Quantcast
Channel: FROM ACEH WITH LOVE
Viewing all 268 articles
Browse latest View live

7 Tujuan Destinasi Wisata di Aceh Versi Hikayatbanda

$
0
0
Destinasi Wisata di Aceh

Unreachable, salah satu yang istilah yang tersemat untuk provinsi terbarat Indonesia ini. Namun, daerah yang pernah dirundung konflik sampai puluhan tahun ini, tetap memiliki pesona dan daya tarik wisata yang cukup layak untuk dikunjungi. Sebut saja, misalnya, Pulau Weh atau yang lebih di kenal dengan Sabang.  Panorama bawah laut pulau ini, disebut-sebut masuk dalam jajaran lima besar panorama bawah laut terindah di Indonesia.

Berikut ini adalah 7 TUJUAN DESTINASI WISATA DI ACEH, versi hikayatbanda.com tentunya ;
  • Sabang


Pulau weh atau yang lebih terkenal dengan sebutan Sabang ini, adalah pulau terbarat Indonesia. Pulau yang penuh dengan peninggalan perang dunia II ini, menyimpan begitu banyak tempat yang cukup layak untuk kamu kunjungi.

Destinasi Wisata di Aceh
Suasana di Pantai Iboih, Sabang

Mulai dari heritage peninggalan Belanda yang terletak di Kota Atas, benteng pertahanan atau bungker era perang Jepang, sampai panorama bawah lautnya yang masih cukup terjaga dan cantik

  • Banda Aceh

Destinasi Wisata di Aceh

Tidak sah ke Aceh bila tak berkunjung ke masjid raya Baiturrahman Banda Aceh. Begitu kata para pelancong. Dan, masjid yang menjadi ikon utama aceh ini, terletak tepat di tengah kota Banda Aceh, ibukota provinsi Aceh. selain terkenal dengan masjid raya Baiturrahman, kota Banda Aceh juga menghadirkan museum yang hanya ada satu-satunya di Asia Tenggara. Museum Tsunami.

Destinasi Wisata di Aceh

Salah satu hal yang ditawarkan di kota yang luasannya hanya 61,3 KM2, adalah khasanah pelajaran tentang tsunami, beberapa situs warisan Islam masa lalu, serta kuliner!

  • Aceh Besar

Destinasi Wisata di Aceh

Bila sudah ke Banda Aceh, tak afdhol rasanya bila kamu tak mengunjungi pantai Lampuuk, Pucok Krueng Raba atau tempat wisata lainnya yang masih berdekatan dengan ibukota provinsi aceh. namun, tempat-tempat wisata tersebut terletak di kabupaten Aceh Besar. Jaraknya tak jauh, hanya sekitar 15 kilometer dari kota Banda Aceh.

Destinasi Wisata di Aceh

Di kabupaten ini juga terdapat spot snorkeling yang masih alami. Lagi-lagi, tak perlu jauh-jauh dari ibukota provinsi Aceh,  Pulau tuan namanya. ( baca di sini). Atau kamu juga bisa bermain ke air terjun kuta malaka, dan tempat menarik lainnya.

  • Aceh Singkil

Destinasi Wisata di Aceh

Dari semua kabupaten/kota di Aceh, saya sangat terkesan dengan kabupaten yang satu ini. Aceh Singkil, kabupaten ini berbatasan langsung dengan provinsi Sumatra Utara. Di kabupaten paling ujung utara provinsi Aceh, bukan saja memiliki laut atau pantai yang keren, Kepulauan  Pulau Banyak. Dan Rawa Singkil!

Pantai di Pulau Banyak
Destinasi Wisata di Aceh
kawasan rawa singkil

Saya suka menyebut rawa singkil sebagai The Little Amazon In Aceh. Di Sini, kamu benar-benar akan memasuki daerah lain. Antah berantah, lengkap dengan buaya liarnya. (cerita tentang rawa singkil)

  • Aceh Tenggara

Santai di pemandian Air Panas alami 
Dua tahun lalu, daerah yang berada di ujung tenggara Provinsi aceh ini, menjadi heboh. Pasalnya, seorang artis hollywood mengunjungi kawasan hutan di daerah ini. Leonardo Di Caprio. Seketika, kawasan Ekosistem Leuser yang sebagian berada dalam kabupaten Aceh Tenggara menjadi mendunia. Ketambe, desa yang masih dalam kawasan kabupaten ini, yang terdapat pusat penelitian orangutan Sumatra. 

Bukan itu saja, di dalam kawasan hutannya, kamu bisa mandi sungai yang ditengahnya mengalir air panas!

  • Aceh Tengah

Destinasi Wisata di Aceh
Sunset di Danau Lut Tawar
Bagi kamu pecinta kopi arabika Gayo, di sini adalah tempat yang tepat untuk kamu kunjungi. Selain surganya kopi Gayo yang kini terkenal seantero dunia, kamu pun dapat menikmati pemandangan alamnya yang luar biasa.

Destinasi Wisata di Aceh
Air Terjun Menggaya
Aceh tengah pun, memiliki beberapa situ purbakala yang cukup tua di Indonesia. Di kawasan pinggir danau Lut Tawarnya, kamu dapat menikmati museum alam tempat ditemukannya manusia tertua di Indonesia. Tentunya, sambil menyeruput kopi coklat panas.

  • Aceh Selatan

Destinasi Wisata di Aceh

Deretan pasir putih membentang di pesisir baratnya. Di bagian timur, hutan, gunung, dan air terjun terpampang sempurna. Lekukan gunung membentuk jalur yang begitu indah untuk kamu nikmati sembari melepaskan lelah perjalanan panjang. Surga tersembunyi seperti Danau Laut Bangko juga tersedia. Tempat ini, cocok bagi kamu yang mencintai dunia petualangan tak biasa.


Destinasi Wisata di AcehLegenda Tuan Tapa serta lengkap dengan situs wisata Tapak kaki Tuan tapa, menjadi salah satu objek yang dapat kamu kunjungi jika kamu menyambangi kawasan selatan Aceh ini. oh iya, satu  lagi, sunsetnya, tak pernah gagal di sini!


Itulah beberapa objek wisata yang terdapat di Provinsi paling barat Indonesia, Aceh. Ah, tenang saja, sampai hari ini, Aceh cukup aman untuk kamu kunjungi!

Mie Pangsit Warkop Jaya, Peunayong. Sensasi Pangsit yang tiada duanya!

$
0
0

Mie Pangsit Warkop Jaya, Peunayong

Saya akhirnya tahu, jika pangsit dan mie pangsit itu dua hal yang berbeda!

Sudah lama saya penasaran. Dengan warung mie yang terletak di kawasan pecinan Banda Aceh. tepatnya di jalan Jenderal Ahmad Yani, Peunayong, hampir setiap sore saya melewati kawasan ini. Entah untuk sekedar belanja harian, antar anak mengaji, atau ngopi sore. Kawasan ini, selalu riuh ramai. Hampir dua puluh empat jam tanpa henti. Sesekali macet tak terkira. Sesekali, lengangnya membuat hati bahagia.


