Quantcast
Channel: FROM ACEH WITH LOVE
Viewing all 268 articles
Browse latest View live

Melihat Keindahan Pemukiman Kuno Krueng Raya

$
0
0
Krueng Raya, sebuah distrik atau mukim yang terletak nun jauh dari sebuah cerita kesuksesan pariwisata di provinsi terbarat Indonesia, Aceh. Dahulu menurut cerita yang saya dengar, Mukim ini pernah berjaya kala Portugis berusaha mati-matian ingin menguasai selat Melaka. Krueng Raya juga pernah jaya dalam kancah sejarah kala Lamuri, yang merupakan cikal-bakal lahirnya Kerajaan Aceh Darussalam yang menjadi salah satu dari kerajaan terbesar di dunia yang hilang ini, kembali ditemukan. 
Di Mukim terujung Aceh Besar sebelah timur ini juga pernah berjaya dengan pelabuhan penyeberangan Banda Aceh - Pulau Weh. Jauh, sebelum Ulee Lheue kembali mengambil peran lamanya. Lalu, apa jadinya Krueng Raya hari ini? Percayalah, tak lebih dari sebuah distrik mati nan sepi.

Beberapa waktu lalu, rasa penasaran saya berhasil menuntun saya untuk menyambangi Pemukiman sunyi ini. Mirip seperti kota mati. Tak banyak penduduk yang berlalu-lalang. Beberapa kantor administrasi pemerintahan ataupun lembaga terkesan sepi dan tak ada aktifitas. Jalanan yang lengang, sesekali hanya sapi dan kambing yang melintas.

Menyusuri Jejak Laksamana Perempuan Pertama Di Dunia

benteng Indra Patra yang pernah digunakan oleh Keumalahati
Mobil yang saya tumpangi terus melaju melewati Pelabuhan Barang Keumalahayati. Jalanan yang rata berubah menjadi berbukit-bukit. Mobil mini bus putih ini terus menanjak naik sampai akhirnya  berhenti tepat di atas sebuah tanjakan, lalu mengambil haluan ke kiri.
“Turun dulu Bang, kita akan lihat pemandangan Teluk Krueng Raya secara utuh dari atas sini” ujar bang driveryang langsung sigap dengan mematikan mesin mobil lalu mempersilahkan saya turun dan merekam sebuah pemadangan yang luar biasa tersaji.
Beberapa kapal nelayan, terlihat berwarna-warni dan seperti disusun secara beraturan dan berjejer. Tak bergerak. Ada dua buah kapal besar yang sedang melakukan bongkar buat. Selebihnya, beberapa boat nelayan hilir mudik mencari ikan di sekitar teluk. Di ujung mata memandang, bukit hijau berdiri tegak. Seolah menghalau awan dan angin yang hendak menciptakan gelombang laut. Saya terdiam seketika. Menikmati sebuah pemandangan bak sebuah lukisan tangan seorang pelukis handal, tapi, ini nyata. Bukan lukisan.


ini kok jadi kontras gini ya?  hedeuh
Belum lama mobil menempuh jalanan yang terjal, Bang Driver dengan cepatmengambil haluan ke kiri. Ternyata kami dibawa ke benteng Inong Balee (wanita Janda). Benteng Inong Balee adalah sebuah benteng peninggalan Laksamana Keumalahayati. Benteng ini di bangun sebagai benteng pertahanan dan pusat logistik kapal perang Aceh di jaman kesultanan Sultan Alauddin Riayat Syah Sayyid al-Mukammil (1589-1604 M).
Disebut sebagai Inong Balee atau wanita janda, karena kala itu, Sang Laksamana mengumpulkan para janda yang suaminya telah menjadi korban perang melawan Penjajah Portugis. Lalu, sejarah mencatat bagaimana kemasyhuran sepak terjangnya. Ia, berhasil mengumpulkan 2000 orang wanita yang kesemuanya adalah wanita janda perang. Tembok kokoh berdiri. Di pesisir pantai krueng raya berjejer kapal perang yang gagah pada masanya berderet rapi. Bersiap untuk menggerayangi setiap jengkal kapal penjajah yang nakal memasuki perairan Aceh.

Baca Juga Krueng Raya kota Para Janda

sisa benteng Inong Balee di Aceh Besar, Aceh-Indonesia
Pernah terjadi pertempuran besar di mana pasukan Portugis dipimpin Cornelis de Houtman menggempur pertahanan pasukan Kerajaan Aceh di Benteng Inoeng Balee. Namun serangan itu berhasil dipatahkan, dan bahkan Cornelis de Houtman harus kehilangan nyawanya ditangan sang laksamana. Saya seolah terbawa ke masa keemasan Sang Laksamana Keumalahayati kala itu.

Di hadapan saya, hamparan pepohonan yang hijau berdiri mengikat batu belikat yang membentuk dinding tua. Tapi, itulah dia, sisa dari benteng hebat sang Laksamana Keumalahayati-arti dari namanya adalah cahaya hatiku-yang pernah menjadi cahaya bagi seluruh kaum wanita Aceh sampai hari ini. Cut nyak dhien, pun terkesima dibuat olehnya. Langkah Cut Nyak Dhien menjadi seorang pemimpin perang tak luput dari inspirasi sang Laksamana.
Dinding itu masih cukup kokoh, walaupun benteng tak berbentuk lagi. Beberapa pengunjung dari Jakarta, terlihat sibuk menyusuri setiap inci dari sisa-sisa benteng kuno itu. Di sisi lain dari benteng tersebut, ada sebuah makam tua dengan nisan yang mirip dengan nisan lamuri. Istri saya mencoba membaca tulisan arab yang terpatri di nisan tersebut. 1206 M “Selebihnya Adek nggak tahu bang” jawabnya kala saya meminta menerjemahkan yang lainnya.
makam yang berada di kawasan benteng Inong Balee

Bukit Ujung Batee Puteh
di puncak bukit bersama dengan para bocah. Taken by : Putri
Angin Timur mulai berhembus kencang, saya, istri dan rombongan sedikit meragu ketika melanjutkan trip sehari menyusuri mukim kuno ini. Bukan apa-apa, Banda Aceh dan sekitarnya masih musim hujan. Kami berniat menaiki sebuah bukit yang katanya ada pemandangan seperti di Irlandia. Bukit ini, berada tak jauh dari benteng Inong Balee. Dari Benteng, kira-kira 15 menit berkendara ke arah timur. Jauh terus memasuki ke daerah perbukitan mukim Krueng Raya.
Suara hiruk pikuk pelabuhan kini berganti dengan ciutan burung perkutut dan burung-burung hutan. Sesekali, terlihat sapi merumput di punuk bukit yang hijau. Sejauh mata memandang, hanya hamparan hijau yang menenangkan mata terlihat. Tak jauh dari jalan aspal berbukit, saya disuguhkan sebuah pemandangan yang unik.
Jalanan berbatu ini berakhir pada pasir hitam halus yang berwarna legam, seolah menjadi kontras kala berpadu dengan tebing putih yang gagah. Tebing Putih terjal tinggi menjulang. Beberapa pohon tumbuh di sisi tebing kapur yang putih beradu hijau ini, menjadikannya sebagai hal yang indah dan unik. Pesona pantai yang terletak di Kilometer 47 dari Banda Aceh menuju ke kreung raya ini, akan semakin indah ketika saya berada di puncak bukitnya.
selalu kangen dengan pemandangan ini, walaupun kudu harus berpanas-panas ria
Lelah, penat, dan peluh bercampur menjadi satu. Saya hanya bisa terduduk lemas sesampai di puncak bukit Batee Puteh (Batu Putih) ini. Pandangan saya lemparkan ke hamparan laut yang biru muda dan hijau toska. Sesekali terlihat elang elang putih terbang tinggi mengangkasa lalu menukik tajam di punggung laut. Di sisi selatan bukit, terlihat tebing yang curam sembilan puluh derajat. 

Berdiri kokoh berwarna putih. Menjadikan pemandangan di sini seperti layaknya di negeri subtropics. Seketika lelah, dan penat saya hilang. Hanya rasa tenang, nyaman, dan bahagia yang saya rasakan. Dari atas bukit batu putih ini pula, kesan kota mati ataupun kota para janda menghilang. Semuanya tersaji indah di hadapan saya.
Di sebelah utara, dari atas bukit, terlihat sebuah pantai dengan pasir berwarna putih bersih. Debur ombak yang mengalun lembut, pepohonan yang tumbuh rapat-rapat nan hijau. Berbanding terbalik dengan sisi selatan bukit. Dan, inilah uniknya. Bukan hanya tebing bukit kapur berwarna putih, melainkan saya langsung diperlihatkan dua pemandangan unik sekaligus.

Makam Laksamana Keumalahayati

Mobil putih yang sudah tak karuan warnanya ini karena berkalang lumpur kembali ke jalanan aspal. Memacu sedikit kencang lalu berbelok ke kiri lagi. Tepat di depan pelabuhan Keumalahayati. Hasrat diri begitu ingin menuntaskan seluruh rangkaian cerita dari Mukim Kuno Krueng Raya hari ini. Saya dan istri mengunjungi makam sang pencetus emansipasi wanita pertama kalinya dalam dunia kemiliteran dunia. Dialah, Laksamana Keumalahati.
jalan menuju ke Makam Keumalahayati
Setelah wafat dalam pertempuran di teluk Krueng Raya, beliau disemayamkan tak jauh dari benteng Inong Balee. Di sebuah bukit kecil yang berpagar beton putih tersusun mengular mengelilingi bukit. Letaknya tak jauh dari pelabuhan Krueng Raya. Pepohonan besar menjulang tinggi. Memayungi areal makam dari panasnya sinar mentari siang itu. Saya dan istri menapaki anak tangga yang terus naik sampai ke puncak bukit.
Ada tiga makam yang dinaungi cungkup. Di sana, terbaring jasad Laksanama Keumalahayati, suaminya dan anaknya. Dipusara Nisan yang berbentuk caping itu, saya duduk terdiam dan termenung. Merenungi semua kisah hebatnya berjuang demi tanah negeri tercintanya dari tangan-tangan penjajah.
Kondisi makam cukup terawat loh
Perjalanan singkat hari itu, menyusuri sebuah pemukiman kuno yang berdasarkan beberapa literature sejarah telah berdiri sejak abad ke 11 Masehi, berhasil membuka pandangan mata saya. Sebuah tempat yang sunyi, dan indentik sebagai sebuah kota mati, ternyata menyimpan begitu banyak cerita. Terlebih lagi, di Mukim Kuno itu pula terbaring seorang wanita hebat, yang menjadi pelopor emansipasi dalam dunia kemiliteran dunia. Dari bukit yang terkesan ditinggalkan ini, saya belajar banyak hal. Paling tidak, saya belajar mencintai Aceh dengan semua kisah klasiknya.

** Artikel ini pernah dimuat di www.harianaceh.com
Keterangan foto paling atas : pemandangan di salah satu sudut Krueng Raya/Arie Yamani/www.arieyamani.blogspot.com

Agusen, Yang Pernah Menjadi Desa Penghasil Ganja Terbaik Di Aceh

$
0
0

“Abang abang, nanti jika main tubing di sungai ini, harap tetap menjaga keselamatan ya bang? Jaraknya tidak begitu panjang, akan tetapi rasakan saja sendiri sensasinya” tubuhnya tegap dengan tinggi badan yang sedang. Ia terlihat begitu mantap dalam menyampaikan aturan main River Tubing.

Sahidin namanya, pemuda desa Agusen ini masih cukup muda dan mulai memberanikan diri berinteraksi dengan orang luar yang datang ke desanya. Selama tiga bulan terakhir, Idin-panggilan akrab sahidin-mendapatkan pelatihan dari Javlek mengenai tata cara melayani tamu, menjadi guide dan hal-hal lainnya yang berhubungan dengan Parawisata.

Ia adalah satu dari beberapa pemuda di desa Agusen, yang akhirnya memilih menjadi petani kopi dan belajar parawisata sebagai sumber penghasilan ekonomi mereka. 

Agusen, jauh sebelum ini, telah terkenal menjadi salah satu desa yang memiliki alam dan hasil alam terbaik di kabupaten Gayo Lues. Sayangnya, saat masih terjadinya konflik antara RI-GAM, masyarakat desa Agusen memilih menjadi jadikan tanaman ganja sebagai komoditi utama mereka. 

Petani di desa Agusen yang kini mulai kembali menggarap sawah mereka
Alasan yang mereka sampaikan juga cukup sederhana; mudah, dan mahal. Benar, ganja di Agusen kala itu tumbuh subur dan memiliki kualitas super. Harganya kala itu pun cukup mahal dibandingkan dengan harga tomat dan cabai yang mereka hasilkan. 

“Dulu saya juga ikut ayah menanam ganja sekaligus mempackingnya. Kami memilih ganja karena kebutuhan ekonomi. Akses ke kota sulit pada masa itu. Sehingga ongkos untuk menjual tomat ke kota blangkejeren jadi tinggi” Idin menuturkan sembari terus menatap keadaan desa yang kini perlahan mulai ramai dan riuh. 

Permintaan ganja yang tinggi kala itu, akhirnya turut menyumbang deforestasi hutan yang signifikan di kawasan desa Agusen. Secara letak geografis, desa Agusen terletak persis bersisian dengan kawasan Taman Nasional Gunung Leuser. Sehingga bisa dipastikan, keadaan hutan kala itu begitu menyedihkan. Bahkan, menurut pak Ramadan, Penghulu (lurah) desa Agusen, penebangan kayu kala itu pun cukup marak. 

Tepat pada bulan April tahun 2016, desa Agusen ditetapkan sebagai desa wisata di kabupaten Gayo Lues. Kawasan yang dahulunya ber-image negatif perlahan berubah menjadi baik. Desa yang dahulu begitu sulit diakses, kini menjadi mudah dengan jalanan aspal yang cukup mulus. 

penyuguhan tari Saman seperti ini akan sangat mudah disaksikan setiap kali musim panen atau menjelang libur sekolah

sore, di Agusen
Sekolah, mushalla, dan sanitasi air menjadi salah satu infrastruktur yang dibangun oleh pemerintah. Bahkan, menurut pak Ramadan, tahun 2017 jumlah anggaran yang digelontorkan untuk membangun Agusen mencapai 15 milyar rupiah. Agusen, yang dahulu tertinggal kini mulai berbenah dengan sungguh luar biasa. 

Idin termasuk salah satu pemuda yang berbahagia menyambut pembangunan di desanya. Ia yang dahulu petani ganja kini mengalihkan pekerjaannya sebagai petani kopi. Menurutnya, menjadi petani ganja lebih beresiko. Bahkan, idin, juga salah satu korban dari kacaunya penanaman ganja. Ia akhirnya harus berhenti kuliah ditengah jalan karena sang ayah harus berurusan dengan meja hijau. 

“saya pernah kuliah di Medan bang, ambil jurusan Sarjana Kesehatan Masyarakat. Baru sampai semester empat akhirnya harus pulang kampung karena ayah kena musibah. Sayang mamak tidak ada yang bantu” bulir-bulir air mata bening tanpa sengaja keluar dari sudut bola matanya. Beban pekerjaannya semakin berat kala ia mengingat kisah pilu itu. 

Idin, di kebun kemiri, tak ada lagi Ganja baginya
Wajar jika akhirnya Idin lebih memilih menanam kopi dan serai wangi. Selain harganya cukup baik di pasaran, resiko yang didapatnya pun tidak seberat bila ia harus menanam ganja seperti dulu bersama sang ayah. 

Hutan yang dahulu sempat mengalami kegundulan, kini perlahan juga mulai ditanami kembali. Menurut penuturan pak Ramadan, kini masyarakat desa seolah mulai mengerti. Jika sungai yang menjadi andalan wisata di desa mereka sangat bergantung dengan hutan. Bahkan mereka juga akhirnya menyusun kesepakatan untuk bersama-sama tidak lagi menebang hutan dan membuatnya gundul. 

Hutan yang lebat maka akan memberikan sumber air yang tepat. Maksudnya adalah, kala musim kemarau, air sungai tidak akan susut sampai kering karena akar pepohonan yang berada di hutan akan memastikan sumber air tetap mengalir. Begitupun sebaliknya, kala musim penghujan, air sungai tidak akan berlebihan sehingga menyebabkan kerusakan karena debit air hujan akan tertahan oleh lebatnya pepohonan di hutan. 

river tubing di sungai yang benar-benar dingin dan "liar" itu, Asyik!
Sebenarnya, atrakasi river tubing di desa Agusen tak terlepas dari peran yayasan Java Learning Centre (Javlec) sebagai mitra Usaid Lestari. Mereka sebenarnya ke Agusen bertujuan untuk melaksanakan program Pengelolaan Hutan Kolaboratif berbasis potensi lokal di sana serta 4 desa lainnya yang ada di kabupaten Gayo lues. Javlec juga melakukan observasi penggalian potensi wisata di Agusen, dan River Tubing adalah salah satunya. 

Hari menjelang senja, mentari yang turun ke pelataran gunung, menciptakan bayang-bayang punggung bukit di desa Agusen. Air sungai mengalir cukup deras. Idin dan johan terlihat cukup sibuk merapikan alat-alat river tubing, seperti life jacket, helmet, dan ban. Sesekali pandangannya menyapu kawasan hutan yang terbentang tepat di seberang sungai. 

Sumber air yang menjadi modal desa Agusen
Ia, seperti melihat masa depan yang lebih cerah desanya dibandingkan dahulu. Air kini sudah membaik, hutan kembali rimbun, suhu kembali dingin, dan tanaman kopi mulai tumbuh subur di beberapa lereng bukit lengkap dengan tumbuhan keras pelindungnya. 

Agusen, tak lagi menjadi ladang ganja. Tapi nanti, Agusen akan dikenal sebagai desa wisata yang berbasis hutan. Seperti ucapan Idin, “ kalau hutan ini kami jaga dengan baik, air sungai juga ikut terjaga. Maka masa depan kami, pemuda desa Agusen ini juga akan ikut terjaga. Dan kami, tidak ingin lagi menjadi perusak hutan serta penanam ganja” tutup Idin di sore itu.

model salah tujuan!!


Ija Kroeng, Meng-Gaya-kan Tradisi

$
0
0

“Aceh ini, begitu kaya akan motif-motif khas. Yang mungkin, jaman sekarang nggak semua orang bisa membuatnya lagi, Yud”

Ungkapnya di suatu sore yang cukup cerah. Diorama rumah yang sekaligus menjadi workshop kerjanya terkesan begitu klop dengan obrolan kami. Bang khairul, owner dari Ija Kroeng ini masih terlihat begitu semangat sebagaimana saya mengenalnya beberapa tahun silam.

Di sela-sela obrolan kami, bang Khairul memperlihatkan kepada saya sebuah buku yang cukup tebal. Buku Perhiasan Tradisional Aceh, begitulah judulnya. Dalam setiap halamanya, terdapat berbagai macam jenis perhiasan kuno yang pernah ada di Aceh. Menariknya, di buku ini juga memperlihatkan berbagai motif-motif yang cukup unik dan bisa dikatakan cukup “acehnesse”. Terbuktilah, apa yang dikatakan olehnya bukanlah khalayan semata. Melainkan ada bukti otentik yang hampir semua motif tersebut berasal dari jaman Kesultanan Aceh Darussalam.

Dan, buku yang sangat tebal ini pula yang menjadi salah satu sumber inspirasi bang Khairul dalam setiap desain motif yang ada pada kain sarung ciptaannya. 

Kain sarung? Iya, kain sarung atau Ija Kroeng dalam bahasa Aceh, sebenarnya merupakan fashion yang melekat sekaligus kebanggaan orang melayu, dan orang Aceh tentunya. Sejarah yang panjang akan kain sarung di Aceh dapat ditemukan dalam beberapa catatan dan foto-foto di museum Belanda.  


Orang-orang aceh telah mengenakan sarung semenjak abad ke 17 tepatnya pada era kesultanan Aceh Darussalam (atau mungkin sejak Samudra Pasai?). Kala itu, sarung bagi orang Aceh bukan hanya sebagai sebuah kain atau pakaian pelengkap, melainkan sebuah entitas budaya yang melekat sekaligus menjadi ciri khas orang Aceh dalam kesehariannya. 

