Pucok Krueng, Aceh Besar (kredit by Bang Arie Yamani) |
Sepintas ini semua biasa saja. Akan tetapi bagaimana bila ternyata bang Al, sapaan saya untuk bang Syafrialdi, adalah orang asli minang. Dan saya, asli Aceh.
“Yud, Aceh ini cantik. Tapi kenapa harus yang negative yang berkembang diluaran?” obrolan santai sehabis waktu magrib itu berubah menjadi sesuatu yang serius. Istri bang Al, sepertinya juga tertarik dengan pernyataan yang dilontarkan oleh sang suami. Saya dan istri hanya bisa saling bertatapan. Bingung ingin mengomentari apa setelahnya.
“Kenapa selalu media memberikan kabar yang ekstrem mengenai Aceh. mulai dari wajib jilbab sampai hukuman cambuk. Mulai dari razia pacaran sampai kawin paksa. Apalagi bila sudah berbicara syariat Islam. Seolah Aceh ini sudah macam negera-negara arab! Padahal.. ah kamu lah yang lebih paham kan Yud” Bang Al istirahat sejenak. Lalu mulai menyeruput minuman manis yang sedari tadi ada di hadapannya.
Saya akhirnya paham, apa maksud dan tujuan obrolan dari Salah seorang penulis yang tulisannya paling sering nangkring di majalah National Geographic Traveler. Ini bukan pertama kalinya, dan saya yakin, ini juga bukan yang terakhir kalinya.
***
Banyak para pelancong yang datang ke Aceh itu sebagian besar adalah orang-orang nekat. Mereka memutuskan untuk menjelajahi Aceh karena ingin menggenapkan seluruh perjalanan keliling Indonesia-nya. Mungkin, bila Aceh tidak menjadi bagian dari negera kesatuan Indonesia, belum tentu para pelancong dalam negeri akan berani bermain ke provinsi yang bergelar serambi mekkah ini.
Aceh memang ibarat gadis cantik yang terlalu sering diperebutkan oleh berbagai kalangan. Setiap kali pinangan itu tertolak, maka rasa sakit hati yang berbicara. Jadilah image negative yang terlontar dengan sempurna dari corong-corong media. Pun, begitu sebaliknya. Saking cantiknya, terkadang dia lupa diri. Kalau umurnya tak lagi semuda gadis lagi yang perlahan bermunculan dalam ranah per-indonesiaan. #mulaiNggakJelas
Bu Kulah, atau nasi bungkus khas dari aceh |
Daerah paling barat Indonesia ini, bisa dikatakan sebagai daerah yang cukup konservatif perihal agama. Maklum saja, awal mula masuknya agama islam di nusantara ini ya, dari ujung barat Sumatra. Aceh! Akan tetapi bukan dengan serta merta kalian mengecap kalau orang Aceh itu kolot, pecinta cambuk, dan pembenci non muslim. Tidak, sama sekali tidak benar.
Memang, ketika Belanda menyerang Aceh di abad ke 19, perang yang berkobar di Aceh adalah perang Agama. Ini karena Belanda menjalankan sebuah taktik perang yang konyol. Yaitu membakar masjid raya Baiturrahman Banda Aceh. Masjid kebanggaan masyarakat Aceh yang dibangun oleh sultan yang juga paling dicintai oleh orang Aceh. Sultan Iskandar Muda Meukuta Alam.
Masyarakat Aceh, sama seperti masyarakat Indonesia lainnya. Kami orang Aceh, sebagian besar beretnis melayu. Tak jauh beda dengan masyarakat Belitong, Riau, Padang, Medan, dan daerah Kalimantan yang juga ada beretnis melayu. Penduduk etnis lainnya tetap hidup damai dengan etnis dominan. Hampir bisa ditemukan etnis thionghua dalam setiap sudut pasar tradisional di Aceh. perbedaan Agama, tidak pernah menjadi sebuah komoditi yang suka dibicarakan oleh orang Aceh di warung kopi. Melainkan, kami lebih menyukai membahas masalah politik dan obrolan remeh-temeh lainnya. Karena, yang menarik dari orang Aceh itu ya, politiknya.
****
Susah mandi laut di Aceh terutama buat kalian yang tidak berjilbab? Isu murahan ini memang menjadi permasalahan paling kronis hari ini di Aceh. padahal, para petualang wanita mulai tumbuh bak jamur di musim hujan. Mulai pergi sendirian, sampai gerentongan seperti ingin menghadiri arisan. Lalu, langkah mereka berhenti hanya sampai Medan. Tidak berani melanjutkan ke Aceh.
pantai ujung batu putih, bukit Lamreh Aceh besar |
Sehabis perang dan konflik yang resmi berakhir pada tanggal 15 agustus 2005, setahun setelah tsunami, para petualang muda mulai berdatangan. Itu pun masih dengan muka pucat pasi. Takut ditembak kalau ke Aceh. Dor!!
Pelabuhan Tradisional di Pulau Beras/Breuh, Aceh Besar |
Taman Putroe Phang di kota Banda Aceh (kredit by Bang Rinaldi Ad) |
Tapi, tahukah kalian, bahwa konflik ternyata berimbas kepada keasrian alam Aceh? Konflik yang berkepanjangan membuat hutan Aceh terjaga sempurna. Tidak ada yang berani naik ke gunung kecuali ada ijin dari kedua belah pihak. Tidak ada yang berani bermain ke pantai-pantai tersembunyi, karena sebagian besar pesisir pantai digunakan untuk menglansir senjata. Lalu, ketika semuanya berlalu dengan damai, tinggallah semua keasrian itu untuk kalian semuanya, para pecinta seni keindahan alam yang masih perawan.
Mandilah di laut Aceh dengan sesuka hati. Di Pulau Sabang, para turis bisa bebas menikmati alam bawah lautnya. Asalkan anda sopan, maka kami pun akan segan. Karena intinya, setiap tempat yang ingin ditapaki, maka disitulah langit dijunjungi.
Aceh kini berbeda dengan Aceh yang dahulu sering bersuara desingan peluru dan mortar. Aceh kini bukan lagi Aceh yang selalu mensuarakan ganja dan Rastafarian. Aceh kini, menjadi sebuah cerita terbaru dalam setiap detik travelling. Mulai dari Pulau Weh dengan pantai iboih nya yang bening, sampai kepada keunikan kumpulan pulau di Pulau Banyak Aceh Singkil.
Bahkan, bila ada ingin menghilang dari peredaran dunia maya, Pulau Nasi dan Pulau Beras bisa menjadi opsi pilihan yang menarik. Tempatnya dekat dengan ibukota Provinsi, akan tetapi minim sinyal. Walaupun demikian, kedua pulau ini tidak minim pemandangan yang eksotik!
Lantas, alasan apalagi yang menjadikan kamu ragu untuk mengenal Aceh lebih dekat? Alibi apalagi yang diperlukan untuk mengingkari Aceh sebagai salah satu tujuan destinasi yang menantang bagi anda yang berjiwa petualang?
Ke Aceh, Berani?
tulisan ini pernah menjadi tulisan "Guest Post" di blog Mbak Febbie
coba baca Aceh Selayang Pandang