Acap kali hendak berhenti, saya terpaku dengan kriteria halal untuk menunya. Meragu. Begitu terus.

“bang, Halal insya Allah.” Begitu ungkap Gusti. Yang bekerja sebagai admin akun instagram @kulineratjeh. Beberapa hari sebelumnya, gusti dan tim baru saja selesai mereview warung kopi mie jaya tersebut. 

Ia juga, mempersoalkan perihal logo Halal. Sama seperti saya. Namun, sang pemilik, akhirnya mempersilahkan mereka masuk sampai ke dapur. Semua peralatan memasak dipisah. Dapurnya juga. Bahannya adonan mie juga. Semuanya dihalalkan.

Keraguan saya menghilang. Diam-diam, di hari menjelang magrib. Hujan gerimis. Langit jingga berbalut mendung kelabu. Saya, memutuskan untuk mampir. Ke Warkop Jaya. Tak jauh dari Hotel Medan. Di deretan toko yang bangunannya dari jaman kolonial Belanda. Pun, masih selamat setelah diterjang ombak tsunami. Warna biru bangunannya. Tak jauh dari jembatan Peunayong.

“Ci, pesan pangsit ayam satu, Teh Bunga satu.”

Saya memilih duduk di sudut. Mencoba menghangat di tengah cuaca yang mulai sejuk. Tak menunggu lama, pesanan saya sampai. Dan, betapa kagetnya saya, jika pangsit yang saya pesan. Hanya “pangsit”nya saja. Tak ada mie, sebagai mana biasanya saya pesan mie pangsit pada gerobak dorong.

“loh? Mie nya mana Ci?” tak sengaja suara bingung saya terdengar olehnya. Ia tersenyum, lalu menjelaskan. Jika ingin mie, maka pesannya mie pangsit ayam. Namun jika pangsit ayam, ya hanya pangsit ayam saja. Baiklah, saya yang salah. Saya akhirnya paham, jika pangsit dan mie pangsit ayam adalah dua hal yang sungguh berbeda.


Semangkuk pangsit ayam lengkap dengan kuah, tersaji panas di atas meja. Tak lupa saya memesan lagi mie. Konon, warkop yang telah ada semenjak tahun 1982 ini, memiliki rasa mie yang khas. Pun, pengelolaannya dilakukan oleh mereka sendiri. Handmade istilah kerennya.

“ini, usaha keluarga kami. Dan pengelohan mienya diturunkan turun temurun. Rasa dan kualitas mie, yang terus menerus saya jaga dengan baik” ungkap cici Acin. Dan, saya harus akui, ini pangsit yang enak. Lembut ketika masuk mulut. Lumer. Kuahnya juga pas, tidak asin apalagi hambar. Tekstur mie juga dibuat dengan lembut dan tak terlalu lunak. Cukup mengenyangkan untuk ukuran perut saya, orang Aceh.


Saya puas. Harga yang masih ramah dikantong, suasana warung yang masih mengikuti ala klasik. Tidak tampil kekinian ala Cafe. Sehingga kesan hangat dan kekeluargaannya membuat siapapun yang datang, menjadi nyaman. Begitukan?

Adzan magrib menggema. Pintu warung ditarik sebagian. Pesanan di close sementara. Menghargai mereka yang muslim. Begitu katanya. Satu persatu, para driver Gojek yang mengantri mulai balik. Mengantar pesanan. Setelah membayar, saya pun ikut pulang. Mengejar magrib di masjid terdekat. Lalu, pulang. Berkumpul bersama keluarga.

Musibah terjadi, setiba saya di rumah. Sesaat setelah melepas salat. Istri dan anak-anak komplain! Mengapa tak membeli dua bungkus mie Pangsit nya? Begitu, anak dan ibunya ini serempak melabrak sang ayah yang mulai meluruskan perutnya yang kekenyangan. Alamak! Saya lupa. Saking enaknya.



Mencoba damai, saya ingat, tadi di warung, para driver Gojek banyak yang mengantri. Menanti pesanan, aplikasi Gofood menjadi andalan jika sudah keadaan genting begini. Namun, sering sekali, pemesanan dalam jumlah banyak membuat kita pemilik akun akan tekor. Namun, nanti tidak lagi, kawan.

Gojek telah menghadirkan tambahan fitur Chat Antar Teman. Fitur ini adalah fitur tambahan yang ada di dalam fitur chat, fitur ini yang membuat fitur chat lebih unggul dibandingkan fitur chat sejenis karena memungkinkan kamu untuk langsung mentransfer uang dalam bentuk GO-PAY kepada teman kamu, bahkan bisa patungan sama semua anggota yang ada di dalam group. Ini yang paling penting kan? Dan saya pun bisa mensplit bill dengan istri, secara uang belanja kan sudah ehem ehem kan? Hehe


Fitur split-bill ini terbagi dua, bisa membagikan total biaya patungan secara bagi rata atau beda-beda. Ini bisa sangat berguna untuk kamu yang melakukan patungan dengan biaya yang berbeda-beda, jadi tak usah takut lagi jika pesanan mie pangsit jaya melunjak tiba-tiba karena satu rumah ikutan mesan.

Dan, menikmati makanan enak yang ada di kota Banda Aceh, seperti Mie Pangsit Jaya tak lagi menjadi kendala, bukan?

note : photo mie pangsit jaya by @kulineratjeh

Wajah Baru Bur Telege, Takengon-Aceh Tengah

$
0
0

 

Saya masih ingat, hari itu. Hari menjelang magrib. Matahari mulai turun ke peraduan. Angin yang bertiup dari lembah bukit yang memayungi Danau Lut Tawar mulai turun. Dingin. Jaket mulai saya tarik rapat. Namun rasa gerah dan keringat tetap mengucur.

Saya, Om Ndut, Salman, Bang Ucok, dan beberapa teman lainnya berjalan kaki. Menaiki puncak bukit. Untuk melihat kota Takengon kala hari menjelang senja. Jalanan menuju bukit, terjal tak menentu. Jalan setapak terlihat meninggalkan sisa perjuangan. Ada yang sudah tercor semen. Namun semak belukar telah lama mengambil alih!

“Alamak! Anjing! Bang Ucoooook! Tolongin!” dasar Anjing!

Semakin saya ketakutan, anjing liar itu semakin menyalak. Tak tahu diri! Seolah saya mengganggu prosesi kawin jantan dan betina itu. Tepat di puncak bukit. Semua teman tim, tertawa. Sesekali tersekat, karena nafas yang tipis dan udara yang dingin. Serta kaki yang lelah.
Kini, tangga ini disebut, tangga seribu
Begitulah Bur Telege, tahun 2017 lalu. Kala pertama kali saya menginjakkan kaki di sana. Dalam hati, ini tempat memang keren. Tapi tak ada perawatan sama sekali. Sama seperti hanya naik ke puncak bukit, lalu memandang kota tua. Sesekali, sampah plastik di mana-mana. Tak terlihat siapapun senja itu. Matahari turun sempurna. Semua hanya mengeluh dalam hati. Kasian, tempat ini terlalu indah dibiarkan begitu saja.

