asep dari Komunitas Historia Indonesia. Ingatlah satu hal; di mana bumi di pijak, di situ langit di junjung? Semoga menjadi pelajaran kita bersama!


ini Indonesia,  lantas perjuangan seperti apa yang harus dilakukan agar dianggap waras?


Viewing all 268 articles
Browse latest View live