Lain dahulu, lain sekarang. Sarung kini hanya menjadi sebuah pakaian yang dianggap cukup kelas bawah. Tak begitu ramai lagi pria muda Aceh yang mengenakan sarung sebagai entitas budaya keacehan mereka. Kecuali bagi anak-anak pesantren tradisional di Aceh. 

Kecenderungan ini semakin diperparah dengan buta khasanah budaya dikalangan kawula muda Aceh. sehingga hal ini mendorong bang Khairul untuk terus memberikan edukasi budaya melalui kain sarungnya. “Sekarang, kalau bukan kita yang mengenalkan ke anak-anak muda Aceh, siapa lagi Yud? Kapan mereka bisa bangga pakai sarung asli Aceh dengan corak-corak asli Aceh? dan yang terpenting, Tujuan saya adalah untuk mengedukasi anak muda Aceh, jika motif Aceh itu Keren!”

Dari Kerawang Gayo Ke Cap Sikureung


Ija Kroeng edisi Kerawang Gayo 
foto : Makmur Dimila www.safariku.com

Masih berbekas dengan sempurna pertemuan kami pada media tahun 2016 lalu. Kala itu, Ija Kroeng baru saja meluncurkan sarung bermotif Kerawang Gayo. Sebuah sarung dengan warna tunggal Hitam atau putih, hanya dilengkapi dengan les pita berwarna Emas, dan di sisi depannya terlukis Kerawang Gayo yang berwarna hijau, merah, kuning. Khas sekali. Begitu etnik. 

Dan kini, ia kembali meluncurkan produk Ija Kroeng yang berupa baju koko dengan motif Cap Sikureung. Saya sempat merasa takjub sekaligus mengernyitkan jidat. Serius ini Cap SIkureung? apa motif tersebut bisa klop dengan gaya anak muda masa kini? Dipakai untuk lebaran pula.

Jadi, Cap Sikureung, (Melayu: Cap Halilintar) adalah nama dari stempel sultan-sultan Aceh Darussalam yang mulai dipakai pada masa pemerintahan Sultan Iskandar Muda Meukuta Alam (1607-1636 M) dengan bentuk menyerupai stempel Kerajaan Monghul, India pada masa Jahangir Khan (1619 M). Disebut Cap Sikureueng karena stempel tersebut berbentuk 9 (sembilan) lingkaran di mana tertera nama-nama sultan Aceh Darussalam, baik yang sedang berkuasa maupun nama-nama sultan sebelumnya. (disadur dari tulisan pak Drs. H. Nurdin AR, M.Hum)

“Begini Yud, mungkin akan banyak orang yang tak setuju dengan ide ini. Tapi tujuan saya adalah membangkitkan lagi ghairah kecintaan akan tradisi, budaya, dan lambang-lambang sejarah Aceh di mata anak muda jaman sekarang. Dan bisa dipastikan tak semuanya mereka akan peduli tentang budaya negerinya. Jadi, inilah salah satu cara yang terpikirkan oleh saya untuk memberikan edukasi kepada mereka.” 

Apa yang dikatakannya tak salah. Saya harus menganggukkan kepala. Persis seperti mainan kucing yang ada di dashboard mobil. Tak banyak lagi anak aceh ataupun anak-anak di nusantara ini yang bangga akan kedaerahannya. Bagi kids jaman now blazer ala korea jauh lebih keren. Atau jaket ala Dilan jauh lebih memikat hati para gadis. Padahal dia lupa, kalau harga emas itu semakin berat. 



Hari semakin sore, magrib tak ayal lagi akan datang menyapa. Ada banyak hal yang lagi-lagi saya dapatkan dari obrolan kami. Setidaknya, saya bisa memahami, bahwa masih banyak pemuda Aceh dan di Nusantara ini yang ingin menjaga tradisi budaya serta khasanah sejarah daerahnya. Ada banyak cara kreatif yang ditampilkan oleh mereka. Dan, itu semua hanya demi lestarinya nilai kebanggaan akan negeri sendiri. 

Ah iya, kini, Ija Kroeng tidak hanya sarung, namun telah merambah ke baju, celana sarung, goodie bag dan syal. Jadi, jangan bingung kala disebutkan merek Ija Kroeng, namun yang dipakai bukan sarung melainkan syal. 

“Intinya Yud, ide kreatif itu jangan berhenti di meja diskusi. Akan tetapi dia harus dieksekusi. Mungkin ini terlihat ketinggalan jaman, tapi saya yakin, motif-motif aceh masa lalu akan kembali mendunia bersama dengan ija Kroeng didalamnya.” Ungkap bang Khairul kepada saya sesaat setelah kami membubarkan diri dari meja diskusi dengan diiringi oleh adzan magrib yang berkumandang. 



Ija Kroeng;
Alamat Workshop : Jl.Teuku Umar Lr.Mahya No.51 Setui 
(jln stlh RS Harapan Bunda) B.Aceh
No Tlp : +6285320910099
instagram : @ijakroeng

Mengejar Orangutan Sumatra di Aceh Selatan

$
0
0

Apapun ceritanya, hutan tetap menjadi momok bagi saya yang anak kota tapi sok cinta hutan. Mulai dari pacat lah, takut ular yang merayap di dasar hutan sampai dedaunan yang bikin kulit sensitif saya bisa alergi berminggu-minggu. Drama belum usai! Fisik yang ringkih dan pesakitan menjadi salah satu kendala dalam tracking ke hutan. Belum lagi kalau bicara soal kostum. Celana lebaran lalu, sudah menjadi korban.

Seolah tak kunjung selesai, tapi nasib lagi lagi menarik saya ke hutan. Senin pagi 11 Juli 2017, masih tersisa nikmatnya udara pagi di kota Tapaktuan, Aceh Selatan. Mendung syahdu, udara yang segar, dan debur ombak yang bersimponi di gendang telinga. Membuat saya lupa, bila umur tak lagi belia. Hal itu pula yang menjadikan saya malas beranjak menuju ke tempat lainnya. Apa tidak bisa di sini saja? 

"Ini momen langka Yud..nggak semua orang bisa ikut dalam hal seperti ini. Dan, yudi harus tahu tentang lika likunya" Ini yang kesekian kalinya bang Zulfan, partner perjalanan kali ini, menegaskan hal tersebut. Dan kesekian kalinya pula saya meragu untuk melangkah.

Di satu sisi, perjalanan ini seharusnya menuju ke Aceh Singkil, tepatnya kawasan Suaka Margasatwa Rawa Singkil. Tak ada tempat di Aceh ini yang berhasil membuat saya merengek rengek ke beberapa teman agar bisa diajak ke sana.  

"Ayolah bang Yud, nggak jauh kok. Dekat sama jalan raya kok.. masuknya juga nggak jauh-jauh amat." Alpin, seolah se-ide dengan bang Zulfan. Pria bertubuh bongsor dan berlogat sumatra utara ini, memang sudah cukup sering memberikan info mngenai evakuasi orangutan sumatra yang berada dalam.kawasan selatan Aceh. 

Saatnya Mengejar Orangutan!


Yaps, saya diajak untuk ikut serta dalam melakukan evakuasi Orangutan Sumatra! 

Saya GEGANA, Gelisah Galau merana. Orangutan Sumatra, hewan endemik pulau Sumatra bagian utara ini memang dalam keadaan yang cukup mengkhawatirkan. Walaupun sebenarnya, saya lebih mengkhawatirkan orang-orang seperti saya ini. Lahir dan besar di kota, tapi sibuk minta masuk hutan. Sedangkan orangutan sibuk dibawa masuk ke kota. #eh...

Senapan angin, yang telah dimodifikasi untuk melakukan bius kepada orangutan yang tersesat di kawasan penduduk
Ini momen langka, tak banyak orang yang bisa ikut serta untuk perihal begini. Pun, tak semua orang beruntung. Hari itu, saya merasa kalau ini adalah hari keberuntungan saya. Hujan yang turun semalaman, berhasil membuat perjalanan ke Suaka Margasatwa Rawa Singkil ditunda. Di sana, air sungai Singkil meluap sejadi-jadinya. Sehingga sangat tidak aman bagi saya, si anak kota ini untuk menuju ke hilir sungai tempat proses penelitian berlangsung. 

Pun, hal tersebut juga membuat pak Onrizal, seorang peneliti biota bawah air dari Universitas Sumatra Utara yang menjadi narasumber saya untuk kegiatan di Rawa Singkil, ikutan melangkah ke Bakongan, Aceh Selatan. Tahniah! Saya tak harus ke sana terlebih dulu. Dan, saatnya bersiap masuk hutan lagi, horay…

Celana lebaran saya mulai berlumuran lumpur. Hujan turun seolah tak tahu diri. Sandal gunung abal-abal milik saya, mulai menunjukkan kualitasnya. Beberapa benang penyambung sandal mulai lekang. Tanah yang saya pijak bergoyang-goyang. Hutan yang rimbun nan lebat ternyata sudah tak ada lagi. Hampir sejauh mata memandang semuanya hanyalah kebun sawit warga. Katanya masuk ke hutan? Saya masih membatin dalam hati. 

Mengingat tak banyak waktu untuk mengkritisi keadaan. Hari mulai sore, si orangutan telah menunggu untuk dibius lalu di relokasi. Derap langkah terus menyusuri pinggiran “hutan sawit”. Sesekali kaki saya terjerumus ke lubang bekas lahan gambut. Saya hanya bisa meringis. Inikah dunia konservasi itu? Dunia yang bekerja untuk hajat hidup orang banyak, akan tetapi seperti tak ter-ekspose

preparing the medicine
“Itu dia di sana… ini sudah tidak boleh dibiarkan lagi! Kejar aja.. Bedu..ambil kayu, pukul-pukul ke pokok yang besar itu!” bang Richo, ketua rombongan evakuasi sekaligus dokter hewan memberikan aba-aba. Maklum saja, keadaan sudah menjelang magrib. Iya! Tak lama lagi senja akan merekah di langit Bakongan. Sedangkan keadaan orangutan yang terlihat kurus itu, tak mungkin dibiarkan terlalu lama di sini. 

Team yang berjumlah lebih dari 6 orang ini mulai kesurupan. Senjata bius berkali-kali ditembakkan, tak jua kena sasaran. Bila sesiang tadi kami semua diminta untuk diam, tenang dan bersembunyi di semak-semak agar orangutan pindah ke pohon kayu yang lebih rendah. Kini, kami semua mulai teriak-teriak. Bersaing menjadi tarzan yang salah jurusan. Woaa....!

Pakaian yang tadinya basah kuyup karena hujan, kini kering ditempa panas. Dahaga mulai menjalar kekerongkongan. Namun demikian, saya bahagia hari itu. Bisa melihat apa yang sebenarnya terjadi di hutan Aceh. Apa yang sebenarnya terjadi terhadap hewan endemic Sumatra yang mulai “bermasalah” ini. Para pemuda dari Orangutan Information Centre (OIC) sedari tadi berjibaku tanpa henti.

Orangutan Sumatra yang ada di kawasan hutan Aceh Selatan
“Jaring… Ooi.. Mana Jaring…” teriakan bang Richo dari dalam hutan, membuat kami semua menggila. Saya lari terbirit-birit seperti dikejar babi hutan. Menenteng berbagai macam kamera, persis seperti anak alay yang baru dapat mainan kamera baru. Orangutan berhasil mereka bius. Dan, kini masalah yang lain muncul...

Orangutannya nyangkut di pohon! 

Sebenarnya, saya paling panik. Tapi saya yakin, mereka ini punya pengalaman dan cara untuk mengatasi hal tersebut. Salah seorang dari team memanjat pohon tersebut. Perlahan tapi pasti, lalu akhirnya…

Buuuk..!

tarik jaringnya yang kuat, bang!!
Induk orangutan jatuh ke dalam jaring yang telah dibentang. Tapi, anaknya tinggal. Kini, bukan hanya saya yang panic. Tapi seluruh team! Anak orangutan yang diketahui baru berumur satu tahun ini, tak boleh jauh dari induknya. Bagaimana tidak, hewan yang DNA-nya hampir 100% mirip dengan manusia ini, sangat bergantung akan asupan gizi dari induknya sampai 7 tahun. Jadi, bisa dipastikan, bila si dedek Orangutan ini tak ada ibunya, maka dia akan mati. 

Banyak yang tak mengerti, bahwa, salah satu yang membuat hutan itu sehat dan lebat serta beragam tumbuh-tumbuhan adalah jasa orangutan. Setiap kali ia membuat sarang, maka cahaya matahari bisa masuk sampai ke dasar hutan Hujan (ingat! Hujan Hujan biasanya memiliki kerimbunan yang luar biasa. Sehingga membuat tumbuhan yang hidup di dasar hutan sulit untuk mendapatkan sinar matahari). Dalam proses penyebaran bibit-bibit tumbuhan hutan pun, jasa orangutan berperan cukup banyak. Dan pada akhirnya, ia merupakan rantai makanan dari sebuah ekosistem hutan hujan Sumatra. Terutama Hutan Leuser!

Azan magrib berkumandang. Orangutan dan induknya berhasil dimasukkan ke sebuah kandang portable. Tentu, setelah sebelumnya di cek kesehatan orangutan tersebut. 

“Sebenarnya ini adalah cara terakhir untuk memberikan kesempatan hidup yang lebih layak dan lama bagi orangutan tersebut, Bang Yud” tutup pembicaraan sederhana saya dengan bang Richo  saat saya tanyakan apakah tak ada cara lain untuk melindungi orangutan yang terisolasi di hutan-hutan warga. 
Induknya berhasil dievakuasi terlebih dahulu
wajah wajah lelah mereka
Saya hanya mengangguk-angguk, seolah seluruh tubuh ini mengiyakan apa yang diucapkan oleh Bang Richo. Konflik manusia dengan hewan mamalia dari hutan Aceh ini sudah cukup tinggi. Dengan dievakuasi pula, masyarakat yang telah mengubah hutan menjadi ladang dapat tetap berladang tanpa harus menyakiti orangutan. 

Ketika konflik dengan masyarakat bisa dihindari, bukan hanya orangutan yang akan memiliki kesempatan untuk hidup lebih baik, akan tetapi manusia itu juga akan merasakan dampat positif dari kelesetarian hutan dan ekosistem didalamnya. 

Tubuh ini sudah lusuh,selusuh-lusuhnya. Celana lebaran sudah lecek, selecek-leceknya. Perjalanan ini masih harus saya teruskan. Suaka margasatwa Rawa Singkil masih menanti dengan manjanya. Kalau soal capek dan lelah, tak usah ditanya lagi. Tapi, saya tersenyum bahagia. Seekor orangutan bersama anaknya, malam itu akan tidur tenang di dalam kawasan taman Nasional. Semoga dia mimpi indah.

Rawa Singkil, here I come! (cerita tentang indahnya rawa singkil bisa baca di sini )

Drh Rico memeriksa kesehatan orangutan betina atau induk dari anak orangutan
bye bye orangutan, tanpa mu, entah apa jadinya hutan di Aceh ini...


Note: 
*cerita ini dimuat pada laman www.leuserlestari.com
*semua foto adalah milik USAID Lestari/yudiranda

Banyak Rindu Di Pulau Banyak, Aceh Singkil

$
0
0
 Pulau Banyak, Aceh Singkil

“Bermimpilah, maka Tuhan akan memeluk mimpi-mimpimu!” Aku, masih ingat betul untaian kalimat sakti mandraguna dalam novel Sang Pemimpi itu. Terkesan sederhana namun secara tak sengaja menghunjam kuat ke dalam alam bawah sadarku. 

Sebuah awal perjalanan mengejar mimpi bermula. 

Jumat, 29 Juli 2016, kapal KM Mutiara bahari milik bang Mus menarik jangkarnya dari sungai Jembatan Tinggi kota Singkil. Penumpang telah duduk manis hampir di setiap sisi kapal yang berlambung warna hijau, merah dan berstrip putih ini. Ziyad dan Bilqis, dua anakku tak mau ketinggalan. Tatkala sang nahkoda kapal menawarkan bantal, tak ayal mereka bak ulat nangka yang disengat mentari siang. Bergeliat menjadi-jadi. Berebutan mengambil bantal dari tangan bang Mus. 

 Pulau Banyak, Aceh Singkil
kapal saya ketika hendak menyeberang ke Pulau Banyak
Tak pernah terpatri sebelumnya. Jika suatu hari nanti, perjalanan ke Aceh Singkil akan menjadi sebuah perjalanan keluarga yang penuh dengan drama dan tawa canda. Tertatih tatih, memekik pilu, lalu tersenyum sempurna kala kapal yang berukuran 30 GT ini berhasil berlabuh sempurna di dermaga Pulau Balai. Mungkin, bagi sebagian anak Adam, ini perjalanan yang tak ubahnya travelling keliling kota. Tapi bagiku, ini adalah ajang mengejar sebuah mimpi, merangkai cinta dan memuja alam yang mungkin, Tuhan menciptakannya kala IA tersenyum. 

 Pulau Banyak, Aceh Singkil
pagi dari Pulau Balai
Singkil bagiku, bak bunga yang berada di puncak gunung. Jauh menapak aral, akhirnya indah jua. Berlebihan mungkin. Namun, perjalananku bersama keluarga dari banda aceh ke aceh Singkil harus ditempuh selama kurang lebih 20 Jam. Ziyad dan Bilqis saat dalam perjalanan mengalami demam. Berbotol-botol obat menjadi asupan bagi mereka sepanjang perjalanan dari Banda Aceh. 
Sekali layar berkembang pantang biduk surut ke pantai. Kami sekeluarga tak ingin mengendurkan langkah. Mobil sudah melaju, tak mungkin kembali pulang. Bila tidak hari ini, maka belum tentu akan ada rezeki dan waktu untuk bisa menikmati nyiur yang melambai syahdu di pantai Tailana. 

Pesona Aceh Singkil, tak hanya terpaku pada indahnya bentangan laut yang hijau toska pada Pulau Tailana, Palambak, Sikandang, Asok, Biawak, Panjang ataupun pulau Rangit. Tapi ia lebih dari itu semua. Ada Bengkaru dengan kawasan konservasi penyu Belimbing, Sisik, dan Hijau. Ada Ujung Lolok yang menanti penggila ombak untuk menjamahnya. Ada Pulau Tuangku dengan kampung Haloban-nya, dan buaya muara yang dapat kau tengok dengan wajah senang namun takut terkaman. 

 Pulau Banyak, Aceh Singkil
pantai di Pulau Tailana, Kepulauan Pulau Banyak

Aku masih ingat, duduk bersama para tetua kampung di pulau Balai, lalu mereka berkisah akan makam Tuangku. Yang menurut kabar ia adalah penghuni pertama di kepulauan yang kini berjumlah 66 pulau. Dahulu di sini pulaunya berjumlah 99 pulau, namun medio akhir 2004 lalu, Tsunami menenggelamkan setidaknya 30 pulau kecil yang tak berpenghuni ke dasar lautan. 

“Itu Tailana” ungkap bang Sunarwin. Pawang boat Robin yang terus memainkan kemudi boat miliknya. Kami, menyewanya untuk dapat berkeliling pulau-pulau kecil yang ada di Pulau Banyak ini. Sesekali, ia menancap gas hingga membuat mesin meraung-raung di tengah lautan. Sesekali, ia memelankan laju boat. Takut-takut boat kecil yang berisikan 9 orang itu akan menghantam terumbu karang yang terhampar di hampir seluruh pantai pada pulau yang kami lewati. 

 Pulau Banyak, Aceh Singkil
saya lupa nama pulaunya hehe

Air laut yang hijau bergradasi manja dengan biru terang, rimbun pokok kelapa melambai, membentang seantero pulau. Seperti menyusun cerita fiksi kembali ke awal tahun 80an. Kilauan air laut yang disinari mentari, sesekali menyilaukan mata. Namun enggan melewatinya begitu saja. Di beberapa sudut, pasir-pasir laut sedikit kasar memberikan sensasi yang begitu sulit terlupakan. Terpantul-pantul sinar mahatari dibuatnya. Aku terhipnotis seketika. Ziyad tak tunggu komando, langsung melompat kala boat bermesin robin merapatkan haluan ke tepi pantai Tailana. Byuurr.. 

 Pulau Banyak, Aceh Singkil
akhirnya, bisa bergaya di Pulau Tailana


Demamnya telah hilang, berganti senyum dan tawa yang tiada henti. Sesekali ia menjerit kegirangan, pasalnya, ikan senangin bermain di sela-sela pahanya yang mungil. Rasa panas yang harus diderita oleh Ziyad sepanjang perjalanan, reda sudah. Kini yang tersisa adalah senyum yang merekah dari bocah yang baru genap 4 tahun itu. 