Ini cerita Takengon tahun 2017
Kota kopi ini, butuh peremajaan. Butuh taman tempat melepaskan penat. Sudahlah danau yang indah dan tak ada atraksi wisata. Janganlah bukit ini tergeletak begitu saja. Yang ujung-ujungnya menjadi tempat mesum. Dan akhirnya, dia akan bernasib sama dengan tempat wisata lainnya di Aceh, tutup!

Kini,

Cerita mulai berubah. Bur Telege tak lagi terlihat seperti tempat anjing liar kawin. Pun, semak belukar yang dijadikan kamar bulan madu mereka sudah tak ada lagi. Jalanan yang menanjak dulu, kini diperbaiki. Dibuat lebih mudah dijangkau. Beberapa wahana bermain (yang mainstream) tersedia.  Mulai dari photobooth sampai flying fox. Fasilitasnya sendiri cukup memadai. Tempat parkir yang luas. Taman bunga yang membuat kita semakin santai sembari menyeruput kopi Arabika Gayo. Sampai kamar mandi juga tersedia.

Bur Telege hari ini!

Penginapan? Tenang, kemarin ketika saya datang, ada beberapa bangunan yang terbuat dari rangka baja tengah dibangun. Nantinya, akan bisa menginap di sini sembari malam menikmati gemerlap lampu kota Takengon. Dan, ditemani nyanyian merdu angin malam yang turun dari lembah!

Tak pernah menyangka, jika tempat yang dulunya tak berbentuk ini, berubah total. Pun, dikelola oleh masyarakat setempat. Tentu dengan dibantu oleh sektor pemerintah kabupaten Aceh Tengah sendiri. Memang, harus diakui, masih ada yang kurang di sana sini. Namun, bukankah mengapresiasi akan usaha baik masyarakat kampung Hakim Bale Bujang. Yups, ini murni inisiasi pemuda desa tersebut.
beginilah jalan yang telah direhab dan disusun ulang

Bukit Telaga, begitulah arti kata Bur Telege. Bukit ini juga, saya mendapati sebuah tugu peringatan. Orang-orang menyebutnya, Tugu 45 Bur Gayo. Jangan tanya tahun berapa dibangun. Tulisan yang ada di pusara tugu tersebut sudah memudar. Beberapa orang lainnya, menyebut ini Tugu Ali Hasyimi. Beliau adalah Gubernur provinsi Aceh tahun 1957–1964.

Ah, intinya, saya menaruh rasa bangga dan salute yang mendalam terhadap pemuda kampung ini. tempat yang dua tahun lalu saya datangi terlihat tak berbentuk, kini menjadi lebih baik. Paling tidak, saya dapat katakan kepada teman-teman blogger yang dulu ikut dalam rombongan Pesona Takengon, jika kini, Takengon telah lebih Baik!


Berikut ini, ada beberapa foto Wajah Baru Bur Telege, Takengon


Tugu Ali Hasyimy

bayangkan, malam seperti apa di atas sini?

dara ini, dari banda Aceh katanya






Mimpi Berlibur Ke Bali (Lagi), Menuntaskan Bulan Madu Yang Tertunda

$
0
0
foto by : Traveloka

Pernikahan ini, sudah sewindu. Anak sudah tiga. Satu laki, dua perempuan. Tampan dan cantik. Lincah dan pintar. Dan ada kekurangan. Hanya ada satu drama dalam perjalanan pernikahan saya, Lupa Bulan Madu!

Saya, sebenarnya sudah pernah ke Bali. Dulu, tahun 2017. Sesaat setelah mendapatkan hadiah staycationhotel di sana. Saat itu, saya memutuskan untuk benar-benar bisa mewujudkan mimpi jalan-jalan ke Bali. Namun, saya kini, bukan lagi seorang mahasiswa lajang, melainkan seorang bapak beranak dua (waktu itu) dan beristri satu. Tak mungkin jalan sendiri. Harus bawa semuanya. Boyong sekeluarga ke Bali!


Niat awalnya, selain bawa jalan-jalan anak-anak, saya ingin mewujudkan Bulan Madu bersama istri tercinta. Maklum saja, pernikahan sudah beranak pinak, namun tak pernah sekalipun bulan madu. Pernah niat, mau ke pulau Weh, berhubung dekat dengan Banda Aceh. Murah pula, ketika siap-siap mau berangkat, keuangan mulai paceklik. Harus pindah ke luar kota Banda Aceh. masuk pelosok desa. Tinggal di sana sampai beranak satu.

Ah, siapa tahu besok ada rezeki, kita akan honeymoon ke tempat yang jauh sekalian. Alhamdulillah, mimpi itu terwujud. Kami ke Bali. Dari banda Aceh, potong kompas melalui Malaysia. Murah soalnya hehe. Saya sadar, bisa jadi, ini adalah perjalanan sekali seumur hidup. Dari aceh ke bali itu tak dekat dan murah. Sejak awal keberangkatan, saya dan istri sudah mulai menyusun itenerari perjalanan kami selama di sana.  


Sempat, berancang-ancang lanjut ke Lombok. Mumpung sudah di Bali pikir kami. Tapi dana tak bersahabat. Pun waktu tak bisa di tawar. Lalu, kami berdua sempat bermimpi untuk ke Nusa Penida.

gagal sunset di Uluwatu, gagal juga nganu sama istri
Kan keren? Akan terlihat seperti honeymoon betulan. Ramai bule di sana sini, tempatnya cukup romantis dengan pantai Uug-nya. Atau mandi-mandi seksi pakai sempak baru di Angel Billabong. Belum lagi pantai kelingkingnya yang sangat instagramable. Foto berdua dengan kekasih hati seolah akan menjadi momen yang tak terlupakan.

Selama Di Bali

Saya setuju, setiap tempat di Indonesia ini, keren. Tak cukup sekali untuk didatangi. Sebenarnya, ini adalah kalimat pelipur lara saja. Saya, dan keluarga selama di Bali, hanya dapat mengunjungi beberapa daerah saja. Selain masih syok dengan keadaan, saya juga syok ternyata kartu ATM mulai patah. Alarm kebapakan saya berbunyi. 
ini, pantai Kuta kan?

Saatnya memilih tempat wisata di Bali yang murah meriah. Semisal, partai Kuta, Pantai Legian, dan main-main di kawasan Ubud. Kami sempat gagal sunset di ULUWATU. Kami, sempat panik ketika Ziyad, anak sulung saya menangis sejadi-jadinya karena kain bajunya ditarik oleh monyet di kawasan Monkey Forest Ubud.