 Pulau Banyak, Aceh Singkil
Pulau Malelo, foto by Zulfan Helmi (http://www.travelenses.com/)
Rasanya pantas ketika banyak yang menyebutnya bak surga di ujung Sumatra. Indah nian. Wajar, saat harus merindui kehangatan penduduk desa Pulau Balai. Aroma ikan kakap gulai yang selalu menari di depan hidung, angin laut yang tenang, hangatnya mentari pagi dengan iringan deru mesin robin, dan renyahnya tawa bocah yang menjadi laut sebagai arena bermain mereka. 

 Pulau Banyak, Aceh Singkil
Pulau Rangit Kecil, Pulau Banyak. Photo: Makmur Dimila (www.safariku.com)
Ya, akan selalu banyak rindu di Pulau Banyak. yr

Muda Lagi di Berry Glee Hotel, Bali

$
0
0
Badan ini sudah terlalu lelah, perjalanan dari Banda Aceh – Kuala Lumpur – I Gusti Nurah Rai Bali memakan waktu yang cukup lama. Ini, sebenarnya hanya demi mencari selisih harga Rp. 200.000! Mungkin tak seberapa jika dibandingkan dengan waktu yang terbuang. Namun, bagaimana jika dikalikan 4 ( empat )? Lalu kalikan dengan selisih tiket pulangnya lagi? Ah, betapa drama dalam kehidupan itu lebih miris dari pada drama Korea terbaru. 

Tepat pukul 11 malam pesawat Air Asia baru saja mendarat di terminal Kedatangan Luar Negeri. Keren kan? Dari Aceh tapi masuknya kedatangan luar negeri, hihihi. Muka anak-anak tak lagi ceria. Apalagi muka istri saya yang tengah hamil muda. Raut wajah bang Bobby yang setia menanti saya dan keluarga, sudahlah tak usah ditanya lagi. Peluh telah kering. Berganti butiran garam yang mengering dan bau di selah-selah lipatan tubuh-ketiak

Lalu membayangakan, betapa indah dan nikmatnya tatkala tubuh yang bau tak jelas in bisa kena air hangat dan berendam di bathtub. Hingga akhirnya tertidur lelap di kasur yang empuk tanpa berpikir besok harus berbuat apa. Ah, betapa indahnya dunia!

tampak depan hotel, foto by : bang Bobby
(www.virustraveling.com)
Jadi,
Selalu ada saja cara dan jalan bila memang sudah meniatkan diri. Berawal dari keinginan untuk ke Bali, lalu tanpa sengaja, dengan keisengan, saya mengikuti giveaway yang diselenggarakan oleh bang Bobby (www.virustravelling.com) beberapa bulan sebelumnya.  Dan keluarlah saya sebagai salah satu komentator alay sebagai pemenangnya. Beruntung, walau, tak memenangkan hotel yang satunya lagi, paling tidak, Berry Glee bisa memberikan arti lebih dalam perjalanan-nekat-saya ke Bali. 

Begitulah, niat, menang giveaway, perjalanan yang lelah, sampai akhirnya terdampar di salah satu hotel dengan desain kece di Kuta, Bali!

“Ayaaah...ada kolam renang! Boleh mandi sekarang, Ya?!” tanya Ziyad dan Bilqis yang tiba-tiba merasa segar bugar tatkala melihat hamparan air biru yang diterangi kerlap kerlip lampu di pinggir kolam. Dikokohi dengan tiang-tiang bulat. Unik! Itulah kesan awal yang saya dapati. 

kolam ini, yang membuat anak-saya rela tak jalan-jalan keliling Kuta-Bali

Tapi mandi di kolam renang pada jam 12 malam waktu Indonesia Tengah? anak-anak? Seriously? 

“Nggak! Besok.. besok..” jawab saya sekenanya. Sambil terus menggerek koper yang  isinya penuh dengan pernak-pernik balita. Sudah, tak usah bahas betapa ribetnya travelling dengan dua bocah yang aktif bak mainan Gundam dipasangin baterai alkaline!

Kamar yang kami tempati memang hanya superior room. Tapi entah mengapa, rasanya cukup luas. Dengan nuansa cat putih bersih, dan beberapa funiture yang juga rata-rata berwarna putih sembari diselingi dengan warna-warna terang. Ini hotel atau tempat bermain anak-anak sih? Nyaman, dan terasa lega. 


Tanpa tunggu aba-aba, ziyad dan Bilqis mulai mengambil ancang-ancang di atas kasur yang berukuran king size. FYI, ini beneran king size bukannya yang double bed lalu digabungin jadi satu. Jikalau sedikit rusuh di kasur bareng istri dan anak-anak, itu kasur lari kesana kemari. Bantalnya juga banyak! Ini penting bagi saya yang selalu menjadi korban “kekuasaan” anak-anak. Karena dengan bantal yang banyak saya bisa dipastikan dapat tidur dengan layak dan aman. 

Dua malam rasanya sebentar. Saya, benar-benar merasa betah dan yang paling penting adalah merasa kembali Muda di Hotel Berry Glee. Pasalnya? Sederhana saja. Saya bisa terbebas dari anak-anak! Hehe. Bagaimana tidak, fasilitas yang disajikan cukup membuat saya dan istri merasa tak terlalu khawatir melepaskan anak-anak bermain. Saya rasa ini penting bagi orang tua manapun bukan? Dan sepertinya hotel yang baru grand launching bulan April 2016 memang begitu peduli dengan pelayanannya yang aduhai.


Di hotel ini, anak-anak bisa bermain di  Kid’s Club, atau bermain di kolam renang. Atau, tetap bisa bermain di kamar yang ada tema kids playground. Yups, Berry Glee bisa disebut juga dengan thematic hotel. Ada berbagai tema kamar yang disajikan. Namun sayang, ya saya hanya mendapatkan kamar superior room. Tapi itu juga sudah nyaman banget, ntah bagaimana kalau dapat kamar dengan tema Jungle Room seperti yang dinikmati oleh kak Eka (www.ceritaeka.com). Mungkin, bisa dipastikan anak-anak saya nggak bakalan mau pulang. 

Ah, satu lagi, saya suka restonya. Pasalnya sederhana, saya bisa meracik kopi seperti yang saya inginkan. Jadilah di pagi hari saya bisa menikmati kopi sanger ala Aceh tapi di Bali! Walaupun tak terlalu sama, namun menikmati kopi sembari duduk di tepi kolam renang yang besar dan bersih serta tertata rapi? Ah, nikmat Tuhanmu mana lagi yang ingin kau dustai kawan?

Kid’s Club di hotel Berry Glee Bali
Bicara soal lokasi, hotel ini letaknya cukup strategis. Kemana-mana cukup dekat. Ke pantai kuta hanya butuh waktu tidak sampai 10 menit. Mau pesan makanan juga nggak jauh-jauh amat. Tapi terlepas itu semua, bukankah hal yang penting dari menginap di sebuah hotel adalah merasa homey kan? Dan, itu bisa kamu dapatkan di sini, Berry Glee Hotel!

When dream come true, dan kamu pasti akan berharap bisa lagi ke bali lalu tidur nyenyak lagi di hotel yang nyaman ini, kan? 

Wonderland Thematic Room. Photo from web
Berry Glee Hotel
Alamat: Jalan Raya Kuta no 139, Kuta – Bali 80361 Indonesia
Telepon: +62 361 760 008
Email : info@berrygleehotel.com




NB : foto pembuka diambil dari web Hotel


Menjadi Blogger, Dari tidak ada Handphone Sampai mengejar Handphone Idaman!

$
0
0

Handphone idaman 2018
Barang baru, stock lama!
Begitulah istilah yang disematkan oleh teman-teman blogger yang masih ngeblog semenjak jaman multiply.com.  Iya, saya adalah salah satu Mpers, istilah blogger yang menulis di web tersebut. Di sana, saya sudah menulis dan belajar ngeblog semenjak tahun 2006. Hingga semuanya berakhir di tahun 2010, seiring selesainya kuliah strata-1 di Jakarta dan harus kembali memacu hidup di kampung halaman, Aceh.

Pun, tak lama, multiply tutup. Saya akhirnya, memutuskan hidup normal seperti layaknya pemuda di kampung. Bekerja sebagai karyawan. Pergi karena hutang, pulang karena sayang. Begitulah sampai lima tahun selanjutnya. Tepat tanggal 23 Januari 2015, seorang teman dari era MP (multiply) meminta saya untuk kembali menuliskan cerita di blogspot.

Berat! Itulah yang terlintas saat memulainya kembali. Sudah, jangan tanya bagaimana bingungnya saya saat mencoba membuat blog pertama kali setelah lima tahun berhenti! Laptop sudah tak ada lagi, handphone masih seri jadul. Beneran jaman baheulak! Keypad nya saja masih model ah kalian tahulah tanpa saya harus menyebut mereknya. Bagaimana caranya saya memulai menulis lagi? Itulah yang tersirat dalam benak.

Menjadi blogger di daerah terujung Sumatra sudah bisa dipastikan takkan semudah saat masih di Jakarta. Mulai dari akses internet, sampai sisi cerita yang ingin diangkat. Tak semua orang ingin dengar mengenai daerah yang terkenal dengan hukum Syariatnya. 

foto masih pake kamera poket milik keluarga. Kamera ini keluaran tahun 2008.
Bismillah, saya memutuskan jalan. Satu persatu cerita mulai diangkat ke permukaan. Dengan sisa-sisa tabungan, saya membeli tablet murah. Tujuannya, hanya agar bisa terhubung kembali dengan dunia maya. Membangun relasi yang lama terputus, sampai mencari-cari peluang kerja. Sesekali, saya meminjam laptop teman, atau laptop adik. Apa pun saya usahakan, sampai meminjam kamera poket milik keluarga!


masih pake tablet yang kualitas kameranya masih VGA
Sudah, jangan tanya bagaimana rasanya saat memberanikan diri meliput kegiatan wisata di daerah. Teman lainnya memakai gawai yang mumpuni, saya hanya tab murah yang gambar fotonya masih VGA. Saat teman yang lain sudah menggunakan DSLR saya hanya pakai kamera poket walaupun mereknya sama.

Kini...

Man Behind the Gun! Memang harus diakui, sehebat apa pun gawai yang engkau pakai, hasil dari gawai tersebut tetap ditentukan oleh sosok di belakangnya. Namun, percaya tak percaya, hal itu tak sepenuhnya benar. Paling tidak, itu yang saya rasakan. Terlebih lagi kini, era telah berubah. Teknologi berkembang. Setiap gawai atau gadget yang diciptakan bisa dipastikan haruslah cocok untuk kegiatan penggunanya.

Ngeblog, misalnya, terutama yang bergenre traveling, bisa dipastikan akan memerlukan laptop yang bisa diajak tempur. Handphone menjadi barang wajib yang harus dibawa hampir dalam setiap kegiatan. Baik itu untuk kegunaan sehari-hari sampai untuk urusan kerjaan. Kamera? Ah sudah tak usah tanya lagi.

Dengan semua derita menjadi blogger di kampung, yang tak mungkin dilukiskan satu-persatu, perlahan-lahan saya mulai mencicil untuk membeli gadget. Mulai dari kamera, laptop, sampai akhirnya handphone. Ini semua, tentu hasil dari ngeblog selama kurang lebih hampir 4 tahun. Apakah saya ingin berhenti?

Rasanya tidak, bahkan saya harus tetap memasang target. Minimal mengejar Smartphone Idaman 2018. Tidak muluk-muluk. Tak berani memimpikan sebuah handphone yang masuk dalam jajaran flagship. Namun, paling tidak, mampu mendukung setiap aktivitas saya.

Mungkin, HUAWEI memahami kegalauan blogger ngepas seperti saya. Nafsu tinggi tapi tenaga kurang. Mau beli yang mumpuni tapi terbatas dengan uang belanja make-up istri. Ingin serba bisa tanpa mengoyak kantong. Hadirlah dia, Huawei Nova 3i. Harganya masih bolehlah, belum sampai harus menggadaikan harga diri.

Handphone idaman 2018
Huawei Nova 3i foto by the web. 
Saya membayangkan, ketika ingin bermain instagram serta semua aplikasi editing pendukungnya, handphone saya tak lagi freeze. Ketika ingin membuat slow motion, saya tak harus mencari aplikasi atau kamera khusus. Jika mood tak bagus lalu ingin memainkan game-game dengan grafis tinggi, handphone saya tak lagi panas atau habis baterai. Dan yang terpenting, seorang blogger pasti membutuhkan sebuah telepon genggam yang bisa diajak multitasking!

Apakah handphone Huawei Nova 3i mampu memenuhi hajat hidup blogger receh seantero Indonesia? Saya pikir mungkin, dan bisa! Dana boleh seret, tapi gaya nggak boleh mati. Hadir dengan warna body twilight, ia mampu membuat siapapun penggila warna senja seperti saya, terpukau. Dan terkesan tak biasa serta mewah! Nah, ini faktor penting yang pertama. Tidak kalah segi tampilan! Karena setelah sempak baru, handphone baru nan elegan juga menjadi harga diri seorang blogger.

Tapi, tampilan mewah dan elegan tanpa kemampuan yang sepadan, sama saja sia-sia. Mau apa-apa ngelek, mau edit foto tapi freeze. Dengan chipset Kirin 710 berteknologi 12 nm, HUAWEI NOVA 3I memberikan hasil responsif yang halus, halus men! Nggak ngelek dan kasar sekayak handphone yang hari ini saya pakai! Pada telepon keluaran negeri tirai bambu ini juga dilengkapi dengan GPU Turbo. 

Jadi, bukan hanya tampilannya keren, namun juga mumpuni untuk dipakai multitasking. Plus, hemat baterai! Iya, GPU Turbo ini diklaim mampu meningkatkan kualitas grafis, kinerja yang lebih cepat, namun menahan konsumsi baterai menjadi lebih hemat. Jadi, sementara, kamu bisa menghemat penggunaan powerbank kecuali di tempat-tempat yang sulit colokan.

Saya membayangkan, suatu hari nanti, saat anak gadis kecil saya berlarian di pantai, dan saya bisa merekamnya dengan slowmotion, bisa bokeh, tanpa harus merogok kocek yang lebih dalam demi membeli lensa fix. Lalu, memperlihatkan hasil jepretannya kepada mereka, lalu kami tertawa bersama. Ah, betapa indahnya bukan?

ayah mana yang tak luluh hatinya melihat ia tersenyum begini?
Dan, HUAWEI NOVA 3I hadir dengan 4 kamera, dua depan ( 24 MP dan 2 MP), dua di belakang dengan  Kamera belakang ganda 16 MP + 2 MP dengan aperture f/2.2 mampu menciptakan efek BOKEHPROFESIONAL dan ALAMI. Diperkuat oleh algoritme AI yang didorong pengetahuan lebih dari 100 juta gambar, HUAWEI nova 3i mampu mengingat 22 kategori dari 500+ momen, dan menyediakan hasil potret yang dioptimalkan. Sarap! Sudahlah hemat kantong, namun memberi kelebihan terbaik dikelasnya, apalagi jika bukan teruntuk ayah galau seperti saya yang selalu ingin membahagiakan keluarga kecilnya.

Ah iya, dengan kemampuan foto demikian, saya bisa pastikan, foto-foto penunjang untuk postingan blog saya nanti tak lagi terlihat seperti era jaman friendster. Sudah ada bokehnya, sudah ada view landscape dengan contrast yang cukup menyejukkan mata. Memudahkan saya untuk meliput kegiatan atau event-event yang diadakan di Aceh nantinya. Bisa bokeh Meeen! Alamaak..saya geli sendiri membayangkan jika sudah berhasil merekam foto ala-ala bokeh. Lalu Huawei Nova 3i sudah menyediakan mode super slow motion sampai 16x pada 480 frame per second dan 4x slow motion 120fps! Bukan kaleng-kaleng kan, ini handphone!

Bilqis yang suka berlarian di pantai, taken by Satya Winnie. Bokehnya asyik, kan?
Bagi blogger, atau pekerja dunia maya seperti saya, bisa dipastikan koneksi internet yang stabil, kuat, dan tidak menguras tenaga baterai handphone adalah kewajiban. Dan, itu lagi-lagi diakomodir oleh Huawei Nova 3i. Konektivitas  #HuaweiNova3i_IDdidukung banyak fitur canggih seperti EMUI 8.2 alias elevator mode yang dapat mengoptimalkan kinerja jaringan dan memulihkan sinyal 4G secara cepat, fitur Huawei GEO 1.5 yang memungkinkan saya tetap mendapatkan layanan meski di tempat tertutup, hingga AI Noise Removal yang dapat menganalisis suara seperti suara rendah yang akan ditingkatkan, hingga panggilan berisik yang diubah menjadi lebih jelas dan berkualitas. Kini update status sempak koyak dari daerah minim sinyal bukan lagi menjadi masalah, dong!

Saya harus akui, masih begitu banyak keunggulannya yang belum saya uraikan. Namun, beberapa hal di atas sudah sangat membantu saya dalam blogging di tahun-tahun mendatang. Sederhana? Iya, saya selalu menginginkan hal-hal yang sederhana, namun tetap bermakna dan tak mengurangi keceriaan serta kebahagiaan dalam menekuni profesi sebagai Blogger.

Ingatlah kawan, menjadi blogger memang tak mudah apalagi murah. Namun kamu tetap bisa mensiasatinya dengan mencari gadget yang paling tepat. Karena saya sendiri juga melakukan hal yang sama. Dari tak punya apa-apa, sampai akhirnya perlahan memiliki laptop, kamera dan Smartphone Idaman Tahun 2018. Jika saya bisa, kamu pasti lebih bisa!. Ingat #ChooseTheBest!.




Tulisan ini  diikutsertakan  dalam Huawei Nova 3i Blog Competition by Koh Huang

Jelajah Aceh Pidie Bersama Satya Winnie

$
0
0
“Yank, bayinya nggak bergerak lagi ini!”
Istri mulai panik. Keadaan semakin runyam. Pikiran mulai membayangkan hal-hal yang tak diinginkan. Bagaimana jika bukan rezeki saya dan istri untuk amanah anak ketiga dari Tuhan? Sumpah, saya panik!

Tangan kanan, mengenggam kuat Ziyad, anak sulung yang memekik histeris. Menangis setiap kali letusan laknat itu berbunyi. Tangan kiri, action cam yang terus menerus menyala. Tidak jelas apa yang terekam. Istri, masih terus melarikan diri dari tengah keramaian yang tak tahu diri. Sembari menggenggam Bilqis, si kriwil, anak kedua kami. Perutnya yang hamil 7 bulan, bajunya yang gamis, ini seharusnya liburan keluarga bukan musibah!

Jika benar-benar terjadi, bayi dalam kandungan istri ini tak lagi bergeming, maka saya akan menggulai tiga orang sahabat yang menularkan ide gila ini kepada saya, dan Satya Winnie. Tersangkanya, Rio, Makmur dan Akbar. Tiga pria dewasa nan jomlo asli Pidie,  sekaligus teman tempat saya berbagi cerita tentang Sigli selama ini.

Saya dan keluarga, Rio, Akbar, dan Makmur, bermaksud memperkenalkan atraksi budaya asli Pidie kepada Women Travel Blogger Nasional, Satya Winnie. Dan ini, adalah kali kedua saya bertemu dengannya di Aceh. Kesan pertama bertemu dengannya? tak begitu bagus. Dia buru-buru mengejar konten hingga akhirnya hanya berbicara sepintas lalu.

Namun, tidak kali ini! Satya, si penggila paralayang ini, memutuskan untuk berpuasa di Aceh. 

Bilqis berselfie ria bersama Tante barunya, Satya
Yaps, Berpuasa sekaligus merasakan suasanan Idul Fitri di Aceh. Ntah apa yang dicarinya. Seperti yang kamu ketahui, Satya, beragama katolik. Namun, ia tetap bersikeras untuk mengenal kampung halaman saya yang tak seberapa megah dalam dunia traveling Indonesia ini.

Berulang kali, saya menanyakan kesungguhannya. Berulang kali ia menegaskan kalau ia ingin merasakan suasana Puasa di Serambi Mekkah! Tak tanggung-tanggung, ia juga menyiapkan beberapa pakaian yang sangat sopan untuk memuluskan niatnya tersebut.