Berry Gle hotel, Hadiah dari bang Bobby Virustravelling.com

Jungle Fish di Ubud
Selebihnya, hampir semua waktu kami habiskan di hotel. Selama di Bali, ada tiga Hotel yang kami inapi. Pindah-pindah. Semuanya, bernasib sama. Tidak bisa tidur berduaan sama istri. Ranjang king size dikuasai oleh dua abang beradik ini. akhirnya, saya mengalah, tidur di sofa berteman-kan bantal guling sisa.

Lalu, Nusa Penida?
bye bye Angel Billabong

Terlewati dengan penuh kekecewaan. Sempat  saya melihat beberapa brosur yang dibagikan di Mall yang berdekatan pantai Kuta. Semuanya menawarkan berbagai macam  Paket Tour Nusa Penida, sayangnya, saya tak begitu acuh. Padahal beberapa paket cukup terjangkau. Nasi sudah jadi bubur, saya dan keluarga pamit. 


Kini sudah di Aceh lagi. Anak-anak sudah ribut lagi. Ke Bali lagi Ya! Begitu pintanya. Saya dan istri mulai lirik-lirikan manja. Dan kami tahu, perasaan hati kami masing-masing. Saatnya merencanakan honeymoon yang tertunda!



Nuansa Baru Kota Banda Aceh, Ketika Ia Belajar Berbenah

$
0
0


Agra Van Andalas! Begitulah sebutan yang pernah melekat dalam tubuh kota kecil ini. Agra-nya pulau Sumatra. Begitulah artinya. Pihak kolonial Belanda yang melekatkannya kepada Banda Aceh. Dulu, ketika akhirnya mereka mampu menginjakkan kaki di ujung barat Pulau Sumatra.  Penyebutan Agra di Pulau Sumatra, disebabkan adanya bangunan yang menyerupai Taj Mahal. Masjid Raya Baiturrahman.


Kota yang memiliki luas hanya 62m2 ini, mampu menyajikan sejarah panjang. Tak bertepi. Dan terus berusaha memberikan arti terbaik dalam setiap langkahnya. Entah, paling tidak, itulah yang saya rasakan hari ini. saya masih ingat, kecil dahulu, kota ini, pernah begitu lengang. Pasalnya sederhana, ada kontak senjata di kawasan kota. Terlepas dari itu semua, kini, kota pernah mati suri ketika dikunjungi Tsunami dan Gempa, kembali menata diri.

Paling tidak, ada lima tempat di Banda Aceh yang berubah menjadi lebih baik. Walaupun, masih ada kekurangan di sana-sini. Berikut adalah lima tempat di kota Banda Aceh dengan nuansa baru ;

Masjid Raya Baiturrahman


Bentuk aslinya, sudah tidak lagi berjejak. Sepenuhnya berubah. Dari beratap berundak, menjadi kuncup bawang. Menyerupai Taj Mahal di Agra, India. Berbeda cerita dengan pembangunan Taj Mahal yang diperuntukkan atas nama cinta kepada sang kekasih hati. Pembangunan masjid raya Baiturrahman oleh pihak belanda untuk merebut kembali hati rakyat aceh dan berusaha memendam gelora perang.

Sejak saat itu, renovasi terus berlangsung atas masjid kebanggaan rakyat aceh ini. hingga akhirnya berhenti pada 13 Mei 2017. Berikut saya rangkumkan tahun renovasi Masjid Raya;
  • Tahun 1292 dibangun pertama kali oleh Sultan Alaidin Mahmudsyah (?)
  • Tahun 1612 dibangun (lagi?) Sultan Iskandar Muda
  • Pada 10 April 1873 masjid ini dibakar habis oleh pasukan Belanda yang berhasil mengalahkan tentara kerajaan Aceh Darussalam di bawah perintah Sultan Mahmudsyah
  • 1879 Masjid kembali dibangun dengan gaya baru atas perintah Mayor Jenderal Karel Van Der Heijden

  • 1882 Masjid dinyatakan selesai dibangun dengan mengandalkan satu kubah. Dengan gaya arsitektur Mughal
  • Tahun 1936, renovasi pertama dilakukan oleh pemerintah belanda yang berkedudukan di Banda Aceh ( dulu bernama Kutaraja). Yang dilakukan adalah penambahan bagian kiri dan kanan masjid. Masing-masing satu kubah. Kini, kubah menjadi tiga.
  • Dari tahun 1958 sampai 1969 pada masa Gubernur Ali Hasyimy. lalu dilanjutkan lagi pada tahun 1975. Menghasilkan lima kubah dan dua menara.

  • Mulai tahun 1991-1993, renovasi yang dilakukan pada masa pemerintahan gubernur Ibrahim Hasan. dengan mempercantik bagian interior Masjid.

  • Tahun 2015 sampai dengan 2017, pada masa Gubernur Zaini Abdullah, dilakukan pemasangan 12 buah payung elektronik. Basemen, dan pemasangan marmer pada bagian luar masjid.


Kini, wacana berkembang, pemerintah Aceh menginginkan untuk mengembalikan luas tanah masjid Raya sesuai dengan pada masa awal kerajaan dulu, mungkinkah? Atau sebaiknya, yang menjadi fokus utama adalah membenahi lantai yang menjadi licin ketika musim hujan tiba. Payung yang sering robek setiap kali angin kencang bertiup dari arah barat atau arah timur.

Entahlah, yang jelas, kini, wajahnya menjadi sebuah nuansa baru di jantung kota Banda Aceh. masyarakat mensyukurinya. Menjadikannya salah satu tujuan destinasi wisata religi wajib bila ke Aceh.

Taman Krueng Daroy


Krueng Daroy, atau Sungai Daroy dalam bahasa Indonesia. Sungai sederhana ini, merupakan proyek ambisius sekaligus proyek ditujukan untuk menunjukkan kesetiaan akan kekasih hati. Sungai ini, adalah sungai buatan. Dia digali. Dilekukkan, dibuat agar mengalir melewati istana raja. Berkelok-kelok mengikuti bentuk taman. Yang sengaja dibuat oleh Sultan Iskandar Muda untuk istrinya yang berasal dari negeri Pahang, Malaysia.


Waktu berlalu, sungai kecil ini, sempat menjadi tempat saya melepas peluh sehabis pulang sekolah dasar. Bermodalkan celana pendek warna merah. Terkadang hanya pakai sempak merek Hings, belajar berenang. Menunjukkan kebolehan melompat dari ujung jembatan. Hanya demi terlihat menarik pada lawan jenis yang tengah lewat. Seiring waktu, bantaran sungai yang bersejarah ini, terlihat abai dan kumuh. Pernah menjadi toilet serbaguna warga. Pernah, menjadi tong sampah. Bahkan, terlihat begitu menyeramkan.