“Tolonglah Satya, nanti orang-orang akan akan mengira jika ke Aceh wajib Jilbab terutama bagi yang non Muslim! Capek saya nanti menjelaskan ke netijen yang maha benar itu!” siapa yang tak gelisah, coba? Image Aceh selalu tak sempurna di mata para pemburu berita. Ini, seorang artis blog travel nasional malah nekat berpakaian “sopan” ke Aceh.

Mundurkah dia?

Tidak! Tekadnya sudah bulat. Aceh sudah masuk dalam list kunjungannya Ramadhan kali ini.

“Bang Yud, saya melakukan ini demi menghargai Aceh. di mana bumi dipijak, di sana langit dijunjung, kan? Orang-orang Aceh menghargai pendatang seperti saya. Sudah sepantasnya saya menghargai kalian, Aceh, dengan semampu saya.” 

tertebak kan dia ada di mana? source : instagram @satyawinnie
Tak diragukan, niatnya bulat sudah. Saatnya menyusun jadwal dan meng-list destinasi. Dan, terpilihlah Pidie dengan semua khasanah selama puasa dan lebarannya.

Akbar, Rio, dan Makmur, saya hubungi. Meminta bantuan untuk menjelajah Pidie di idul fitri. Sebenarnya sekalian, kebetulan kampung istri juga ada di Pidie. Tepatnya, di kampung Tong Pria, tak jauh dari kampungnya Tgk Chik Di Tiro.

Dari Meriam Bambu Sampai Masjid Tua Tiro


Tujuan awal kami, serombongan, adalah menikmati secara langsung pesta rakyat Pidie ketika malam Idul fitri kedua. Teut Beude Trieng ( Bakar Meriam Bambu). Mungkin, sebagian kita telah akrab dengan budaya ini. sebagian wilayah Indonesia ada melakukan budaya ini. Permainan rakyat ini, cukup familiar dengan mereka yang berumpun Melayu. misalnya di Pangkal Pinang, Minangkabau, dan Betawi. Atau, di Jawa tengah, Jawa timur dan Yogyakarta lebih mengenalnya dengan mercom Bumbung atau Long Bumbung.

Meriam dari bambu, dengan amunisi dari minyak tanah dan premium, hanya untuk anak-anak (?) Sumber foto : Akbar Rafsanjani
Apapun namanya, dia meledak! Dan di Pidie, dia meledak tak tahu diri! Sekencang-kencangnya, sekuat-kuatnya! Inilah yang membedakan budaya Meriam Bambu di Aceh dengan daerah lainnya. Budaya yang bertujuan untuk menjalin silaturahmi antar desa ini, memang sudah berlangsung sejak lama. Bila dahulu mereka menggunakan bambu sebagai meriam. Kini, mereka menggunakan drum besar yang digandeng tiga. Mesiunya? Karbit!

Sudah, jangan tanya seberapa besar dentumannya. Dan anehnya, orang Pidie ini, bukannya mereka takut, malah beramai-ramai menontonnya dari jarak dekat! Rumah-rumah warga bergetar dengan hebat. Beberapa kaca rumah yang berdekatan areal perang, ada yang pecah. Namun, tak ada yang mengeluhkannya. Begitulah, ini menjadi ajang mereka berpesta pora. Menyambut saudara jauh yang pulang menyapa keluarga di Pidie.

ini? adalah sumbu pemicu ledakan maut dari meriam karbit!
Satya, terlihat kegirangan. Sesekali ia memekik kaget bercampur bahagia dan tawa. Dalam keramaian, kami terpisah. Satya bersama Akbar, Rio dan Makmur. Saya? Memilih mengamankan keluarga. Dentuman demi dentuman, terus bersambung-sambung. Acara yang berlangsung saban tahun ini selalu dimulai setelah shalat isya, lalu berakhir kala adzan shubuh berkumandang.

Malam, sudah cukup larut. Tak surut sedikitpun jejak langkah para pengunjung dari seantero Pidie. Kami, melanjutkan perjalanan. Badan sudah lusuh. Bau tak sedap lagi. Namun, menghabiskan malam begitu saja, rasanya tak seru. Kami, memutuskan untuk mengisi stamina yang telah usang ini dengan meneguk kopi khas tanah pidie. Bukan, bukan sanger! Tapi Kopi Boh Manok atau Kopi telur kocok.

Perpaduan kopi robusta dari tanah Tangse ( masih dalam kawasan kabupaten Pidie) dicampur dengan merah telur ayam kampung. Sedikit susu kental manis, sedikit gula, sedikit jeruk nipis, lalu jadilah dia dalam satu gelas.

Dari pinggiran Garot, rombongan kami menuju Keude Lameue, Kecamatan Sakti. Jika dari Gle Gapui, lokasi kampus Universitas Jabal Ghafur, lalu mengambil jalan nasional menuju Lamlo. Sekitar 5 km ke depan, ada deretan kedai kopi tradisional di sebuah pertigaan. Di sanalah warung kopi telur kocok pidie legendaris berada.

wajah wajah kekenyangan akibat kopi telur
Jam telah menunjukkan pukul satu malam. Namun, penggemarnya masih ramai. Awalnya, Satya sedikit meragu. Ini sudah larut malam. Wanita pula, bagaimana hendak duduk bersama menikmati lemak kopi telur tersebut. Namun, tiga jomlo bahagia pidie berhasil meyakinkan satya untuk turun. “insya Allah di sini Aman. Kan Aceh sudah damai” ungkap mereka secara bersamaan. Sehati rupanya, pantas, jomlo!

Kami, menyatu dalam syahdunya malam. Obrolan demi obrolan melantur. Bergosip, tertawa, sampai berbagi ilmu blogging. Kopi telah habis masuk ke dalam perut-perut lapar. Stamina telah terisi kembali. Saatnya kembali pulang, ke kota Sigli. Untuk esok melanjutkan perjalanan ke kampung halaman istri.

“Satya, di kawasan ini, kita akan dengan mudah menemukan masjid tua. Masjid-masjid dengan kaligrafi asli dari jamannya, berbahan dasar kayu, dan beberapa diantaranya merupakan peninggalan era kesultanan Aceh dahulu.” Saya berusaha menjadi guide yang baik sekaligus sok tahu kepada Satya.

Tak lama, kami berhasil menemukan sebuah masjid tua yang teronggok tak terurus. Tepatnya, di kawasan kecamatan Tiro. Masih satu dalam area sekolah agama Islam di Kecamatan ini. tak jauh dari pusat wisata Pemandian Pintu Satu Tiro.


Menurut penuturan teman saya yang cukup paham sejarah, ia menyakini, jika masjid yang kami temukan ini, merupakan  salah satu peninggalan dari Teungku Chik Di Tiro. Seorang pahlawan Nasional sekaligus seorang ulama besar dari Aceh. Sayang seribu sayang, tak terurus.

Sebagian bangunannya telah dimakan rayap. Saya, dan Satya melangkah perlahan. Menikmati setiap sudut yang masih tersisa. Menikmati setiap ukiran yang masih tampak indah. Takjub, sedih, haru, dan bahagia. Membuncah menjadi satu. Pidie memang selalu punya cerita.


Terkantuk-kantuk ia di kursi belakang. Sesekali ia tertidur. Perjalanan panjang ke Pidie membawa pengalaman tersendiri kepada Satya, begitupun kepada Bilqis dan Ziyad. Mereka menemukan tante baru dari Jakarta. Saya, tersenyum bahagia, karena akhirnya mengerti jika aceh ini, begitu banyak budaya dan wisata yang belum tertuliskan dalam blog sederhana ini.

“Yank, bagaimana bayinya? Apakah masih diam?” saya tiba-tiba teringat akan kejadian kala meriam karbit itu meletus.

“alhamdulillah, si dedeknya senang. Ia senang bisa jalan-jalan sekeluarga. Sehat terus ya Nak” istri saya menjawab sembari menenangkan ayah dari jabang bayi yang dikandungnya.

Syukurlah...

Gagal Sunset di Pantai Uluwatu, Bali

$
0
0
Sunset di Pantai Uluwatu, Bali

Perjalanan ke Bali, identik dengan keromantisan. Begitulah yang ingin saya lakukan, kepada istri tercinta. Pengejawantahan romantisme terbaik adalah, duduk berdua, mesra-mesraan, di tebing, berbatasan dengan laut lepas, menghadap ke barat bumi, lalu menanti. Cahaya semburat yang menjingga. Ah, betapa romantisnya, bukan? 

Tak salah memang, jika banyak yang menghabiskan bulan madunya di pulau Dewata ini. Mulai dari pasangan tua seperti saya dan istri, sampai pasangan muda yang datang langsung dari luar negeri. Beberapa pasangan yang masih penuh gairah cinta terlihat duduk berdekatan. Saling merangkul. Saling mengecup. Saling membelai rambut. Sembari menanti matahari yang turun perlahan. Saya dan istri? Hanya bisa bawa perasaan, alias baper. Pasalnya, sederhana, dua anak kami berlarian ke sana kemari. Berguling-guling tak tahu diri. Seolah tenaga tak ada habisnya.

Namun, cerita keromantisan berhenti hanya sampai di sini. Tak lebih, tak lebih kurang. Manusia hanya bisa membuat rencana, tapi Tuhan jua lah yang menentukan hasil. Saya sadar, jika momen ini, belum tentu terulang lagi. Terbang dari Aceh ke Bali saja, sudah menjadi sebuah perjuangan tersendiri. Apalah lagi, mengejar sunset di pantai Uluwatu yang terkenal se-Indonesia ini.

Dari pesisir Pantai Legian, saya memacu motor sewaan, membonceng dua balita sekaligus emaknya. Melaju dengan penuh ragu. Berkeliling mencari tujuan, meraba penuh hasrat. Rasanya rugi, telah terbang jauh-jauh ke bali, tapi hanya menghabiskan waktu di hotel. Ya sudah, kapan lagi?

Saya harus setuju, ketika dikatakan pantai ini, sedikit sulit untuk dituju. Namun, perjalanan ke Pantai Uluwatu dari kawasan Legian, membutuhkan tenaga yang ekstra memang, tapi, semuanya terbayar tuntas. Tatanan yang bersih, toilet yang wangi dan kering, dan, tentunya pemandangannya!

Deretan anak tangga yang menuntunmu untuk mengunjungi Pura tua Uluwatu, tersusun menanjak. Beberapa ekor macaca terlihat hilir mudik, sesekali menggoda Bilqis dan Ziyad. Suara pengumuman dari para pengurus mengenai harus menjaga barang berharga dan kacamata dari serangan para monyet, membuat saya lebih awas.

Ah, iya, sebelum mengunjungi Pura Uluwatu, terlebih dahulu, saya memutuskan mengajak keluarga kecil ini berkeliling area sisi kiri kawasan. Suasana yang terlihat seperti semak belukar, memicu hasrat diri yang begitu penasaran. Sebenarnya, ada apa sih yang di sajikan oleh kawasan wisata sudah dikenal seantero dunia ini. Dan, hasilnya? Cukup menarik, walaupun lelah dan penat. Sesekali, Bilqis minta di gendong. Sesekali, Ziyad berlindung dibalik tubuh saya. Maklum saja, dia sedikit trauma dengan monyet. Ia pernah dikejar kala bermain di Ubud Forest Monkey ( cerita di sini)

senjanya mulai gagal..
Kawasannya, luas sekali. Hari mulai menjelang senja. Beberapa pasang mata mulai menaruh harap. Berdiri berjejer di pagar pembatas, menunggu matahari turun ke peraduan. Senja, tak lama lagi datang. Saya mencoba merangkul sang istri yang tengah hamil muda. Membiarkan anak-anak bermain sesukanya. Beberapa pengunjung luar negeri menggoda Bilqis yang berambut kriwil. Ah, biarkan saja, toh, saya ingin menikmati senja di Bali! Mungkin, ini sekali seumur hidup.

Perlahan mentari sore kejar-kejaran dengan awan mendung. Bergelayut manja di ufuk barat. Sunset nan syahdu pun gagal! Tinggallah saya dan istri menepuk lelah. Duduk sembari melihat para pengunjung mulai memadati panggung tari Kecak.

Romantisme, untaian puisi, dekapan hangat, yang telah saya rencanakan, gagal sudah! Hanya tertinggal sunset yang bersembunyi di balik awan. Ya sudahlah...basi!


Dari Aceh, ke Bali. Caranya?

Eh, masih penasaran ya? Bagaimana saya bisa ke bali dari Aceh. Jauh kan ya? Naik pesawat apa? Garuda kah? Tidak! Saya tidak naik garuda. Tertawalah sesukamu, kawan. Karena saya, begitu merindukan naik garuda. Maskapai asli ciptaan nenek kakek saya, orang Aceh. Tapi, harga tiket yang luar biasa mahal, memaksa saya untuk berdamai dengan keadaan. Yang penting, ke Bali.

Pilihan maskapai jatuh pada Air Asia dan Lion Air! Iya, saya menggunakan Air Asia kala pergi ke Bali. Dan menggunakan maskapai sejuta umat Indonesia, sang singa. Dan, disinilah musibah mulai terjadi. Tiket pulang, ternyata lebih susah dicari dibandingkan dengan tiket pergi. Memboyong dua bocah yang tak lagi masuk dalam kategori infantadalah sebuah seni sendiri dalam menentukan kocek.


Waktu itu, saya menggunakan aplikasi pegipegi.com untuk mencari tiket pesawat terbangkembali ke tanah rencong di ujung sumatra. Tiket pergi? Saya memutuskan untuk pergi via Kuala Lumpur, selain lebih murah, dan tentunya cepat sih. Ya, konsekuensinya harus pakai pasport. Ke Bali, pakai pasport! haha

Sebenarnya, pilihannya sederhana, banyak diskon dan cenderung lebih murah sih. Dan, tentunya juga mudah. Pegipegi berkomitmen menjadi fun traveling partner kamu dengan memberikan berbagai inspirasi seru dan informasi seputar traveling yang bisa kamu temukan di media sosial, website, serta aplikasi mobilenya.

Saat ini Pegipegi terhubung langsung dengan lebih dari 7000 pilihan hotel, memiliki lebih dari 20.000 rute penerbangan, serta lebih dari 1.60. rute kereta api dan Kereta Api Bandara (Railink) yang dapat kamu pesan melalui website dan aplikasi mobile Pegipegi.


Proses pemesanan juga mudah dengan berbagi promo menarik dan berbagai pilihan metode pembayaran, mulai dari transfer bank, kartu kredit, hingga cicilan 0%. Ini kan yang penting? Mengingat mengejar tiket murah itu tidak mudah. Saya bukanlah blogger keren, hanya blogger kere yang ingin menyenangkan hati keluarga dan bermesraan dengan istri. Begitulah, terkadang, bahagia itu sederhana kan? Murah, meriah, dan mesra!


Festival Danau Sentarum, Merajut Silaturahmi Antar Suku

$
0
0
Festival Danau Sentarum
Panggilan mendadak datang. Harus segera berangkat di detik-detik terakhir. Menarik, namun tidak dekat. Perjalanan kali ini, bisa dipastikan adalah sebuah perjalanan memacu diri. Memompa adrenalin dalam diri, untuk membuktikan diri ini masih begitu layak menjelajah negeri. Menjemput mimpi, mengejar satu-persatu nilai budaya di sebuah negeri yang besar ini. Indonesia, sebuah negara yang begitu kaya akan budaya dan bentang alam. 

Grogi, membawa tubuh merespon secara berlebihan. Maka demam, batuk, dan bersin-bersin menjadi sebuah kesimpulan dalam ke-parno-an. Bagaimana tidak, kali ini, saya diundang untuk bisa menghadiri sebuah festival yang masuk dalam 100 event Wisata Nasional 2018.  Bangga, senang, haru, dan pastinya menjadi sebuah tantangan. 
Festival Danau Sentarum
asyik, paling tidak ngerasain sensasi terbang naik pesawat non singa!
Dari Banda Aceh, untuk bisa terbang ke sebuah kecamatan yang terletak di ujung utara provinsi Kalimantan barat, bukanlah hal yang mudah. Terlebih lagi, jika mengingat umur tak lagi muda. Tubuh tak lagi mampu memberi tenaga lebih. Malam begadang, berteman dengan tangisan bayi. Pagi sampai sore hari, memacu motor untuk menyaingi abang ojek dalam hal antar mengantar anak serta istri. Namun, perjelanan ini, begitu sulit untuk dibiarkan begitu saja. 

Festival danau sentarum, begitulah tema acaranya. Sebuah festival yang diadakan di Kawasan Taman Nasional Danau Sentarum. Iya, taman nasional! Bisa dipastikan, suasana hutan raya membentang, udara sejuk terpampang, dan luasan danau luar biasa tersajikan. Posisi tepatnya, adalah di kecamatan Lanjak, kabupaten kapuas Hulu, bagian dari Provinsi Kalimantan Barat. Masih sama-sama barat dengan Aceh. namun waktu mahatarinya beda 2 dua jam! 


Lapangan Terbang Pangsuma Kapuas hulu
Dekat? Tidak, kawan! Dari banda aceh, kamu harus terbang ke Jakarta, atau ke Batam. Dan bisa dipastikan transit di Medan, lalu terbang lagi ke Jakarta. Dari sini, terbang lagi ke Pontianak yang bandara udaranya, keren! Bila dibandingkan dengan kedatangan saya pada tahun 2008 lalu, bandara ini, begitu luar biasa kini. 

Ah, iya, dari bandara Supadio, Pontianak, saya terbang lagi naik pesawat jenis ATR ke bandara Putussibau. Sudah? Belum. Dari bandara, saya dan tim bertotal 6 orang ini, harus naik mobil sewaan menuju ke kecamatan Lanjak yang berjarak 3 jam perjalanan darat. Capek kah engkau membaca paragraf ini, kawan? Yakinlah, saya yang menjalaninya juga capek. Ditambah, selama terbang, saya flu. Lengkap sudah!

Merajut Silaturahmi Antar Suku


Kawan, saya selalu penasaran akan suku Dayak yang ada di Kalimantan. Budayanya, tariannya, makanannya, sampai sejarah dari perjalanan mereka. Dan, perjalanan ini, adalah hal yang cukup tepat bagi kamu, yang memiliki ketertarikan akan budaya Indonesia lebih jauh.

Festival Danau Sentarum
mereka yang menunggu antrian naik ke panggung untuk unjuk kebolehan
Dentingan Sape, alat musik petik dari suku dayak, mendayu-dayu. Mengisi panggung sederhana di tengah malam. Menghipnotis siapapun yang mendengarnya. Saya, terpukau! Bertalu-talu, sahut menyahut, mengisi langit kota Lanjak. Tak lama, gema lagu Indonesia Pusaka berhasil membuat air mata ini luruh. Bola mata ini menjadi panas, menahan sesak haru. Semua menyanyikannya, ribuan penonton yang duduk dengan rapi tanpa ribut, tanpa perbedaan, tanpa egoisme kesukuan, di ujung terluar Indonesia. Yang langsung berbatasan dengan negeri Jiran. Namun, masih dalam bingkai Nasionalisme yang tinggi!

Ini keren! Ungkap saya dalam hati. Tak lama, panggung hiburan rakyat ini mulai mengisi malam yang kian larut dengan tarian daerah. Saya makin terpukau, penarinya cantik-cantik, bukan hanya dengan model tarian kreasi yang ditampilkan, akan tetapi, pesan-pesan yang disampaikan. Total tarian yang dihadirkan, jika saya tak salah, ada 13 (tiga belas) tarian kreasi yang menceritakan kehidupan sehari-hari suku dayak dan suku melayu. 

Festival Danau Sentarum
Ferry Sape, salah satu seniman Sape asli Kapuas Hulu, foto By : Dwi Rino (http://akunrino.id/) 
“Dek yudi, mungkin, bagi orang diluaran sana, Festival semacam ini dianggap berlebihan. Namun bagi kami, para penduduk di ujung negeri, ini adalah wahana kami merajut kembali tali silahturahmi yang lama terputus” ungkap pak Antonius, Kepala Dinas Pariwisata,  Pemuda dan Olahraga Kabupaten Kapuas Hulu. Raut wajah serius, warna kulitnya yang putih, memerah sudah karena lelah. Namun, semangat masih bergelora dari bola matanya. 

Saya membenarkan cara duduk. Mencoba mencermati setiap pembicaraan dengan beliau di sela-sela acara. Sambil sesekali saya melirik ke pentas. Tari apa lagi yang akan disuguhkan. Bagaimana acara “hura-hura” ini dianggap sebagai sebuah ajang merajuk kembali rasa persaudaraan yang lama putus? Ah, pencitraan ini! pasti ini pembenaran, kan?! Saya masih tak percaya akan apa yang saya dengar. Sayup-sayup, angin malam bertiup. Memaksa saya menarik resleting jaket. Dingin. Malam mulai begitu larut.

Festival Danau Sentarum
 foto By : Dwi Rino (http://akunrino.id/) 
“ Di sini, ada suku melayu, dan empat suku dayak besar. Yaitu, suku Dayak Iban, Sebaruk, Sontas, Kenyah dan Punan. Mayoritasnya adalah suku Dayak Iban. Sebagian besar dari mereka juga ada yang tersebar di negeri seberang. Jadi, untuk membuat mereka kembali menjenguk saudara jauhnya adalah dengan event-event besar seperti ini.” lanjut sang Bapak yang helai-helai rambutnya tak lagi hitam. Mungkin, tak lama lagi, ia akan pensiun dari jabatan yang kini dijabatnya.

Festival Danau Sentarum
Pak Antonius memberikan keterangan resmi, setelah sebelumnya kita duduk santai
Ia menceritakan, jika di Lanjak, rumah panjangnya masih terjaga masih asli dari nenek moyangnya.  Sedangkan di perantauan sana, di Malaysia,  rumah panjangnya sudah pakai semen,  pakai seng,  sudah hidup modern. Cara hidupnya juga, masih tradisional.  Kalau dalam satu bilik makan daging,  maka keluarga di bilik lain juga bisa merasakan daging.  Karena, di bilik-bilik itu antar dapurnya ada pintu.  Pantang bagi mereka kalau satu makan daging sedangkan yang lain tidak merasakan.
Cerita semakin menarik. 

Festival Danau Sentarum
foto By : Dwi Rino (http://akunrino.id/) 
"Ini mungkin semacam kerinduan bagi warga Kapuas Hulu yang lama tinggal di Malaysia untuk datang ke Lanjak. Kerinduan ingin merasakan bagaimana leluhurnya hidup, makanya mereka datang kemari. Kalau tidak ada acara besar seperti Festival Danau Sentarum,  yang datang sedikit.  Kita perlu ada media untuk mendatangkan mereka. Salah satu media untuk mendatangkan mereka ya festival ini."

Festival Danau Sentarum, yang berlangsung selama 4 hari ini, ( tanggal 25 Oktober sampai dengan 28 Oktober 2018 ) menjadi ajang  saling kunjung keluarga. Temu rindu setelah sekian lama tidak pulang bertemu orang tua,  atau adik dan kakaknya. Merasakan tinggal di rumah Panjang yang masih terjaga. 

Festival Danau SentarumTak terasa, satu persatu para penonton mulai beranjak pulang. Lelah mulai merajalela, pegal sudah tak tahu diri. Menggerogoti sampai ke bokong. Selembar demi selembar koyok mulai menempel pada tubuh. Saya, dan tim, harus bersiap siap kembali ke penginapan. Agar esok masih ada kekuatan untuk menikmati keindahan Danau Sentarum. 

Mungkin, perjalanan ini terkesan lebay dan katrok. Memang begitulah adanya. Toh, saya memang belum pernah melakukan perjalanan yang begitu panjang. Terima kasih kepada tim GENPI yang sudah bersedia mengundang blogger alay yang selalu galau akan sempaknya yang koyak. Kawan, Indonesia ini, keren!


Festival Danau Sentarum
foto By : Dwi Rino (http://akunrino.id/) 

Danau Sentarum, Sensasi Berlayar di Lahan Basah Terbesar di Asia Tenggara

$
0
0


Pantat ini, kebas. Tak ada rasa lagi. Mata berkunang-kunang. Jemari ini, mulai lincah meraba koyok di dalam tas pinggang yang lusuh. Lengkap sudah, pantat mati rasa, kepala cenat-cenut, tubuh berkeringat, mata kunang-kunang. Tapi semua ini, begitu menggairahkan! Rasa ini, seolah ingin melesak keluar dari dalam dada.

Rasanya, pasti kecewa. Tatkala sudah berada dalam kawasan sekitar danau, malah tak menikmati atau bahkan tak bisa mengunjunginya dari jarak dekat. Apalagi, jika sampai tak bisa berlayar diatasnya. Saya, Rino, Madi, Joemput, dan Inonk, sempat meragu. Duduk tak semangat. Melihat rundown kegiatan, dan jadwal yang kami punya, semuanya terkesan tak mendukung. Sampai akhirnya, bang Yopie, yang bertindak sebagai team leader, mengangguk setuju. “cari Speedboat kita!”

Festival Danau Sentarum
Penambang, Bang Yopi, Dwi Rino, dan Yunaidi
Iringan dua speedboatberbahan metal, dengan mesin tempel Yamaha 20 Pk, memecah keheningan di siang bolong di hulu sungai Kapuas. Tepatnya, pukul 10.00 waktu Indonesia bagian barat. Dan, di sini sudah siang! Warna sungai coklat kemerahan tampak begitu kontras dengan bagian pinggir sungai. Sebagian rumah warga yang dibangun di pinggir sungai menyajikan pemandangan yang menakjubkan. Bangunan kayu, bertiang besar, begitu kokoh. Sebagiannya lagi, rumah berbahan beton tampak di sisi lainnya. Berwarna warni, mengisi setiap sudut kosong di hulu sungai Kapuas.

Beberapa penduduk memulai ritual mandi hariannya. Pria, wanita, dan anak-anak, bercampur baur dalam baluran  air sungai yang tak sedap warnanya. Dengan berbekal kain batik panjang, mengikatnya di bagian dada, para wanita muda juga tak kalah riuh. “bang, fotokanlah kami bang!” lalu, dengan sedikit mengejar laju speedboat, klik. Dan, senyum pun merekah dari muka khas dayak Iban mereka.

Festival Danau Sentarum
. ah, nikmati saja.. foto by Dwi Rino (http://akunrino.id/)
Tak pernah terbayangkan sebelumnya dalam benak saya, jika hulu sungai Kapuas dan pintu masuk danau Sentarum akan seramai ini. Boat-boat berjejer menunggu penumpang dan pengunjung yang akan ke danau. Berbagai macam model. Mulai dari yang berkapasitas empat orang, enam, sampai belasan penumpang. Mulai dari boat pengangkut sembako ke pulau Tekenang, sampai boat besar yang berisikan drum-drum Bahan Bakar Minyak. Semuanya, akan dikirimkan ke masyarakat yang berada di pulau-pulau dalam kawasan Taman Nasional Danau Sentarum.

Jalur yang tadinya sedikit sesak dan ramai, kini berubah menjadi bentangan air bak lautan. Luas tak terkira. Rasa damai, berduyun-duyun merasuk ke jiwa, bersamaan dengan angin dingin dari gunung. Beberapa tumbuhan menjulur di atas permukaan. Menciptakan labirin yang seru untuk disusuri.  Kiri-kanan, gunung-gunung berdiri gagah, hutan-hutan tropis dan tipikal tumbuhan air memagari punggung bukit. Laju speedboat semakin menggila! Seolah mengejar ikan tangkapan yang hendak lari, para penambang yang membawa saya dan tim, seperti kesetanan. Tancap Gas!

Festival Danau Sentarum
just you imagine, how's my ass was..
Dasar penambang tak tahu diri! Bukannya pelan-pelan, malah melaju tanpa henti. Riak air yang menghantam buritan speedboat, membuat saya harus terpental berkali-kali. Bak goni sembako. Genggaman semakin erat ketika bang Toni, penambang speedboat yang saya tunggangi, jemarinya memutar tuas gas mesin 20pk itu. Alih-alih merasakan semilir angin yang meniupi permukaan danau, yang didapat bak tamparan demi tamparan. Dan bang Toni, tak mau tahu.

Penambang, adalah istilah yang digunakan oleh masyarakat sekitar danau Sentarum untuk mereka yang berprofesi sebagai pengemudi speedboat. Biasanya, mereka, jika tak membawa tamu, akan mengantarkan pesanan sembako untuk masyarakat di pulau Tekenang atau pulau lainnya yang masih berada dalam kawasan danau.

Festival Danau Sentarum
our Mr Toni
“Alhamdulillah bang, kalau dulu kerjaan saya tak jelas, sekarang saya bisa menghidupi keluarga dari kegiatan menambang ini”ungkap bang Toni, pria yang lahir di Desa Lanjak ini,  telah lima tahun menjalani profesi sebagai penambang di danau Sentarum. Ia mengaku, jika event-event yang dilaksanakan oleh pemerintah kabupaten Kapuas Hulu ataupun pemerintah Provinsi Kalimantan Barat, seperti Festival Danau Sentarum 2018 ini, berhasil meningkatkan jumlah kunjungan ke daerah yang berada di ujung Utara Kalimantan ini.

Tak ramai memang, tapi efeknya cukup memberi arti. Bang Toni, yang dahulunya merupakan seorang pelaku illegal logging dalam kawasan taman Nasional. Kini, ia mampu mengubah nasibnya. Dari merusak, menjadi salah satu yang peduli lingkungan di kawasan dalam Danau.

“bang, kalau pohon-pohon tua itu kita tebang sembarangan, air danau akan menyusut. Lama-lama kan, kering dia. Kami, kek mana?” mentari siang semakin tak tahu diri. Patut disyukuri memang, mengingat hari sebelumnya, cuaca mendung. Bang Toni, menarik rokoknya dalam-dalam. Melepaskan penat dengan memandang para pengunjung yang berkumpul di puncak pulau Sepandan. Di pulau ini, tengah berlangsung lomba perahu tradisional.

Festival Danau Sentarum
lomba balap perahu tradisional
Mungkin, banyak yang belum tahu, jika Taman Nasional Danau Sentarum yang terletak di kabupaten Kapuas Hulu, Provinsi Kalimantan Barat ini, adalah  kawasan konservasi yang sekaligus merupakan sebuah kawasan ekosistem  yang unik. Danau ini juga salah satu perwakilan daerah hamparan banjir (floodplain) tersisa terluas di Indonesia bahkan di Asia Tenggara.

Danau yang dikelilingi oleh Pegunungan Muller di sebelah timur, Dataran Tinggi Madi di sebelah selatan dan Pegunungan Kalingkang di sebelah barat. Memiliki luas total kira-kira 6500 m2. Menariknya, hamparan danau ini, akan bisa dijelajahi dengan menggunakan sepeda motor kala musim kering. Biasanya, sekitar bulan Juli sampai September, kamu bisa memacu motormu di dasar danau. Dan bulan-bulan selanjutnya, dia akan tergenang lalu, woyla! Jadilah danau yang penuh daya pikat ini. itulah, mengapa ia disebut wetlands.

Festival Danau Sentarum
kapal pengangkut BBM ke kawasan Danau Sentarum
“bang Yudi, dari aceh kan? Belum pernah ke pulau melayu kan? Di sini kita sudah selesai, saatnya ke pulau Melayu. Nggak jauh bang, Cuma 10 menit dari pulau Sepandan” ajakan bang Toni membuyarkan padangan kosong saya, betapa bahagianya bila saya bisa memacu motor di dasar danau Sentarum ini.

Antara senang, dan miris. Saya mengernyitkan jidat. Memandangi speedboat yang seolah tersenyum. Oh tidak, pantat ini akan jadi korban lagi. Karena bang Toni, pasti akan melecut kuda tunggangannya agar melesat tak ragu. Hiks..pantatku, kawan...

Festival Danau Sentarum
Foto by Bang Inong sapta 
Good To knows :
Untuk menikmati kawasan danau Sentarum, kamu dapat menyewa boat di desa Lanjak. Carilah penambang (pawang boat) resmi. Mereka kini, sudah ada perkumpulan dan memiliki tarif resmi. Tergantung tempat dan tujuanmu.

Atau, kamu dapat menghubungi bang Toni, 085348159356. Adapun tarif sewa speedboat menjelajahi dua pulau terdekat, Pulau Sepandan dan pulau Melayu adalah sebesar Rp. 300.000.

Kamu juga bisa menggunakan boat kayu besar yang telah disediakan oleh pemerintah dengan tarif tiket perorangnya Rp. 5000,- boat ini berlayar seminggu dua kali dengan lama waktu atraksi adalah kurang lebih selama 2 jam.

Danau ini, merupakan habitat asli dari ikan Arwana Merah. 


Karena sifat uniknya, sudah sejak tahun 1999, kawasan Danau Sentarum ditetapkan sebagai kawasan Taman Nasional dengan luas lebih kurang 132.000 ha.


Festival Danau Sentarum

Menjemput Asa, Di Nias dalam Festival Yaahowu 2018

$
0
0
sumber foto : http://niasselatan.travel
"Yud, kamu tahu? di Pulau Nias ada suku Aceh. Mereka sudah lama bermukim di sana dan tak pernah menginjakkan kakinya di Aceh" Bang Abu Khaidir, Seorang photografer kawakan di Aceh, memberikan penjelasan singkat. Namun membuat saya begitu bingung. Benarkah?

Beberapa pria terlihat berdiri sebanjar. Siap melompati sebuah prisma segi empat berujung datar. Bangun ruang itu dibuat menyerupai batu. Tersusun rapi ke atas. Kemudian, pria paling depan yang berdiri sekitar dua puluh langkah dari batu buatan itu, berlari kencang. Melompat ringan bagai katak sakti yang menjulurkan kaki ke depan.

Hanya dalam hitungan detik, pria tersebut berhasil melewati batu setinggi dua meter. Teman-temannya yang semula berada di belakang, segera menyusul. Ritme lompatannya cepat. Ya, cepat sekali!

sumber foto : www.kompas.com/Barry kusuma
Begitulah atraksi fahombo atau lompat batu yang ditampilkan di Balairung Soesilo Soedirman, Jakarta, pada 25 juni 2018 lalu. Atraksi tersebut dalam rangka peluncuran Ya’ahowu Nias Festival 2018 yang akan berlansung pada 16 sampai 20 November nanti.

Saya melihat atraksi terkenal dari Nias itu dalam sebuah dokumentasi yang disiarkan oleh Kementerian Pariwisata Indonesia melalui akun youtubemereka.

Konon sejarahnya, lompat batu berfungsi sebagai tolak ukur buat menentukan pria dewasa yang sudah layak ikut perang. Bila mereka mampu melompati batu, maka mereka sudah layak ikut perang.

Kenapa harus melompati batu setinggi dua meter? Karena suku-suku di Nias waktu itu, membangun benteng untuk menlindungi wilayahnya dari perang antar suku. Seiring berakhirnya masa perang, lompat batu yang sering dilakukan guna menyeleksi pria dewasa, akhirnya menjadi tradisi.

Dalam perjalanannya, tradisi lombat batu yang unik ini, mulai dikenal masyarakat luas dan menjadi simbol budaya bagi masyarakat Nias.

Niat dalam hati membuncah, saya jadi tak sabar ingin terbang, dan melihat secara langsung dengan mata telanjang,  bagaimana pagelaran Ya'ahowu Nias Festival tahun ini! Apalagi, jika bukan demi melihat apa yang digambarkan pada uang seribu jaman saya Sekolah Dasar dahulu.  

Dari berberapa media daring yang saya ikuti, Dinas Pariwisata Kepulauan Nias menargetkan 50.000 (lima puluh ribu) wisatawan dari  dalam dan luar negeri. Selain itu, Ya’ahowu Nias Festival 2018 juga diniatkan sebagai strategi mendatangkan 1 juta wisman ke Pulau Nias hingga 2024.

Tarian yang akan dilaksanakan di Pulau Nias dalam acara festival Yaahowu 2018. sumber foto : kabarnias.com
Menariknya lagi, bapak Dr Hilarius Duha, , Bupati Nias Selatan, katanya ingin menjadikan festival ini sebagai modal kesatuan wilayah Kepulauan Nias untuk bersiap menjadi daerah otonomi baru. Yakni Provinsi Kepulauan Nias. Jadi nggak kebayang, gimana dahsyatnya Ya’ahowu Nias Festival 2018!, Seperti layaknya festival Sentarum yang lalu, tujuannya mirip-mirip. Jika Sentarum, diniatkan untuk merajut tali silahturahmi antar suku. Festival yang berarti Selamat Datang ini, ditujukan untuk memperkuat budaya antar suku yang ada di Nias. Ah, Indonesia memang...

Selain mempertontonkan tradisi lompat batu yang akan dimainkan oleh 100 pelompat batu, akan ada tari perang spektakuler loh. Tarian Fataele Nias judulnya. Berasal dari Desa Bowanatallio. Tarian perang ini menceritakan tentang perang antar suku yang memperebutkan wilayah.

 “Acara ini akan meneguhkan bahwa Nias tak kalah indah dari Bali, Lombok, dan tempat tujuan wisata lainnya di Indonesia,” saya menganggap, kalimat ini adalah harapan sekaligus benang pengikat dalam era milineal sekarang ini. Hal tersebut disampaikan oleh pak Wakil Bupati. Siapa sih yang tak ingin? Aceh, juga memimpikan hal yang sama. Nias, Sabang, Mentawai, Kupang, dan entar berapa provinsi lainnya di Indonesia.

hayoo...siapa yang dulu masa sekolah dasarnya bahagia banget dapat ginian? 

Indonesia, negeri yang besar ini, kaya akan budaya, sejarah, bentang alam, serta tradisi masyarakatnya, rasanya, amat sayang jika dibiarkan begitu saja. Dalam menuliskan tulisan ini pun, saya membayangkan keriuhan, kemegahan, dan sorak gembira para pengunjung tatkala pemuda suku yang ada di pulau Nias, melompati dinding batu, satu persatu.

Jika ada yang bertanya, apa sebenarnya keinginan terbesar saya, selain menyaksikan langsung atraksi lompat batu yang ada di pecahan uang kertas 1000 keluaran Bank Indonesia tahun 1992 itu, tiada lain adalah ingin berinteraksi dengan masyarakat local serta mengejar jejak Aceh yang terserak di Nias.

rundown acara festival Yaahowu tahun 2018
Kawan, dikabarkan, ada masyarakat yang bersuku Aceh di sana. Salah satu indikasinya adalah, nama mereka ditabalkan kata “Aceh” dan “Polem” di depan atau di belakang nama mereka. Ini menarik, nostalgia masa kecil dengan uang pecahan seribu di tahun 1992, berpadu dengan jejak sejarah serta budaya dari kampung halaman sendiri? Apalagi jika bisa terbang dengan pesawat (ehem-ehem) Garuda. Duh, lengkap sudah kebahagiaan..

Saatnya, merapalkan mantra, semoga mimpi ini, terwujud! Amien...








Musim Hujan Yang Romantis Di Banda Aceh

$
0
0
Wisata Di Banda Aceh

November musim penghujan, kawan. Banyak yang mengeluh tiap kali ingin berpergian jika telah masuk musim penghujan. Namun ada pula orang yang suka dengan aroma tanah basah ini. Kadang saya sendiri agak sukar memilih antara cuaca bersuhu panas, atau bernuansa romantis untuk sekedar traveling.

Lebih seringnya saya tak bermasalah dengan kedua kondisi ini. Bila ingin jalan, ya jalan saja. Toh, bila hujan turun atau panas terlalu terik, tinggal berteduh. Cari tempat yang asik untuk ngopi sambil baca atau tulis blog.

“Nikmat Tuhan mana lagi yang kita dustakan kawan.”

Pernah dengar kalimat bahwa hujan adalah rahmat bagi sekalian alam? Jika di negeri Serambi Mekah, hujan berarti rahmat bagi sertiap warung kopi. Apalagi di Banda Aceh. Musim hujan begini, manusia ke luar rumah hanya untuk berpindah dari satu warung kopi ke warung kopi. Soal musim basah, saya ingin berbagi beberapa tempat dan tips yang asyik bila kalian ingin menghabiskan masa romantis itu (September, Oktober, November, dan Desember) di Banda Aceh.

Warung Kopi

Warung kopi di Banda Aceh

Tempat berteduh. Pasti ke sana rujukannya bila kita diterpa hujan saat kala berpergian. Kalau kalian tengah berada di Banda Aceh, musim hujan bukanlah persoalan. Kalian akan menemukan banyak hal hanya di satu tempat.