Kini, tampilannya menjadi sebuah pembeda di antara bantaran sungai lainnya. Dibangun sebuah taman rekreasi, membuatnya kembali nyaman. Lengkap dengan mural cerita yang melatarbelakangi pembangunan sungai ini dahulunya. Pembangunan ini, lewat program Kotaku (Kota Tanpa Kumuh) yang dicanangkan Kementerian PUPR, Pemerintah Kota Banda Aceh telah mengubah bantaran Krueng Daroy, kawasan ramai penduduk, menjadi salah satu taman kota yang indah nan asri.

Masjid Keuchiek Leumiek


Berbicara soal masjid, Banda Aceh, bisa dikatakan tak kekurangan masjid. Mulai dari masjid tua penuh sejarah. Mulai dari masjid yang dibangun para era Kesultanan, era Kolonial, pasca Tsunami seperti masjid Al Makmur ( lebih dikenal dengan sebutan masjid Oman), sampai masjid yang dibangun oleh pengusaha toko Emas Banda Aceh.

Masjid Keuchiek Leumiek namanya. Masjid yang dibangun oleh keluarga Haji Harun Keuchiek Leumiek ini, dibangun tempat menghadap pada bantaran sungai Aceh, desa Lamseupeung, kota Banda Aceh. Berdiri megah ia. Jika malam, gemerlap cahaya lampunya, berpantul samar-samar pada aliran sungai. Begitu megah. Menyerupai masjid yang ada di Timur Tengah.

Selain menambah keindahan kota, masjid ini, juga secara tak langsung menjadi pembuktian jika saudagar Aceh, masih mampu memberikan pembangunan akan kotanya, seperti masa dahulu. Seperti emas pada MONAS, seperti pesawat RI 001 Dakota, yang menjadi cikal bakal Garuda.    

Jika ingin mengunjungi masjid tersebut, kamu dapat mendatangi masjid yang dibuka untuk umum ini di Lamseupeung, Lueng Bata, Kota Banda Aceh.

Fly Over Dan Underpass Simpang Surabaya


Fly Over dan Underpass menjadi nuansa baru? Serius? Ya, ini serius. Dan ini adalah jalan fly over yang kedua yang ada di Aceh. setelah sebelumnya ada di Kabupaten Pidie Jaya. Bagi perkembangan pembangunan kota banda Aceh, yang baru terlepas dari konflik senjata, dan Tsunami, ini menjadi sebuah perkembangan ke arah yang positif. Memang, di sana sini, terdengar suara sumbang. Mengapa tak dibangun ke arah sebaliknya? Terlepas dari itu semua, dari pada tidak ada pembangunan sama sekali, ini menjadi sebuah apresiasi saya pribadi.


Paling tidak, setiap sore, selepas menjemput anak-anak mengaji, mereka meminta saya untuk melintasi jalan layang tersebut. Mereka cukup bahagia. Ini, salah satu wahana wisata bagi keluarga kecil saya. Pun, demikian dengan jalan Underpass. Yang berada tak jauh dari jalan layang tersebut.

Kota yang kecil ini, yang terletak di ujung Sumatra ini, selalu memiliki sesuatu hal yang baru. Yang mampu menyenangkan warganya dengan cara yang sederhana. Sesederhana kotanya. Ada satu hal lagi, yang ingin saya sajikan sebagai salah satu nuansa wajah baru kota ini. Taman Bustanil Salatin, atau dahulu dikenal dengan sebutan taman sari. Sayangnya, proyek pembangunan museum Digital Kota Banda Aceh tak lagi dilanjutkan. Menyisakan gedung megah yang hanya menjadi tempat Selfi para anak baru gede.


Harapan tetap dilanjutkan menjadi mimpi kecil saya dan keluarga. Karena kelak, ketika hari telah senja, tubuh telah renta, hanya museum yang mampu membuat bangga anak-anak saya akan kotanya. Kota Para Raja.


NB : Semua foto ini milik saudara Aulia Putra (https://www.instagram.com/aulia_putra19/


Menggapai Langit Di Pulau Rangit, Aceh Singkil

$
0
0

Wisata Aceh di Pulau Banyak

Rasanya masih tak percaya, ketika kaki berukuran empat puluh empat ini, berhasil menapaki kembali pelabuhan pulau Balai. Tempat yang sama, setelah tiga tahun berlalu. Hanya beda kondisi, hanya beda suasana. Selebihnya, masih sama. Masih dengan biru yang sama. Masih dengan kemilau laut yang sama. Camar yang sama. Syahdu yang sama. Ah...

Hari itu, hujan turun. Tak tahu diri. Tak peduli, akan nasib ratusan penumpang feri KMP Teluk Singkil yang kedinginan. Yang basah diterpa tempias air hujan. Berhamburan mereka dari dek atas kapal. Kocar-kacir seperti anak ayam dikejar musang. Tak terkecuali saya. Tidur lelap harus berubah kepanikan. Ombak menari, mengayun kapal. Tergopoh-gopoh saya dan teman lainnya memindahkan tas carrier.

Drama berakhir, ketika haluan kapal memasuki teluk Pulau Balai. Hujan mereda. Swastamita tertutup mendung. Hanya camar yang terbang pulang. Satu persatu penumpang turun. Saya merebahkan badan yang pegal dihantam angin laut. Malam turun lebih cepat hari itu. Tak terasa hari telah gelap. Pelabuhan perlahan sepi. Tak riuh lagi.

Wisata Aceh di Pulau Banyak
suasana di Pulau Rangit

Hari-hari selanjutnya, hanyalah tersisa kegiatan yang tak berhenti. Sebenarnya, kedatangan saya ke pulau Balai yang berada dalam gugusan Pulau Banyak ini, untuk kerja. Benar-benar kerja dalam arti yang sebenarnya. Ini semua, salah Garuda. Yang menaikkan tiket tak berperi-kemiskinan. Kerjaan sedikit sepi beberapa bulan belakangan ini. Hingga akhirnya, jurus kepepet mengejar cinta harus dikeluarkan. Demi masa depan dapur dan popok si kecil. Semua harus dilakukan.

Tak ada famtrip. Hanya duduk, mengawal acara demi acara yang ditampilkan di panggung. Sesekali melepaskan pandangan ke laut lepas. Berharap bisa menjelajah daerah Kepulauan yang berada di samudra Hindia ini. Ada Tailana di ujung barat. Ada pulau Panjang di sisi selatan, dan ada pulau Rangit di ujung pulau Panjang.

Wisata Aceh di Pulau Banyak

Angin bertiup sesuka hati. Sesekali, badai datang menyapa. Ini masih musim barat. Tak ayal cuaca berubah sesuai kehendaknya. Bersyukur saja, acara yang ada, berjalan sempurna. Tanpa kendala apa pun.

“Semuanya, besok bangun pagi. Kita jalan-jalan ke pulau Panjang dan Rangit!”