Tiada lain tiada bukan, dialah warung kopi. Kemegahan ke dua di Aceh selain Masjid Raya Baiturrahman. Pasalnya, bagi generasi milenial macam saya (maksa hehe), warung kopi punya sejuta kontribusi dalam hidup. Mulai dari tempat berbagi, menghilangkan penat, tempat berkumpul, sampai tempat curhat. 

Hampir rata-rata, warung kopi di Banda Aceh, buka pukul tujuh pagi. Beberapa lainnya, ada pula yang buku pukul enam pagi. Target pasar yang buka pukul segitu, jamaah yang pulang sholat subuh. Mereka mampir untuk menghirup kopi pagi dan bercengkrama sebelum mulai beraktifitas seharian.

Meski namanya warung kopi, mereka menyediakan beberapa menu minuman lain selain kopi. Bahkan lengkap dengan menu makanan. Jadi, saat hujan, warung kopi di Banda Aceh, mampu memenuhi kebutuhan para pengunjung yang datang.

Warung kopi di Banda Aceh

Waktu bukanya yang lebih lama dari tempat destinasi wisata lainnya, dengan fasilitas lebih nyaman, membuat warung kopi di Banda Aceh sangat layak dikunjungi para wisatawan. Eits, bila sudah ke warung kopi, kalian akan menemukan banyak kejutan lho.

Terutama soal sekelompok manusia yang menghabiskan waktu seharian di sana. Dengan sebuah laptop, atau androidnya. Ada saja yang mereka kerjakan berjam-jam. Ditemani bergelas-gelas kopi.   

Bagi para pelancong yang merasa hujan menghambat niat traveling ke Banda Aceh, tak perlu khawatir lagi. Banyak pilihan wisata di negeri syariat ini. Termasuk warung kopi, dengan berbagai keunikan.

Nge-bandrek Sambil Makan Pisang Goreng  

Jika ada yang tak bisa minum kopi atau sesuatu yang berbau kafein, pilihan lain sebagai tempat berteduh bila sedang berada di Banda Aceh adalah Bandrek Pak Sen. Tempat minum bandrek dan makan pisang goreng ini.

Konsep tempatnya yang nyaman membuat pengunjung betah untuk duduk sambil ngobrol bersama teman, dan memesan beberapa gorengan kesukaan. Salah satu tempat alternatif berikutnya, bila sedang tak ingin minum kopi.
Wisata Di Banda Aceh
Bandrek Susu, dan Pisang Goreng pelipur lara kala hujan, makan berdua sama kekasih hati? beeuuuh
Bandrek Pak Sen, baru buka pukul tiga sore, hingga malam. Menu utama yang ditawarkan adalah bandrek original atau bandrek plus susu kental manis. Pisang goreng menjadikan Bandrek Pak Sen tak kalah menggiurka dari warung kopi.  

Kenapa saya menyebut satu nama, Bandrek Pak Sen? Karena Pak Sen itu, sudah buka beberapa cabang di Banda Aceh. Dan mudah menemukan alamat Bandrek Pak Sen di mesin pencari google. He..he…

Bukan itu alasannya. Bandrek Pak Sen memang enak kok. Enak di rasa dan ramah pula di kantong para traveler yang membawa buget pas-pasan namun tetap ingin merasakan sedikit unsur-unsur budaya di dalamnya.

Berwisata Sambil I’tikaf di Masjid

Wisata Di Banda Aceh

Kalau kamu muslim, melakukan pernjalanan musim hujan bukan hal besar. Tempat yang bisa dikunjungi adalah masjid. Selama lima waktu itu, kamu bisa mengunjungi masjid yang kamu suka selama berada di Banda Aceh.

Hujan adalah rahmat Tuhan. Rasanya bisa berlama-lama beribadah dan I’tikaf di masjid termegah di Aceh, yang sudah berdiri sejak masa kesultanan Aceh, merupakan sebuah keberuntungan. Berdoa saat hujan pun, dalam Islam sangat dianjurkan. Bagi yang belum dapat jodoh, bisa nih. Berdoa lama-lama di masjid Raya Baiturrahman, tahu-tahu keluar dari masjid dapat jodoh. #eh

Wisata Di Banda Aceh

Duh, bakal lain judulnya ini, “Berkah Hujan Penghantar Jodoh.” Hadeh…

Pertanyaanya, Gimana Caranya Nyampe Banda Aceh dengan Selamat Bang Yud?

Ups, saya hampir lupa. Ini yang terpenting. Baiklah, akan saya bagikan rute jalan sutra menuju Aceh paling gampang dan paling kece.

pegi pegi ke aceh

Pakai apa lagi pesan tiket mudah dan murah kalau bukan pakai pegipegi.com. Saat ini Pegipegi terhubung langsung dengan lebih dari 7000 pilihan hotel, memiliki lebih dari 20.000 rute penerbangan, serta lebih dari 1.60. rute kereta api dan Kereta Api Bandara (Railink) yang dapat kamu pesan melalui website dan aplikasi mobile Pegipegi.

pegi pegi ke aceh

Proses pemesanannya pun mudah. Dengan berbagi promo menarik dan berbagai pilihan metode pembayaran, mulai dari transfer bank, kartu kredit, hingga cicilan 0%. Ini kan yang penting? Oke, tunggu apalagi para travel yang belum nyampe Banda Aceh saat musim hujan. Jangan sampai harus nunggu tahun depan di ber-ber-ber berikutnya, baru dapat merasakan sensasi aroma basah di Banda Aceh dan sekitarnya.

Kalau beruntung, kalian akan bertemu saya di salah satu warung kopi di Banda Aceh pas musim hujan. 

Warung kopi di Banda Aceh

Menjajal Ombak di Pantai Sorake, Nias Selatan

$
0
0
Pantai Sorake, Nias Selatan

Pagi masih, keriuhan terjadi di depan Sosui Resort tempat saya menginap. Sebagian orang berusaha mendirikan tenda. Sebagian lainnya, memasang tiang dan net untuk pertandingan bola Voli Pantai. Dan, sebagian lainnya, sibuk meluruskan garis-garis yang akan menunjukkan jika lapangan bola voli akan berdiri sesaat lagi. Tak lama berselang, sebuah lapangan Voli pantai ekspres berdiri, lengkap dengan tenda dan kursi untuk para penonton.

Beberapa anak dengan papan selancar ditangannya berdiri mematung. Ikut hanyut dalam keriuhan pagi itu. Ada delapan belas tim yang tengah bersiap untuk adu smash, sedangkan sebagian para surfer dari mancanegara terlihat acuh tak acuh. Melenggang begitu saja, menjinjing papan selancar, lalu meluncur mengejar ombak yang berada di sisi timur lapangan tersebut.

Pantai Sorake, Nias Selatan
sayangnya, saya lupa menanyakan namanya hehe
“nggak biasa ada kek begini di pantai Sorake bang”, ujar seorang anak yang duduk sedari awal berdirinya tenda. Saya hanya mengangguk pelan. Berusaha mengerti ujaran yang keluar begitu saja dari mulutnya. Wajah dan kulitnya tak lagi putih seperti penduduk Nias pada umumnya. 

Ia, terlalu bersahabat dengan ombak di pantai ini. matanya yang sedikit sipit, rambutnya lurus kekuning-kuningan, wajahnya yang oval, dan logat bicaranya yang begitu unik, tetap menandakan bahwa dia, memang anak Nias Selatan, putra lokal yang begitu mencintai Surfing.

Ia tak sendiri, tapi ada beberapa anak-anak lainnya yang saya taksir berumur belasan tahun, bahkan ada yang masih dibawah 10 tahun. Menenteng papan surfing bak profesional. Beradu ketangkasan dengan para surfer yang datang dari berbagai mancanegara, langsung ke Sorake, Nias Selatan, hanya untuk bermain surfing.

Pantai Sorake, Nias Selatan
pertandingan Voli pantai ini masih dalam rangkaian Yaahowu Nias Festival (sumber : genpi.co/Rizki Poli)
Yaahowu! Pekik sang pembuka acara voli pantai. entah sudah berapa kali saya terkaget-kaget dengan pekikan yang menyerupai “Horas” dalam budaya batak. Nias dan Batak adalah dua hal yang berbeda. Walaupun, masih sama-sama merupakan bagian dari Sumatra Utara, perbedaan yang mencolok terlihat dari keduanya. Rumah adat, bahasa, budaya, pakaian, sampai bentuk wajah pun beda.

Tak lama, acara voli pantai dimulai di pasir putih pantai Sorake. Sedangkan, anak-anak yang sedari tadi menonton kesibukan para pekerja membangun lapangan ekspres voli pantai, kini tengah melarungkan diri ke tengah lautan. Bermain bersama ombak. Sambut menyambut, menikung sesuka hati, mengayuhkan kaki berkejaran dengan ombak yang satu persatu membulatkan diri. 

Pantai Sorake, Nias Selatan
Suasana penginapan di musim sepi (?)
“ini lagi nggak ramai bang Yud. Biasanya kalau lagi ombak tinggi, di sini akan susah kita dapatkan penginapan. Dimana-mana pasti penuh” ungkap bang Willy, guide saya selama di Pulau Nias. Pria yang mengaku lahir di Pulau Simeulue Aceh ini, akhirnya memilih menghabiskan sisa hidupnya di Nias Selatan. Tak ada lagi bahasa Aceh dari mulutnya, bahasa Simeulue pun patah-patah. Tapi, ia mengaku bangga masih bisa pulang ke Aceh beberapa waktu lalu. 

Langit tak menunjukkan tanda-tanda akan cerah. Panas terik bercampur awan mendung tipis telah menemani hari-hari selama di pulau Nias. Tak sekalipun menyurutkan semangat para bocah bermain surfing. Pun begitu dengan wisatawan mancanegara.

Pantai Sorake, Nias Selatan
gagal sunrise, tak apa. (sumber foto : https://www.instagram.com/yudha.pradhana)
Ombak yang berada tepat di penginapan Sosui ini adalah ombak Right, jadi masih cukup aman dimainkan oleh para pemula. Dan yang uniknya, untuk bisa bermain ombak di Pantai Sorake, kamu tak perlu berjalan jauh sampai ke tengah laut agar bisa menjajal ombak Nias yang terkenal di dunia ini. Cukup menyusuri jalan setapak yang telah dibangun oleh pemerintah setempat, lalu lewati tumpukan karang-karang, dan, taraa... silahkan bermain ombak sepuasmu, kawan!

Ada dua pantai yang menjadi tujuan wisatawan mancanegara di Pulau Nias. Pertama pantai Sorake dan satunya lagi adalah pantai Lagundri. Ketika angin timur mulai bertandang ke kawasan Nias Selatan, ombak yang ada di kedua pantai yang berdekatan ini, mampu mencapai 12 meter. 

Pantai Sorake, Nias Selatan
mereka beraksi! ( (sumber : genpi.co/Rizki Poli))
Maka, masuk akal apa yang dikatakan oleh bang Willy, jika musim surfing tiba, penginapan yang berada di sepanjang pantai Sorake, Lagundri, atau pun daerah sekitarnya akan full book. Menurut bang Willy, jika datang dan ingin melihat para pesurfing dunia, sebaiknya bookinglah kamar atau penginapan secepatnya. 

Hari kian siang, saya dan tim Genpi.co harus segera bergerak. Menyusuri keindahan lainnya dari Pulau Nias ini. rangkaian acara Ya’ahowu Nias Festival yang telah berlangsung selama hampir dua hari ini, terlalu sayang untuk dilewatkan terutama, Fahombo Batu! Yups, ada 100 (seratus) pemuda Nias Selatan yang akan melakukan Fahombo Batu tanpa jeda, alias Lompat Batu Tradisional Nias. 
Pantai Sorake, Nias Selatan
tetap asyik walaupun menjelang mendung
Siapa yang tak tertarik untuk menyaksikan salah satu kekayaan budaya Indonesia yang sempat diabadikan dalam uang kertas seribu rupiah edisi tahun 1992 ini? ah, terlalu sayang jika harus dilewati. Sudah jauh-jauh ke Nias. Walaupun badan meriang dan galau. Berkemas, kita maju jalan! Desa Bawomataluo, aku datang!

Pantai Sorake, Nias Selatan
 (sumber : genpi.co/Rizki Poli)




Sehari di Desa Bukit Matahari, Nias Selatan

$
0
0
desa wisata bawomataluo
“Pinggir! Pinggir! Pinggir semua!”

Teriakan pria-pria berbaju Baru Oholu semakin menjadi-jadi. Puluhan pria dewasa dengan perlengkapan perang melompat-lompat. Baluse (perisai) yang berada ditangan mereka, bergeretak tak henti. Pedang tajam diacungkan tinggi-tinggi. Tak hanya pedang atau Gari si so togo yang mereka acung ke atas, tapi ditangan mereka juga dilengkapi dengan Toho Balusa, atau tombak dengan pegangan berwarna hitam. Berujung cukup tajam dan runcing. Sasarannya, adalah jantung!

Kerumunan pendatang yang tadinya mengelilingi para pria perkasa tersebut, harus bubar. Memberikan jalan bagi arakan-arakan lengkap dengan senjata persiapan perang. Yang paling menarik adalah, cara mereka membunyikan Baluse atau perisainya. Perisai yang biasanya digunakan untuk berperang ini, terbuat dari kayu ringan. Pada pertengahan bagian bawah telah dilubangi dan diberi tempat pegangan. Pada bagian belakang terdapat ukiran ular. Beberapa diantaranya, ada yang membawa baluse peninggalan keluarga mereka turun temurun. 

desa wisata bawomataluo
para penggiring Famadaya Harimao

Mereka akan mengantukkan perisai tersebut ke lengan mereka. Lalu keluarlah bunyi, buk..buk..buk.. bunyinya padat, dan membuat siapa pun yang mendengarnya akan mengercitkan hati. Lalu berjalan menjauh. 

Pria-pria ini, membentuk barisan yang cukup rapat dan padat. Untuk bisa menembus kebagian tengahnya, terasa begitu sulit. Sepintas, mereka membentuk lingkaran per lingkaran. Lingkaran pertama, terdapat para prajurit lengkap dengan kalabubu, kalung pelindung leher, serta tombak. Lingkaran kedua, terlihat pakaiannya semakin lengkap. Tak hanya memakai pelindung leher, mereka juga memakai Oroba si’oli, baju besi. Namun di lingkaran ketiga, beberapa pria lebih muda, bertelanjang kaki dan dada, bersama-masa memanggul patung berbentuk harimau. 

famadaya harimao

Famadaya Harimao, begitulah masyarakat Nias menyebutnya. Ini adalah tarian yang biasanya dilaksanakan per tujuh tahun sekali. Dahulu, tarian ini digunakan untuk menyucikan keadaan desa dari berbagai penyakit dan marabahaya. Pelaksanaan Famadaya Harimao hari itu bukanlah dalam rangka peringatan tujuh tahun sekali, melainkan merupakan rangkaian dari Ya`ahowu Nias Festival 2018. Ini, ialah acara puncak dari festival tersebut! 

Hari itu, siang terik, namun, gerimis mengundang sesekali. Tapi tak membuat keriuhan berhenti begitu saja. Pagelaran pamungkas baru saja akan dimulai. 

desa wisata bawomataluo
tarian perang nias, Maluaya atau Faluaya

Para pemuda yang sedari tadi ikut mengarak replika patung harimau, mulai berdiri berjejer. Mengambil jarak, memasang kuda-kuda. Menanti aba-aba dari tetua desa. Tak lama, para penonton mulai menggila. Pemuda-pemuda gagah tersebut berlari sekuat tenaga, lalu melompati batu yang tersusun meninggi sampai 2,25 meter. 

Menariknya, tak berhenti di satu pemuda, melainkan beberapa pemuda lainnya juga mengambil bagian. Terjadilah pemandangan yang spektakuler. Pemuda desa Bawomataluo (Bukit Matahari), meloncati batu tua yang terletak persis di sisi depan rumah Omo Sebua, secara sambung menyambung. Saya? Hanya bisa berdecak kagum. Menahan nafas setiap kali harus menekan shutter kamera. 

Banyak orang yang mengatakan, jika budaya lompat batu tradisional Nias ini, adalah pembuktian agar si pemuda Nias boleh menikah karena dinyatakan telah dewasa. Namun, sebenarnya, hal tersebut tak sepenuhnya benar. 

desa wisata bawomataluo
Fahombo Batu Nias, lompat batu tradisional Nias. 

Menurut penuturan Nitra, teman saya yang kebetulan juga adalah putri asli dari desa Bawomatulo, budaya turun-menurun ini sebenarnya sebagai ajang pembuktian diri. Jika mereka, sudah layak ikut berperang demi membela sukunya. Iya, sebenarnya budaya yang pernah diabadikan dalam uang pecahan seribu rupiah tahun 1992 ini, adalah bagian dari persiapan perang suku Nias. 

Jika menilik literature sejarah, apa yang dikatakan oleh Nitra, benar adanya. Suku nias, dahulu dikenal sebagai suku yang sangat suka berperang. Baik antar suku, melawan penjajah Belanda, ataupun melawan invasi-invasi dari luar pulau. Saking seringnya mereka dahulu terlibat dalam peperangan, masyarakat Nias mampu mengembangkan sebuah budaya perang. Mereka mampu membangun pertahanan dan membuat senjata sendiri. 

desa wisata bawomataluo
bapak ini, masih semangat untuk mengikuti seluruh rangkaian pameran budaya di desanya.

Bahkan, para pemuda-pemuda di Nias dibesarkan untuk menjadi prajurit yang ganas dan pelatihannya dimulai dari usia dini. Sebagai hasilnya, Nias memiliki pejuang-pejuang yang kuat, ahli pembangunan, dan pandai besi. Tak heran jika dahulu, setiap desa dan suku membangun bangunan yang begitu strategis dalam peperangan lengkap dengan pagar batu yang rata-rata tingginya 2 meter. Hal inilah yang mendorong budaya lompat batu menjadi begitu melekat pada pemuda Nias. 

Saya sempat menyaksikan bagaimana anak-anak usia belasan tahun bahkan ada yang masih berusia 10 tahun diajari melompat batu. Sorak-sorakan semangat bersahut-sahutan. Tak ada kata-kata yang merendahkan semangat mereka. Sampai satu-persatu anak-anak tersebut mampu melompati pembatas kayu yang disediakan oleh para orang dewasa. Tak heran, jika akhirnya, ketika mereka dewasa, melompati tembok batu setinggi lebih dari dua meter adalah keniscayaan bagi mereka. 

desa wisata bawomataluo
yaks! inilah cara mereka belajar melompat batu

Berbicara budaya perang orang Nias, saya jadi teringat sebuah fakta sejarah. Saking pintarnya mereka melompat batu, menombak dan berperang, Sultan Iskandar Muda (sultan kerajaan Aceh 1606-1636) pernah menggunakan jasa pejuang Nias dalam setiap invasi perangnya di Selat Melaka. Dari sini pula, hubungan Aceh dan nias berlangsung. 

Di Pulau Nias sendiri, akan ditemukan orang-orang yang beragama islam bersuku “Polem”. Mereka lah orang-orang Aceh yang kini menjadi satu dalam satu kesatuan dengan Nias. Sebagian besar dari keturunan mereka ditemukan di desa Mudik dan juga di To’ene, tak jauh dari Teluk Dalam, Nias selatan. 

Makam Pahlawan Nias, Saonigeho 

desa wisata bawomataluo
in frame, Aci team Genpi.co mencoba menyusuri pemakaman kuno Desa Bawomataluo

Puas menyaksikan Fahombo Batu dan Famadaya Harimao, saya diajak oleh Nitra, untuk bermain ke komplek pemakaman kuno masyarakat desa Bawomataluo. Menariknya, sebelum sampai ke areal pemakaman desa, Nitra mengajak saya menyambangi makam pahlawan negeri ini, sekaligus pahlawan kebanggaan masyarakat Nias, khususnya bagi Dewa Bawomataluo. Makamnya sederhana, namun, bentuk kepala menyerupai Naga atau disebut Lasara pada makamnya, menunjukkan kedudukannya yang tinggi. 

Di sebuah prasasti, saya menjumpai informasi yang menyebutkan sepintas siapakah sang pahlawan Nias ini. Namanya, Saonigeho atau Silebah Pohon Beringin. Saonigeho adalah Si’ulu (pimpinan tertinggi) generasi kedua yang memerintah di Bawõmataluo setelah Si’ulu Laowõ. Ia mampu mengusir penjajah belanda yang berusaha merangsek masuk ke desanya dan Nias.

desa wisata bawomataluo
Makam Pahlawan Nias, Saonigeho 

Tercatat, ia berjuang mengusir belanda pada ekspidisi belanda pada tahun 1847, 1853, 1856, 1863 dan terakhir pada perang Hiligeho 1908. Dengan menyerahnya sang Si’ulu. Tak lain dan tak bukan, ia menyerahkan diri demi menyelamatkan harta yang termahal dari Nias. Yaitu Desa Bawomataluo dari pembakaran oleh pasukan Belanda dan pembantaian penduduk Nias itu sendiri. 

Karena jasanya lah, kita masih bisa menyaksikan desa adat Bawomataluo. Berdiri anggun di bukit Matahari, membentang dengan empat penjuru angin. Menjadi sebuah benteng alami. Menjadi sebuah pembuktian perjuangan besar yang selaras dengan besarnya tiang-tiang rumah adat desa. Dan, Omo Nifolasara yang lebih dikenal omo Sebua, Rumah besar. Adalah rumahnya sang pahlawan itu sendiri. 


Desa wisata Bawomataluo
suasana desa, sudah, jangan bahas tiang listriknya :D
Desa wisata Bawomataluo
Suasana dalam rumah penduduk desa Bawomataluo
anak ilang, yang sempat meragu melangkahkan kaki ke Nias


Hari menjelang sore, rentetan acara mulai selesai. Satu persatu tamu yang datang mulai memilih turun dari desa. Saya dan rekan seperjalanan juga harus mengikuti keadaan. Mendung menggulung, menyiratkan tak ada senja yang akan datang di sore terakhir saya di pulau Nias. Namun, secercah semangat membuncah dalam dada. Tak ada perjuangan yang tak membuahkan hasil manis. Ini, adalah pelajaran yang saya dapatkan dari perjalanan kali ini. berhenti? Bukanlah sebuah jawaban...

Mengejar Sunset Di Pantai Baloho, Nias Selatan

$
0
0
Pantai Baloho, Nias Selatan

Lelah bergunung, peluh kering sudah. Namun, perjalanan belum berakhir. Laju kenderaan dari desa Bawomataluo cenderung tak bergerak. Macet tak terperikan. Jalanan desa yang sempit tetiba penuh sesak dengan ribuan orang, raturan kenderaan bermotor. Saling rapat, saling senggol, saling klakson, namun, tetap berusaha menggapai keleluasaan.

Saya dan tim genpi.co terpaksa memutuskan pulang sesegera mungkin, sesaat setelah perhelatan famadaya harimao berakhir. Tadinya, saya berharap dapat melihat sunset di bukit Matahari. Namun, mendung tak mau pergi dari ufuk barat.

Bang Fito, Pasha, Rizki, Yudha, Ivan, dan Aci, akhirnya sepakat. Kita balik ke penginapan. Istirahat, buang penat, packing, siap-siap besok kembali ke peraduan masing-masing. Saya? Tak mungkin tak mendukung ide banyak orang. Walaupun masih terasa sedikikt kurang.

Pantai Baloho, Nias Selatan

Bagaimana tidak, Sunrise tak dapat, padahal penginapan kami yang berada di pantai Sorake, tepat menghadap ke timur. Namun, cuaca mendung tak karuan selama trip ke Nias Selatan. Senja? Hampir senasib sepenanggungan dengan arunika. Hampir tak ada celah untuk mentari menampakkan keanggunan sinarnya.   

“bang Willi, bagaimana kalau kita ke Baloho dulu? Kan dekat sama penginapan, santai sore saja dulu di situ” Saya mencoba memberi masukan kepada driver yang setia menemani hampir 4 hari belakangan. Kapan lagi? Tugas liputan sudah selesai. Impian menggapai Nias melihat Fahombo Batu, tlah menjadi kenyataan. Yang kurang hanyalah lekuk sinar mentari di pulau yang terkenal dengan destinasi surfing ini.

Pantai Baloho, Nias Selatan

“Ah, boleh juga, dari pada kita duduk di penginapan saja kan? Siapa tahu bisa lihat sunset di sana, kan?” jawabnya mengiyakan permintaan saya. Dan, tim lainnya mengangguk tanda setuju. Dari pada di Sorake lagi?

Pantai Baloho, memang tak terkenal layaknya pantai Sorake, atau Pantai Lagundri. Ketiganya masih dalam kawasan kabupaten Nias Selatan. Pantai Baloho sangat berbeda dengan pantai lainnya. Jika di Sorake kamu bisa bermain Surfing dengan ketinggian ombak sampai dengan 12 meter pada musim angin tertentu. Dan begitu juga dengan pantai Lagundri. Namun, Baloho, adalah kebalikan dari keduanya. Tak ada ombak di sini.

Pantai Baloho, Nias Selatan

Pantainya berteluk. Sejatinya, ia lebih mirip danau dibandingkan dengan pantai pada umumnya. Di sini, benar-benar tenang. Hanya bibir pantai yang genit bermain dengan pasir putih yang tersisa. Di sisi utara, nyiur berderet menyusun bak pagar. Satu dua nelayan hanya duduk santai menunggu hari terang berubah menjadi gelap. Senja, tak lama lagi datang.

Tak banyak pengunjung di sini, walaupun di pinggir pantai, ada beberapa penginapan dengan tempat yang mumpuni. Awalnya saya sempat bingung, kenapa pantai begini bagus tapi sepi pengunjung?

“Abang ke Baloho? Ngapain bang? Nggak ada apa-apanya pantai itu bang. Mendingan ke lagundri bang!” beginilah tanggapan yang saya dapatkan kala saya mengutarakan kalau saya ingin balik lagi ke Baloho setelah acara Pembukaan  Ya’ahowu Nias Festival beberapa hari sebelumnya.

Pantai Baloho, Nias Selatan

Adalah Gregory dan kawan-kawan sepantarannya, merekalah yang memberikan pernyataan tersebut. Menurut anak-anak yang masih duduk kelas 2 Sekolah menengah atas ini, pantai itu tak lebih bak pantai mati. Tak ada pengunjung, sepi, sunyi, dan tak menarik karena tak berombak. Saya tak bisa mendebat mereka. Apa yang mereka katakan, mungkin benar adanya. Bagi mereka, anak-anak yang terlahir di daerah seindah Nias, serta selalu bergelut dengan deru gelombang pantai Sorake, maka Pantai Baloho tak ada apa-apanya.

Apa yang terlihat biasa saja bagi kita, belum tentu bagi orang lain. Begitulah yang selalu saya pahami. Saya mencoba menunjukkan foto dari udara yang sempat diambil oleh Ivan sehari sebelumnya. Dan, mereka semua termenung. Memandang tak percaya. Berkali-kali mereka menanyakan, “ah yang benar saja bang, masa itu Baloho?” Gregory, seolah menjadi ketua suku dalam rentetan pertanyaan tersebut. Saya, hanya tersenyum. 

Yudha, pemuda  bertubuh jangkung, masih sibuk dengan bola biliar sasarannya. Sesekali terdengar tawa, sesekali ia mengeluh. Bola sembilannya, tak masuk ke lubang. Sesaat kemudian, ia lari tergopoh-gopoh mengambil kamera, mencampakkan kaca mata hitamnya. Hampir-hampir lemon tea hangat saya tumpah dibuatnya. Tak peduli, ia melihat ada semburat senja di ufuk barat.

Pantai Baloho, Nias Selatan

Di antara pekatnya mendung, cahaya keemasan yang dipancarkan mentari terpantul cantik di atas air laut yang tenang. Tak mengapa mendung menyapa, namun tak berarti hujan. Mungkin tak sempurna, tapi, pencarian akan senja mau tak mau harus diakhiri. Saya menyudahi suapan mie instan, ikut berlarian mengejar senja yang tak lama akan tenggelam.


Mentari sore itu, bak pelita yang menyala dalam kegelapan dan kemelut mendung. Namun semburat yang kuat membuat hati-hati yang lelah kembali ceria. Tak lama memang, namun cukup mengisi relung cerita yang kosong. Tak cukup memang, namun paling tidak, ada senyum yang keluar sore itu. Sayup-sayup ia menghilang ditelan awan dan hujan gerimis. Saatnya menyiapkan diri untuk kembali pulang kampung. Saya, menitip rindu pada pantai ini. siapa tahu, kelak, bisa mengunjunginya lagi untuk memenuhi hasrat mengejar senja. 

Pantai Baloho, Nias Selatan

Pantai Baloho, Nias Selatan





How To Nias Selatan :

Udara
Jarak tempuh menuju Kepulauan Nias berkisar 45 menit dari Bandar Udara Internasional Kualanamu (Medan) - Bandar Udara Binaka (Nias) dengan harga tiket antara Rp 400.000 s/d Rp 700.000.

Darat
Dari Kota Medan menuju Kota Sibolga berkisar 10 jam dengan mengendarai Jasa Angkutan Darat seperti Taxi, Mini Bus dll harga tiket sekitar Rp 120.000

Dari Kota Medan menuju Kota Pelabuhan Aceh Singkil berkisar 8 jam dengan mengendarai Jasa Angkutan Darat seperti Taxi, Mini Bus dll harga tiket sekitar Rp 120.000

Laut
Sesampainya di Pelabuhan Sibolga, perjalanan laut menuju Pelabuhan Gunungsitoli dapat memakan waktu 10 jam dengan menggunakan Kapal Penyeberangan dengan harga tiket sekitar Rp 80.000 s/d Rp 130.00. Kapal ini beroperasi setiap hari dengan jadwal keberangkatan Malam dan sampai di Gunungsitoli pagi hari.

Dari Pelabuhan Aceh Singkil dapat menyeberang dengan menggunakan kapal penumpang yang beroperasi 2 kali seminggu yaitu hari Selasa dan Kamis. (sumber google)

Alron Hotel Kuta Bali, Hadiah Terakhir Dari Sahabat Di Dunia Maya

$
0
0
Alron Hotel Kuta Bali

Gajah mati meninggalkan gading, harimau mati meninggalkan belang, manusia mati meninggalkan nama

Benarlah apa yang diucapkan oleh pepatah tersebut. Tak tersisa sedikit pun dari seorang manusia kecuali namanya saja. Jika ia baik, maka selamanya, kebaikannya akan menjadi pengingat dirinya. Begitu pun kebalikannya.

Berat sekali ketika ingin menuliskan review  salah satu hotel yang pernah saya inapi ketika travelling ke Bali tahun lalu bersama keluarga. Lama sekali, menimbang-nimbang untuk menuliskannya. Membuka kesedihan lama, terkadang menjadi dilema. Namun di sisi lain, tak ingin memendam kebaikan orang begitu lama untuk diri sendiri.

Terkadang, kita lupa, kita besar karena siapa. Ada andil siapa, dan ada kebaikan orang lain dibalik semua cerita indah hari ini. Begitu juga dengan cerita perjalanan blog sederhana ini, serta perjalanan saya dan keluarga ke Bali, pada tahun lalu. Siapa yang “gila” berani melangkah kaki ke Bali bawa keluarga dari ujung sumatra? Kecuali mereka yang benar-benar mampu dan sanggup. Tiket tidak murah. Hotel, apalagi. Belum lagi biaya lainnya. Namun, cerita akan lain, ketika ada andil banyak pihak didalamnya.

Salah satunya adalah bang Moechammad Adi Mariyanto. Kalian akan lebih mengenalnya dengan panggilan kak Cumi atau pemilik blog www.cumilebay.com. Hari itu, sesaat sebelum saya ke Bali, ia sempat menawarkan bantuan. Bahasanya simple dan sederhana saja,

“Bang Yud, mau ke Bali ya? Ini sama gw ada banyak voucher hotel. Gw kasih free buat lo sama keluarga dan lo baru saja ulang tahun, kan? Anggap saja ini sebagai hadiah buat lo Ultah”

Pesannya di akun sosial media pribadi saya. Dan percakapan kami pun berlanjut ke aplikasi whatsapp. Ya Tuhan...padahal tak sekalipun saya dan dirinya bertatap muka ataupun kopi darat. Selama ini, kami hanya berteman melalui dunia maya saja.

me and my little family, foto taken by @virustravelling
Singkat cerita, hari yang dinanti tiba, ia memesankan saya satu kamar di Alron Hotel Kuta, Bali. Alasan saya memilih hotel tersebut, ya sederhana saja. Dekat dengan bandara Ngurah Rai. Mengingat saya tak terlalu paham lokasi di Bali, dan, jadwal menginap di hotel tersebut, juga berdekatan dengan jadwal pulang kembali ke Banda Aceh. trauma karena sering ketinggalan pesawat, saya tak mau mengambil risiko. Jadilah menginap di Alron Hotel Kuta yang jaraknya ke bandara hanya sekitar 15 menit. 

Review Alron Hotel Kuta Bali

Berhubung, ini hotel dipilihkan oleh bang Cumi, jadinya saya tak ada ekspektasi apapun terhadap hotel tersebut. Yang penting bisa tidur, anak-anak nggak rewel, dan dekat bandara. Sudah begitu saja. Namun, siapa sangka yang hotel dengan desain bangunan ala-ala gedung putih Amerika ini mampu membuat saya dan keluarga cukup nyaman dan aman.

Saya sempat harus menambah jadwal staycation di hotel ini karena salah memperhitungkan tanggal keberangkatan pulang. Sempat bingung juga, sampai akhirnya saya dan istri memutuskan untuk menambah satu hari lagi menginap di hotel ini. Dan, betapa kagetnya saya ketika saya mengetahui jika harga menginap semalam di hotel ini, cukup MURAH!

swimming pool, foto by google
Hotel ini, tergolong hotel dengan bintang 4, tampilan dalam dan luarnya asyik. Tapi harganya? (terakhir cek sekitar Rp 307.000 permalam) hanya Rp. 290.000 an. Murah gila! Siapa yang tak tertarik jika sudah bicara harga murah meriah mantap begini? Terlebih lagi untuk blogger kere semacam saya. Dari pada saya harus memilih pindah kamar hanya untuk satu malam lagi, bukankah lebih baik ekstend satu malam lagi di hotel yang sama? Tak perlu repot angkat-angkat koper, tak perlu pindah hotel lagi. Cukup di sini saja.

Ah, harganya doang yang murah kali, fasilitas tak seberapa. Tunggu dulu, bagaimana kalau saya katakan di sini ada kolam renang yang layak dan cukup bersih serta aman untuk anak-anak saya? Ziyad dan Bilqis juga tak berkenan saya memilih hotel lain. Alasannya, simple, di sini ada kolam renangnya. Kamar mandinya luas namun tetap ekonomis.

Kamarnya cukup luas, mengingat saya memboyong satu keluarga lengkap dengan balita yang kalau tidur suka menjajah luasan tempat tidur. Kamar yang dominan warna putih ini, membuat anak-anak saya bebas berkreasi dan merasa sangat homey. Ini, saya anggap cukup penting, mengingat saya membawa anak-anak dengan kelakuan bak ulat nangka. Bergerak tanpa henti, dan bisa meributkan sesuatu saat mereka merasa tak nyaman. Yups, sebenarnya saya adalah ayah yang cukup pemilih. Beruntung saja, tatkala dipilihkan hotel ini oleh Alm Bang Cumi. Seolah semuanya menjadi begitu sempurna dan pas.

Alron Hotel Kuta Bali

Privasi cukup terjaga. Ini pun menjadi point penting kala saya memilih penginapan. Terutama hotel. Ya, walaupun tak menjadi prioritas utama, namun tak bisa dipungkiri hal ini terasa menjadi sebuah pelengkap dalam setiap travelling ke luar kota, kan? Saya punya pengalaman tak enak, ketika menginap di suatu hotel di suatu daerah, pintu kamar saya diketuk oleh yang tak dikenal. Pas di buka, dia bilang kalau dia salah orang. Asem kan? Mana ngetuknya jam 7 pagi!

Hotel boleh murah, namun, siapa sangka di sini juga dilengkapi pintu terkunci otomatis dari lobby menuju ke lift untuk ke kamar. Hanya tamu yang terdaftar secara sah dan pemilik kunci kamar saja yang bisa mengakses pintu tersebut. Iya, ini hotel dengan low budget, tapi bintang 4. Begitulah...

Selain dekat dengan bandara Ngurah Rai, ternyata saya baru ngeh jika hotel ini juga cukup dekat dengan beberapa area publik. Yang pasti, pantai Kuta, , pantai Legian, Discovery Mall, Joger, Nongkrong di Club malam Bali dan surfing di pantai Kuta, ketika budget terbatas namun ingin bergaya di bali, ya kamu cocok untuk staycation di sini.

Alron Hotel Kuta Bali

Oh iya, kebetulan, saya mendapatkan kamar superior yang berada di lantai paling atas. Kamar ini, akhirnya menjadi kamar favorit Bilqis dan Ziyad. Pasalnya sederhana. Jendela kamarnya bak jendela loteng rumah-rumah di Amerika sana. Ini menambah jajaran unik dari Alron Hotel.

Murah, biasanya pelayanan tak maksimal? Hmm.. bisa iya, bisa tidak. Mengapa? Karena saya hanya bisa memberikan penilaian itu kepada semua pembaca yang akhirnya memutuskan untuk menginap di sini. Saya sendiri, cukup terbantu dengan staf hotel yang bersedia mencarikan motor sewaan. Tapi jika kamu bertanya mengenai pelayanan resepsionis, jujur saja. Saya sempat merasa kurang sreg.  Ketika saya harus menggeret sendiri koper-koper menuju ke kamar. Yang kebetulan, saya tak tahu di mana posisi persisnya. Jadilah sedikit berputar-putar ketika mencari kamar yang berada di lantai loteng tersebut. Selebihnya? Ya asyik-asyik saja. Toh, kita harus berdamai dengan harga, kan?

Begitulah, tatkala saya menuliskan tentang hotel ini, saya tak bisa memisahkan bang Cumi darinya. Tak pernah jumpa sekalipun, namun terasa begitu dekat. Hingga akhirnya, kabar duka datang melalui laman sosial media. Tepat di 5 Maret 2017, dunia blogging Indonesia berduka. Begitupun dengan istri saya yang menangis sampai terisak-isak. Pun saya. Kami hanya bisa diam tak bergeming seharian. Karena, kebaikannya lah, kami dapat hotel sebegini bagus. Dan, ke Bali juga dalam rangka untuk bertemu dengannya untuk pertama kali. Manusia hanya bisa berencana, hanya Allah jua yang menentukan takdirnya.

Akhirul kalam, Ya Tuhan, aku bersaksi, sesungguhnya, ia adalah orang yang baik, terimalah ia dengan segala kebaikannya. Bahagiakanlah ia, layaknya ia membahagiakan aku dan keluarga kecilku!

Pesan Hotel melalui Pegipegi.Com

Ya, di hari terakhir di Bali, saya akhirnya memesan kamar hotel via pegipegi.com. jawabannya, lagi-lagi sederhana. Mudah, dan cepat. Tak perlu repot. Baik ketika kamu cashless di rekening, kamu tetap bisa pesan via kartu kredit.

Alron Hotel Kuta Bali,

Cukup murah, menurut saya. Terlebih lagi ketika kamu suka dengan mencari hotel di last minute. Atau, bagi kamu yang suka mengejar harga hotel promo, ya di pegipegi menyediakan banner khusus untuk hal tersebut.

Proses pemesanannya pun mudah. Dengan berbagi promo menarik dan berbagai pilihan metode pembayaran, mulai dari transfer bank, kartu kredit, hingga cicilan 0%. Ini kan yang penting. just for your information, Saat ini Pegipegi terhubung langsung dengan lebih dari 7000 pilihan hotel, memiliki lebih dari 20.000 rute penerbangan, serta lebih dari 1.60. rute kereta api dan Kereta Api Bandara (Railink) yang dapat kamu pesan melalui website dan aplikasi mobile Pegipegi.
Alron Hotel Kuta Bali
tuh kan? cuma 300 ribuan padahal bintang 4 lho

Cara pesannya bagaimana? Cara pesannya bagaimana? Ah, Mudah kok. Proses pemesanannya hampir sama dengan aplikasi laiinya. Yang beda adalah aplikasi ini nggak ribet dan banyak diskonnya. Intinya, semakin rajin kamu mantengin aplikasi tersebut, semakin mudah kamu menemukan harga yang cukup nyaman di kantong.  See ya...