Perintah nan tegas itu datang dari pimpinan rombongan. Saya yang mendengarnya, terhenyak tak percaya. Hari itu, begitu cerah. Mentari bersinar garang. Angin bersahabat tak terperi. Hati ini? girangnya bukan main. Tanpa perlu berlama-lama, saya menyiapkan semua hal yang diperlukan. Siap berangkat! Sembari mengoles losion di muka saya berlarian layaknya anak delapan tahun yang diajak ke laut oleh orang tuanya.

Sepanjang perjalanan dari pulau Balai ke Pulau Rangit, mata ini dimanjakan oleh pemandangan laut yang luar biasa. Sesekali, terlihat kumpulan ikan yang melompat di atas permukaan laut. Kondisi air laut yang jernih membuatnya tembus pandang. Setiap kali laju perahu dipelankan, setiap itu pula saya bisa melihat ragam terumbu karang lengkap dengan penghuninya.

Wisata Aceh di Pulau Banyak
jalan masuk ke Mercusuar Pulau Rangit

Tak nyana, tiga puluh menit berlalu begitu saja. Dalam ritme mesin boat, langit biru, dan laut yang menggarisi batas horizon, kami sampai di pulau Rangit. Dari pinggir pantai berdiri mercusuar setinggi delapan lantai. Berdiri megah, berdinding putih kekuning-kuningan, diselingi garis biru di bagian atasnya. Mercusuar yang dibangun pada tahun 2015 dan rampung pada tahun 2016 ini, didirikan oleh departemen Perhubungan Laut.

Tujuan awal pembangunan mercusuar tersebut adalah untuk memberikan keselamatan pelayaran bagi kapal  pesiar dan tanker yang berlalu lalang di sekitar pulau Banyak. Kini, mercusuar ini menjadi primadona yang layak dikunjungi setiap kali ada wisatawan yang mengunjungi kawasan yang tersebar pulau kecil sampai 63 pulau ini.

Wisata Aceh di Pulau Banyak
naik tangga
Nafas tersengal-sengal. Jantung berdegup kencang. Namun, derap langkah tak ingin berhenti. Ia tetap menapaki setiap anak tangga yang tersusun melingkar. Suasana dalam mercusuar yang terkesan tak terurus ini, memang memberikan sensasi tersendiri. Tumbuhan lumut, menghiasi dinding dalamnya. Di beberapa sudut, terlihat genangan air hujan, sisa semalam. Namun, semakin gotik, semakin seru. Saya melangkah tak ragu!

Hampir saja, saya lupa menyalakan kamera. Begitu terkesima. Paru-paru saya masih bergerak dengan kencang. Mencoba menarik udara segar yang bau garam laut ini. hamparan biru bergradasi toska, diselingi putihnya pasir, hijaunya Nyiur, dan ditingkahi laju boat pengunjung memberikah riak di atas permukaan laut. Indah sekali! Sungguh!

Wisata Aceh di Pulau Banyak

Dari atas, langit rasanya dekat sekali. Pemandangannya memberikan cerita sendiri. Namun sulit sekali saya mendeskripsikan dalam laman ini.  Dari atas, terlihat puluhan pulau-pulau berukuran kecil yang sangat eksotik, seperti Pulau Panjang, Pulau Rangit Besar, Pulau Palambak, Pulau Baguk, Pulau Asok dan lainnya. Kemudian warna-warni laut yang menghiasi pinggiran setiap pulau. Lalu bayangkan, engkau bisa duduk tanpa harus berbuat apa pun. Hanya duduk, lalu mensyukuri keadaan. Betapa Tuhan, memberikan keunikan dalam setiap sudut negeri ini.

Betapa kayanya alam Kabupaten Singkil ini. wisata baharinya tak kalah dari Maldives, hamparan Rawa Singkil yang masuk ke dalam kawasan Ekosistem Leuser, begitu kaya akan flora dan fauna. Belum lagi wisata sejarahnya. Ia adalah negeri tua yang kaya akan jejak sejarah. 

Wisata Aceh di Pulau Banyak
silahkan membuat deskripsi sendiri

Wisata Aceh di Pulau Banyak

Di negeri ini, pernah lahir penerjemah Al Quran, kitab umat Islam, ke dalam bahasa Indonesia pertama kali. Bertali-tali sejarahnya menyusuri negeri nusantara. Berharap, suatu hari nanti, Singkil, kembali melangit. Seperti asa yang saya kembangkan dari atas mercusuar pulau Rangit ini.

Penasaran bagaimana cara ke sini? ini dia caranya ( Baca yuks )

Wisata Aceh di Persimpangan Jalan

$
0
0



Pengembangan wisata di Aceh seolah berada pada titik kebingungan antara terus memajukan sektor pariwisata atau mengalihkan ke sektor lainnya. 

Tahun 2016 menjadi sebuah titik balik. Angin segar bagi wisata di Aceh. Berawal dari dimenangkannya Penghargaan Wisata Halal Dunia 2016 atau World Halal Tourism Awards 2016 untuk dua kategori. Yaitu, Aceh sebagai World’s Best Halal Cultural Destination dan Bandara Sultan Iskandar Muda (SIM) Blang Bintang, Aceh Besar sebagai World’s Best Airport for Halal Travellers.

Lain yang diharap, lain yang didapat. Pengembangan wisata, kerasnya promosi wisata yang dilakukan oleh berbagai pihak, mulai dari pemerintah, sampai komunitas sadar wisata aceh, terkesan tidak mampu memberikan pemahaman yang jelas akan arah pembangunan wisata Aceh. Bahkan cenderung jalan ditempat.

Mulai dari medio awal 2016 berbagai kasus yang berhubungan dengan wisata di Aceh terus terjadi. Kasus penutupan tempat wisata terus terjadi di daerah yang terkenal dengan slogan Serambi Mekkah ini. Berbagai alasan disusun rapi. Terbaru, kasus penutupan Bandara Sultan Iskandar Muda (SIM) Blang Bintang, Aceh Besar yang seyogyanya pernah menangkan katergori sebagai World’s Best Airport for Halal Travellers pada tahun 2016 tersebut. 


Bukan tanpa alasan, penutupan diwacanakan hanya berlaku pada hari raya Idul Fitri dan Idul Adha saja. Katanya, untuk menghargai hari besar umat muslim di Aceh. dan memberikan kesempatan untuk pelaksanaan ibadah kepada petugas bandara. Kabar terbaru, ketika hari idul Adha lalu, bandara “hanya” tutup selama 3,5 jam. Selebihnya kembali normal.

ditutup

ini tampilan pantai yang pernah ditutup. di kawasan Aceh Jaya

Tak ada yang salah dengan hal ini. Secara hukum, Aceh memiliki kewenangan khusus untuk melaksanakan Syariat Islam secara mandiri. Di sisi yang lain, ada berbagai aspek yang harus dipertimbangkan untuk objek vital dalam sebuah daerah dan negara ini, untuk bisa ditutup begitu saja. Bagaimana dengan yang sudah reservasi tiket? Bagaimana dengan jumlah penerbangan yang banyak di pagi hari? Bagaimana dengan pendapatan daerah yang masuk dalam kategori daerah tertinggal ini?