Tsunami Aceh Tak Membuatnya Berhenti Menunggangi Ombak

$
0
0

“Yak..kamera...rolling..action!”

Teriak seorang wanita berambut panjang dengan kulit yang mulai terbakar matahari. Raut mukanya serius. Lengan kanannya masih berbalut perban bekas operasi tulang patah. Tak sedikitpun menyurutkan kesungguhannya dalam liputan. Sesekali, ia meringis menahan nyeri dari lengannya yang sakit. Sesekali, terlihat ia mengecek hasil shoot-nya. Lalu;

“Don..ulang lagi, Don..kaku kali kau ini!” Adon semakin salah tingkah. Pria yang bertubuh jangkung, raut wajahnya terlihat seperti bule terlalu lama berjemur. Kemerahan. Tersengat matahari pagi menjelang siang. Di langit Lampuuk, Aceh Besar. Tempat di mana 14 tahun lalu porak-poranda tak berbekas diterjang oleh Ombak Tsunami.

Satya Winnie seolah tak peduli. Video harus jadi. Adon disuruhnya berulang kali. Teriakan “Cut” Camera Rolling Action” berulang-ulang. Berkali-kali. Tanpa ampun, tanpa jeda. Adon tersenyum, semringah dia. Bak punuk yang mendapatkan bulan. Lalu cerita menjadi lain tatkala kita berbicara kejadian yang menimpanya di belasan tahun lalu.


“Saya terlalu cinta dengan pantai Lampuuk ini Bang! Walaupun hampir seluruh anggota keluarga meninggal di ambil oleh laut ini!”.  Saat saya menanyakan mengapa ia tetap memilih laut sebagai sumber kehidupannya.

Wajahnya terlihat begitu tegar. Menceritakan kejadian saat Tsunami lalu. Siapa yang tak terkoyak hatinya tatkala ditanya tentang tragedi paling memilukan di abad ke 21 ini. Saya sendiri, sebenarnya begitu malas menceritakan betapa pilunya kejadian itu bagi saya dan keluarga. Tragedi tetaplah tragedi. Ia telah menjadi bagian sejarah dari dunia ini. Ratusan ribu orang meninggal, lalu, netizen yang maha benar mengatakan jika itu karena kesalahan manusia yang mati tersebut? Ratusan ribu? Serius? Berdosa semuanya? Situ sehat?

Namun tidak bagi Ikhsan Jamaludin. Tubuhnya tinggi menjulang. Berkulit putih, persis seperti bule bule dari belahan Eropa. Lelaki ini, lebih dikenal dengan panggilan Aduen atau Adon. Yang berarti abang dalam bahasa Aceh.

ketika musim surfing tiba, maka kawasan ini akan dipenuhi surfer dari luar negeri
Cerita mulai mengalir. Kami, mulai memasuki lorong waktu. Mundur ke belasan tahun lalu. Rumah Adon, hanya berjarak sekitar 2 menit dari bibir pantai. Begitu dekat. Dan hari itu, desanya rata dengan tanah. Tak terkecuali rumahnya. Seluruh sanak keluarganya, hilang tak berbekas. Hanya ia dan abang kandungnya saja yang selamat dari musibah itu.

Keterpurukan seolah tak bertepi. Namun ia, harus bangkit. Kecintaannya akan laut dan surfing menjadi pemicu untuk kembali bergerak. Ia tak ingin melihat lautnya sunyi tak bertuan. Ia tak ingin melihat air mata mengalir tanpa henti. Tak sudi kehilangan hobi masa kecilnya yang selalu bermain surfing sehabis pulang sekolah dasar, ia memutuskan untuk memulai kembali.

Masjid Lampuuk setelah tsunami dan masa kini ( sumber : https://www.dailymail.co.uk)
Titik awal, tahun 2007, ia mendapatkan bantuan pelatihan menjadi salah pelatih surfing di Aceh. sekembalinya ke aceh, ia seolah tersuntik semangat baru. Memulai kembali bermain di pantai yang dicintainya sepenuh hati. Perjalanan tak mulus, namun ia tak gentar.

Satu persatu, pemuda lampuuk diajaknya kembali untuk meramaikan laut. Ketika orang lain sibuk dengan duka, ia mulai mengakali diri untuk bersuka ria. Ketika orang lain sibuk dengan kegiatan NGO, ia sibuk belajar mengasah papan surfing bersama abang kandungnya. Hingga akhirnya, tahun 2011, Lampuuk Surf School berdiri. Di bawah asuhannya sendiri.

warung sekaligus sekretariat sekolah surfing
Laut yang dahulu merengut keluarganya, tak membuat Adon membencinya. Sekolah ini, kini berdiri dengan kemampuan yang cukup mumpuni. Papan surfing yang dimilikinya tak sedikit. Workshop papan pun kini dipunyainya. Sesekali, ia merentalkan papan surfingnya untuk para wisatawan asing. Ataupun lokal. Tentunya dengan harga yang berbeda.

“Dooon...Langitnya udah cerah lagi itu! Cepat kau ambil papanmu, kita ambil gambar lagi. Main kau sana” Teriak Satya dengan logat bataknya yang khas dari balik kerimbunan pokok cemara laut yang tinggi menjulang. Tergopoh-gopoh Adon dibuatnya. Ia berlari dengan gembira. Begitu bahagia. Seolah laut tak membuatnya trauma.


Dibopongnya papan surfing kebanggaannya. Lari ia menyongsong ombak. Dan tak lama, bagaikan tersihir oleh gelombang yang datang. Ia mulai memacu papan yang mirip sirip hiu itu seenak hatinya. 

Meliuk-liuk dia di atas punggung ombak musim angin timur itu. Tak hanya sekali, berkali-kali. Acap kali ia berlabuh ke tepian, setiap itu pula ia berlarian lagi ke tengah. Dikayuhnya papan itu. Mulai. Begitu terus. Sampai akhirnya hari menjelang sore. Dan, Satya pun memilih untuk beristirahat.


Ia mengakui, surfing di Aceh terkesan begitu janggal. Banyak orang yang meragukan untuk berwisata ke Aceh. terlebih lagi yang berhubungan dengan atraksi wisata di pantai. bagi Adon, itu bukanlah halangan namun tantangan untuk membuat Lampuuk-nya kembali ramai seperti dulu. 

Dan, sekolah Surfing serta bermain surfing adalah salah satu atraksi wisata yang dapat kamu jejali selama di Aceh.

Tsunami telah berlalu, tangis kini berganti tawa. Lampuuk mulai ramai tak bertepi. Memayungi geliat ekonomi daerah sekitar. Tak hanya berhenti sampai di Sekolah Surfing, Adon juga terlibat langsung dalam konservasi Penyu.


“Kecintaan saya yang luar biasa akan pantai dan surfing, maka sudah sewajarnya saya melindungi segala sesuatu yang berkaitan dengan pantai ini, Bang. Dan Penyu adalah salah satunya. Bagaimana saya mengatakan cinta pantai Lampuuk, akan tetapi saya berdiam diri ketika melihat laut saya dirusak?” Lagi-lagi sebuah ungkapan yang luar biasa yang saya dapatkan, dari pria yang lahir dan besar di tepi pantai Lampuuk ini.

Kawan, tak ada yang menginginkan musibah datang menerjang. Tak ada yang menginginkan kehilangan orang yang paling kita cintai dalam hidup ini karena bencana. Namun, sigap, tabah, dan tegar adalah cara terbaik untuk bisa kembali berdiri. Memperjuangkan apa yang kita cintai.


Berikut harga Paket Belajar Surfing di Pantai Lampuuk, Aceh Besar:
  • 1 x pertemuan 250.000 (2 jam belajar) + surfboard
  • Paket seminggu 1,500.000 (7× pertemuan) + surfboard
  • Belajar dalam 2 jam bisa pagi atau sore. Untuk paket seminggu, belajar bisa selang-seling hari dalam hitungan 7 kali pertemuan.

Tips liburan ke Pantai Lampuuk Aceh:
  • Gunakan baju yang sopan saat berwisata. Celana pendek dapat dipakai saat surfing, tapi sebaiknya tidak menggunakan bikini saja.
  • Sapalah dengan ramah para surfer lokal dan tamu selancar yang lain. Susasana yang bersahabat akan memperlancar liburan Anda. Para lokal disini sangat amat ramah.
  • Harga kamar biasa disini rata-rata 150-300 ribu.
  • Bisa menyewa motor dengan harga sewa 100 ribu perhari.
  • Sunsetnya spektakuler, jadi bersiaplah saat menjelang sunset yang waktunya cukup lama yaitu 18.30 WIB


Lampuuk Surf School ;
Tel: +6281360418440,
Instagram: adon_surfcafe,
Facebook: lampuuksurfschool


Giveaway Blogversary 4 Tahun Hikayatbanda

$
0
0

Diorama 4 Tahun bermain Blog,

Awalnya ingin bikin kaleidoskop akhir tahun seperti teman-teman blogger lainnya.

Apa daya, saya hanya blogger alay yang selalu bertempelkan koyo. Tak mungkin menarik. Apalagi perjalanan masih kurang jauh. Maka, jadilah saya berusaha menceritakan perjalanan saat memutuskan kembali  sebagai blogger selama lebih empat tahun belakangan ini. Semoga kamu, tidak bosan membacanya ya!


“Barang baru stock lama” begitu istilah yang pernah disematkan kepada saya, kala blog hikayatbanda.com ini mulai hidup. Blog, bukanlah barang asing bagi saya. Yang asing itu, istilah SEO dan kawan-kawannya. Maklum, dahulu ngeblognya di multiply. Yang kini, telah hilang ditelan bumi. Berserta seluruh isi cerita, foto, juga kenangan di dalamnya. Jika tak salah saya hitung, lima tahun lamanya saya blogging di multiply itu. Mulai dari tahun 2005 sampai akhir 2010.

Rentang waktu lima tahun kemudian, saya memilih menjalani hidup layaknya pemuda di desa. Melamar kerja, nikah, dan beranak. Jauh dari drama, jauh dari ke alay-an. Namun, dasar saya tak pernah bisa diam.


Tanggal 23 Januari 2015, sebuah postingan pertama dan nama blog muncul. Waktu itu masih free domain. Belum paham beli domain. Dan belum tahu, apa sebenarnya yang menarik untuk di tulis. Jadilah saya hanya menceritakan hal-hal yang “aneh”. Tak mengapa. Justru dari sanalah, saya akhirnya paham, jika saya begitu menyukai menulis di dunia maya. Mengaktifkan semua sosial media yang lama terbengkalai.

Mencari-cari teman blog MP, belajar dari setiap tulisannya. Buka-buka blog teman-teman di Aceh, belajar lagi. Begitu terus, sampai detik ini.
Ngeblog, memang mempunyai keasyikan tersendiri. Terserah, apapun itu tujuannya. Saat itu, tujuan saya hanya ingin membunuh kesuntukan di kota kecil di ujung sumatra. Syukur-syukur, tulisan tak seberapa mana ini, akan menjadi cerita klasik untuk masa depan.

Satu persatu mengenal kawan blogger keren se-Indonesia. Menjalin tali silahturahmi, tak malu bertanya mengenai blog. Hingga tak terasa, waktu telah berjalan sampai 4 tahun. Berat, namun menantang. Sulit, namun dirindukan.

Berawal dari pinjam Laptop dan Kamera,


Tak butuh waktu lama, sampai akhirnya saya memutuskan untuk berhenti kerja normal kantoran. Sepertinya kerja di mana saja, kapan saja, hanya dengan bermodalkan laptop, jaringan internet, dan kamera poket itu, asyik. Bismillah..

Saya masih ingat, kala itu, saya tak punya laptop. Masih meminjam laptop kerja ibu. Pun, tak ada kamera mirrorless yang kekinian. Hanya kamera poket canon dengan batterai alkaline, yang juga modal pinjam. Untuk handphone sendiri, juga bernasib tak jauh beda. Hanya tab murah. Asal sudah bisa terkoneksi dengan sosmed dan akun messenger, sudah cukup.


Pelan-pelan, Tuhan berbaik hati. Perjalanan memutuskan untuk belajar ngeblog-kembali- membuahkan sedikit rezeki. Walaupun belum bisa beli tiket garuda, dan terkadang sempak masih ngutang uang belanja istri. Paling tidak, keadaan benar-benar membuat tersenyum. Kehidupan keluarga ceria. Anak-anak memiliki jadwal jalan-jalan dengan ayahnya.

Satu persatu tawaran datang. Walaupun belum punya handphone mahal, paling tidak saya sudah mampu beli handphone android sendiri. Kamera mirrorless, tak penting harganya murah atau tidak. Yang penting, punya sendiri, kan? Pun begitu dengan laptop. Alhamdulillah.

Undangan trip, jalan-jalan sendiri, semuanya saya dedikasikan untuk menambah relasi dan menjadi silaturahmi dengan mereka yang sudah mumpuni dalam dunia per-blogger-an Indonesia. Tak jarang, saya belajar dengan yang lebih muda. Tak mengapa, ilmu.

Mimpi Yang menjadi Nyata


Tak ada usaha yang mengkhianati hasil, begitulah kata pepatah. Beberapa mimpi, menjadi kenyataan. Jika dahulu tak berani memimpikan ke bali, karena saya paham betul, dari aceh ke bali itu mahalnya luar biasa. Namun, Tuhan Maha Baik, melalui jari bang Bobby (virustravelling.com) dan alm. Bang Cumi (cumilebay.com), Bali berhasil didarati tepat setahun lalu bersama keluarga kecil saya.

Tak lama, undangan ke beberapa kota dan daerah di aceh dan luar aceh berdatangan. Belum se-intense teman lainnya yang di ibukota. Tak mengapa, toh ini saja sudah membuat saya bahagia. Danau sentarum, pulau Nias, Rawa singkil, Ketambe di Aceh Tenggara, sampai ke kawasan taman nasional gunung Leuser berhasil saya sambangi. Pulau Weh? Hampir setiap tahun. Alhamdulillah.

Benar-benar tak pernah menyangka (alhamdulillah) jika perjalanan hidup akan begitu naik turunnya. Niat saya menulis blog hanya ingin berbagi cerita tentang kampung halaman, aceh, menjadi sarana dari Tuhan untuk lebih lagi. Semoga tak terkesan takabur..

Kini, saatnya mengejar mimpi naik garuda, dan mengejar makkah di tahun 2020. Ntahlah, yang penting berusaha saja dulu. Toh, benar apa yang dikatakan oleh seorang ustad;

“Yang menaikkan dan menurunkan engkau adalah saudaramu” dan, ini benar adanya.

Terima kasih tak hingga saya, untuk semua sahabat blogger dan teruntuk pembaca/ pengunjung blog ini selama 4 tahun ini, rasa cinta saya untukmu, kawan!

pantai pasie saka di Aceh Jaya

Tanpa kalian, tak mungkin blog ini mampu bertahan. Tanpa kalian, tak mungkin bapak alay ini mampu menjajal satu persatu tanah di Aceh ini. ingin rasanya saya memberikan giveaway sederhana 

Happy Birthday to My blog!

Syaratnya gampang saja kok; 
  • Berikan Saran dan Kritik membangun lewat kolom komentar.
  • Sertakan data diri (cukup nama saja) dan salah satu akun social media kalian yang aktif.
  • Subscribe email aktif kamu untuk update pengumuman.
  • Follow (wajib) media sosial blog ini
  • Facebook Fanpage: https://www.facebook.com/hikayatbanda
  • Instagram: @yudiranda


Hadiahnya: 
1 Pcs Celana Ija kroeng warna putih
1 pcs syal motif gayo
2 pcs kopi Gayo Arabica (produk saya sendiri)

click untuk perjelas gambar





Pemenang Giveaway Hikayatbanda.com

$
0
0


Hai . . .

Akhirnya berakhir juga Giveaway Hikayatbanda.com yang alakadarnya itu. Acara yang berlangsung semenjak tanggal 23 Januari sampai dengan tanggal 7 Februari 2019 lalu, cukup banyak meninggalkan kesan dan pesan yang baik.

Saya, Yudi Randa, selaku penulis dan pemilik dari blog ini, mengucapkan ribuan terima kasih atas partisipasinya. Dan yang terpenting, terima kasih banyak untuk semua dorongannya agar blog sederhana ini tetap eksis sampai entah kapan tahu. Ada banyak ucapan selamat dan kritik serta saran yang masuk. Dan, saya, sangat bahagia akan hal tersebut. Karena saya paham, tentu semua tujuan tersebut agar blog ini semakin baik kedepannya. Amin

Rangkuman Komentar


Lagi, terima kasih banyak teruntuk kalian yang sudah meluangkan waktu untuk ikutan giveaway blog ini. saya menyadari, jika hadiahnya belum sebagus para blogger yang sering melaksanakan hal yang serupa. Pun, saya mengakui ada banyak kekurangan di sana sini dalam pelaksanaannya. Lebih dan kurang, saya mengucapkan maaf.

Oke, rangkuman komentar cukup menarik.
  1.  Rajin Posting

Harus saya akui, tahun 2018 adalah tahun yang kurang produktif dalam menulis ataupun menceritakan kisah perjalanan. Entah kebetulan atau tidak, akan tetapi, ada banyak musibah yang terjadi di tahun kemarin. Mulai dari anak tertua saya terserang difteri, sampai ayah saya yang terserang stroke hebat.  Mau tidak mau, fokus beralih.

Namun demikian, pantang mundur ketika layar telah berkembang. Paling tidak, saya akan berusaha lebih baik lagi dalam mengupdate blog ini. ada atau tidak perjalanan yang saya jalani, ya anggap saja, cerita-cerita lama diangkat kembali hehe. Sip, kita perbaiki di tahun ini!

       2.  Bikin Buku
Semenjak dari tahun ngeblog di multiply (duuuh serasa tua gilak!) beberapa teman juga menyarankan hal yang sama. Bukan hal baru sih, namun semangat saya untuk merambah dunia offline ini masih tersandera akan derita masa lalu. Halah, drama. Intinya, saya masih belum PeDe.

Untuk merambah ke dunia perbukuan. Bisa diterima oleh majalah saja, sudah alhamdulillah.
Atau begini saja, bagaimana jika kalian request saya harus menuliskan apa, nanti akan dituliskan, cocok? Tapi, terima kasih banyak untuk semangatnya. Insya Allah membuat buku, akan segera coba saya lakoni. amin

     3. Buka kelas Inspirasi Blog
Nah, ini! lagi lagi masalahnya sederhana, siapa sih yang mau dengar inspirasi dari bapak alay seperti saya ini? menulis di blog saja masih biasa saja. Belum se- masyhur blogger ibukota. Namun, jika ada teman-teman di seputaran Banda Aceh, Yuks kita ngopi sambil membicarakan masa depan dunia pembloggeran ini. semampu dan sepaham saya, akan saya sharing kepada kalian semua.

     4. Dan lain lain
Dan, masih banyak lagi komentar lainnya. Juga tak lupa semangat untuk terus menulis di blog atau dimanapun. Ada juga, yang menyarankan saya untuk memperbaiki EYD dalam setiap rangkaian kata. SIAP! Saya selalu berusaha meminimalisir kesalahan dalam penulisan dan penggunaan kata sambung. Hmm.. apa lagi ya? Begitulah sekiranya, perjalanan empat tahun ngeblog itu luar biasa!

Terima kasih

Winner is coming!
Ehem, terlalu bertele-tele ya? Maaf
Dari semua komentar yang masuk, saya tak ikut menilai melainkan ibu direktur dari Hikayatbanda sendiri. Alias istri saya. Sepenuhnya adalah hak prerogatif beliau. Sip, inilah pemenangnya;
  
  • Juara Utama ; Ermita Fatimah Hasibuan@mithafatimahhasibuan
  • Juara KeduaIbnu Syahri Ramadhan @abahbaruna
  • Juara ketiga dan ke empat ; unikeke.bey @unikeke.bey
  • Chahaya Oktiberto Simanjuntak@chaycya


Selamat kepada para pemenang giveaway hikayatbanda yang pertama ini! Dan terima kasih untuk yang sudah ikut serta, semoga kedepannya, bisa melaksanakan event seperti ini lebih baik lagi dan lebih meriah lagi!


Viewing all 268 articles
Browse latest View live