Wisata Halal Tidak Sama Dengan Wisata Syariah Atau Religi 

Wisata Halal, merupakan wisata yang mengutamakan unsur kehalalan beberapa aspek yang terkait dengan wisata itu sendiri. Halal dalam berwisata berarti, penyediaan tempat wisata yang meliputi Hotel, rumah makan/restoran dan lainnya menggunakan material halal dan thoyyib (baik). Standar kehalalan ini-seharusnya-diukur melalui prosedur yang mampu memenuhi sertifikat halal. Sehingga terjamin dari berbagai bahaya dan baik. Sehingga, pasar yang disasar dari branding wisata halal ini adalah semua orang. Tanpa memandang agama yang dianut.



jargon wisata Aceh

Tujuan awal dari branding wisata halal adalah, didengungkan oleh pihak Pemerintah Indonesia untuk mengejar wisatawan muslim dari negeri non muslim. Yang mengalami kesulitan ibadah dan kesulitan mendapatkan makanan yang halal sesuai dengan kaidah Islam. Sehingga tak heran, jika pasar wisata halal ini juga dikejar oleh Jepang, Thailand, dan beberapa negara lainnya.

Jika istilah syariah lebih kepada mengatur manusia dan seluruh aspeknya, sedangkan istilah halal lebih kepada mengatur material dan seluruh penanganannya. Tidak ada istilah kolam renang halal, yang ada kolam renang syariah, yang penerapannya berupa menutup aurat bagi wanita serta tidak bercampurnya pria dengan wanita pada satu kolam renang. (kutipan dari www.cheria-travel.com)

Daya tarik wisata syariah diartikan sebagai segala sesuatu yang memiliki keunikan, keindahan dan nilai yang menjadi sasaran atau tujuan kunjungan wisatawan muslim. Wisata Syariah, sudah barang tentu wajib memastikan segala aspek syariah terpenuhi. Sehingga, dalam wisata syariah, bisa dipastikan untk mengharuskan peserta beragama Islam karena wisata ini bertujuan untuk meningkatkan keimanan dan keislaman para pesertanya.

Ada tiga jenis wisata religi. Pertama, wisata dengan tujuan beribadah (pilgrim) seperti haji dan umroh. Kedua, wisata bersifat islami contohnya berwisata ke Turki untuk melihat sejarah kebudayaan Islam usai melakukan ibadah Umroh. Ketiga, wisata halal yakni pemenuhan ibadah muslim saat mereka berwisata seperti mushola dan restoran halal.

Kesimpulannya? Silakan Anda simpulkan sendiri. Bagaimana baiknya. 

Mereka Yang Terus Berbenah Dan Maju Jalan 

Di sisi lain, dalam tahun 2019 ini, Dua kabupaten di Aceh terus melangkah maju dalam membangun sektor pariwisatanya. Pulau Banyak, yang berada di Kabupaten Singkil. Satu lagi, Bur Telege di Kabupaten Aceh Tengah. Pulau Banyak misalnya, hanya butuh waktu tiga tahun untuk berubah menjadi lebih baik. Menjadi lebih siap dalam menyambut para wisatawan yang haus akan wisata. 

Pemandangan di Pulau Rangit yang berada dalam kawasan Pulau Banyak, Aceh Singkil

Sebut saja, perubahan yang begitu mencolok atas pulau Panjang. Sebuah pulau yang tiga tahun lalu hanya sekumpulan kebun kelapa, kini mulai berbenah. Jauh, dari kesan sebuah kebun. Mulai dermaga apung yang istagramable, sampai penginapan yang dikelola oleh pihak Desa dalam bentuk BUMDES sampai pihak swasta. Penyewaan sepeda keliling pulau di Pulau Balai disajikan. Mereka mulai berani menyajikan makanan khas daerahnya. Mulai percaya untuk menyuguhkan paket wisata dengan spot-spot yang menarik lainnya.

Senada dengan perkembangan itu, Bur Telege yang berada di kawasan tengah Aceh tak mau ketinggalan. Masih terbayang jelas beberapa tahun silam, ketika pertama kali melangkahkan kaki ke sini. Hanya semak belukar. Hanya ada anjing liar yang menggonggong tak tahu diri. Kacaunya, tempat tersebut memiliki potensi wisata dengan pemandangan yang aduhai. 

Jika pulau Banyak dengan pemandangan laut yang biru berbalut hijau toska, beningnya air bak akuarium raksasa. Di Bur Telege, pemandangannya bukit yang berpunggung danau Lut Tawar yang hijau dan tenang. Hijaunya pinus bersusun rapi. Ditambah, hawa sejuk yang membuat suasana begitu syahdu. Kini, pemuda desa setempat mulai membenahinya. Bersama-sama dengan Pemerintah Kabupaten, mereka mengubah kawasan tersebut menjadi begitu ramah untuk kunjungi. 


Bur Telege, hari ini!

Berbagai wahana permainan dibangun. Toilet lengkap dengan air bersih. Kawasan yang tadinya semak belukar berubah menjadi taman bunga. Atraksi wisata tak tertinggalan. Ia kini, menjadi primadona baru dalam menikmati indahnya danau Lut Tawar dari atas bukit. Bagi dua daerah ini, terus melangkah maju adalah tujuannya. Demi keadaan yang lebih baik. Demi kesejahteraan ekonomi masyarakat yang lebih baik. 

Mereka paham, view ini dapat di jual dengan baik tanpa harus ada kontradiksi apapun. 

Akhir kata, arah manakah yang akan ditempuh oleh Aceh dalam memajukan pariwisatanya? Halal, ataukah Syariah? Mungkin, ia masih akan bingung sampai beberapa tahun ke depan. 

Reddoorz Syariah Di Kawasan Pecinan Kota Banda Aceh

$
0
0
RedDoorz Syariah Di  Kota Banda Aceh

Saya terperanjat. Tak mampu berkutik. Ketika ditanyakan,
“Maaf pak, mohon tunjukkan surat nikahnya” pinta babang resepsionis di hotel yang akan saya, istri dan anak-anak inapi untuk dua malam ke depan.

Untuk apa saya bawa-bawa surat nikah, sedangkan anak-anak saya, yang sudah berjumlah tiga orang ini, berlarian mengelilingi ayahnya tanpa henti. Namun, saya mencoba jelaskan secara seksama. Bahwasanya, ini adalah keluarga sah saya. Bukan keluarga ala melodrama India. Tak bawa surat nikah karena memang sudah menikah, sudah beranak, dan tinggal di kota yang sama. Di Banda Aceh. 
Secara sistem pemerintahan, Provinsi Aceh memiliki hak otonomi khusus yang berikan oleh Indonesia untuk mengurusi dirinya sendiri. Jadi, aturan syariah Islam yang menjadi landasan hukum di sini. Sehingga, aturan hotel seperti cerita ini, adalah hal yang lumrah di Aceh.

RedDoorz Syariah Di  Kota Banda Aceh
tampak depan, foto by : google
Tak ingin terjadi drama, saya menawarkan solusi untuk melihat informasi yang tertera di Kartu Identitas Penduduk saya dan Istri. Pas! Semua informasi sesuai. Terutama tempat tinggal. Reservasi pun dilakukan dengan mudah. Kunci pintu yang mirip dengan kartu ATM itu pun, berpindah tangan. Anak-anak bersorak gembira

“Tidur Hotel!!!”

Kesan pertama, Simpel, enggak terkesan murahan. Dan tentunya, bersih. Saya, mendapatkan kesan tersebut ketika hendak masuk ke dalam hotel pertama kali. Bahkan, sampai merasa harus membuka alas kaki. Ini semua, salah tamu yang sebelumnya. Mereka tiba, lalu melakukan reservasi dengan membuka sandal. Sehingga, secara latah, saya dan keluarga juga mengikuti langkah tersebut. Sampai akhirnya, pihak hotel mempersilahkan alas kaki tetap dipakai.

dapur, foto by google

Hari itu, saya memesan kamar Family Room. Tujuannya sederhana saja, anak tiga orang ini, bakal merusuh jika kamarnya terlalu sempit.  Mulai dari drama tidak cukup tempat tidur, sempit-lah, tarikan selimut, intinya, rusuh. Syukurnya, kamar yang saya pesan sesuai dengan ekspektasi. Kamar mandinya, luas. Cukup untuk membuat anak-anak nyaman mandi.

Walau tetap harus memesan ekstra bed, semua menjadi tak masalah. Adanya ruang dapur, amenities yang cukup lengkap, warna kamar yang sanggup membuat kamu malas bergerak, serta desain cahaya yang tidak membuat sakit mata, saya hanya bisa mengatakan, ini nyaman.


Lokasinya, memang berada di dalam lorong. Namun tak jauh. Masih di seputaran kawasan pecinan, atau lebih dikenal dengan sebutan Peunayong, kota Banda Aceh. tak jauh dari penginapan, kamu bisa berjalan kaki untuk menikmati sajian lengkap mie Aceh Razali. Atau lezatnya nasi goreng bertemankan daging kambing muda di warung nasi Goreng Daus. Tidak sampai di situ, kawasan ini, terkenal dengan etnisnya yang beragam.

Dapat dipastikan, untuk tamu yang non-muslim tidak akan kesulitan menemukan tempat ibadah. Tak jauh dari hotel Nasya Homestay atau sekarang menjadi RedDoorz Syariah Panglima Polem Aceh, ada Vihara Vihara Dharma Bhakti, gereja, dan juga kuil yang terletak di kawasan Keudah.

Selama tiga hari dua malam, saya dan keluarga merasakan tinggal langsung di kawasan yang menjadi China Town-nya Kota yang bergelar Syariat Islam ini. tempat yang teduh, nyaman, tenang, dan begitu mudahnya akses kemanapun, membuat saya dan keluarga merasakan sensasi bak tinggal di luar kota. Serasa beneran liburan ke luar kota. Walaupun tetap saja, saban malam, mencari warung kopi yang berada di kawasan Simpang Lima kota.
RedDoorz Syariah Di  Kota Banda Aceh

Di hotel RedDoorz Syariah Panglima Polem ini, memang tidak menyediakan sarapan. Tapi, ada dapur yang terletak di lantai satu. Sehingga kamu bisa memasak mie instan ketika malam datang dan perut keroncongan. Wifi yang gratis, dan mineral water yang dapat kamu isi ulang berulang-kali, menjadikan kesan begitu homey.

Jika di tanya adakah kekurangannya? Saya harus mengakui ada beberapa kekurangan. Salah satunya adalah kurang kedapnya ruangan. Sehingga jika ada yang duduk di lobi lalu tertawa ramai-ramai, cukup mengganggu. Selebihnya, ya cukuplah. Mengingat harga juga tak begitu mahal.

Iya, saya memesannya tidak terlalu mahal. Dibandingkan memesan langsung via hotel, saya memilih memesan kamar dari aplikasi RedDoorz. Kebetulan juga, lagi ada diskon sebesar 25%. Berikut saya lampirkan caranya.

RedDoorz Syariah Di  Kota Banda Aceh


RedDoorz Syariah Di  Kota Banda Aceh


Cara memesan kamar RedDoorz Syariah Panglima Polem ;

Masukkan Kode ARABIKAGAYO untuk Diskon Menginap 25%
Tidak hanya di hotel RedDoorz Syariah di Banda Aceh, kamu juga bisa mendapatkan diskon di hotel RedDoorz di mana saja. Di seluruh Indonesia. Hanya dengan memasukkan kode tersebut.

Syarat dan ketentuan
- Periode promo ini berlaku hingga 31 Desember 2019.
- Kode dapat digunakan berkali-kali untuk seluruh properti RedDoorz di Indonesia dan Luar Negeri (Siangapura, Vietnam dan Filipina).
- Promo ini tidak dapat digabungkan dengan promo lain.
- Tanpa minimum pembelian
Untuk info yang lebih terarah, hubungi:
Khairul Riza +628116802787 (Corporate Sales RedDoorz Banda Aceh)


RedDoorz Syariah @ Panglima Polem Aceh
Lorong Sejahtera No.12, Laksana, Kuta Alam, Banda Aceh, Aceh, Indonesia, 23123 





Merajut Kejayaan Aceh dari Aceh Jaya

$
0
0
Wisata di Aceh Jaya
Di masa lampau, gajah Aceh menjadi simbol keagungan. Rakyat menghormatinya dalam beberapa upacara. Dan Nilam Aceh, pernah merajai parfum dunia. 
Syahdan, tersebutlah tentang seorang Sultan di negeri Aceh Darussalam. Nun jauh, di ujung barat pulau Sumatra. Tepat di pintu selat Melaka. Jalur bisnis laut terbesar di Asia Tenggara. Hampir tak ada yang tak melewatinya. Sang Sultan juga membangun istana nan megah. Lengkap dengan lapangan untuk para gajahnya.
Iya, Gajah. Jumlahnya, menurut beberapa kisah, mencapai 1000 ekor lebih. Saking banyaknya, pusat kerajaan Aceh Darussalam kala itu, tidak membangun benteng. Melainkan hanya memberikan lahan yang luas lalu, menempatkan pasukan gajahnya di tempat tersebut. Tak hanya digunakan untuk berperang, gajah pada masa itu, juga untuk menyambut para tamu kerajaan. Atau, di sisi lain, gajah berperan sebagai lambang kejayaan sebuah negeri. Yaitu, Negeri Aceh.
Tahun berselang, hutan mulai hilang. Kerajaan Aceh hanya tinggal kisah dalam buku sejarah. Bahkan terkadang, mencari jejaknya saja, cukup sulit.

Wisata di Aceh Jaya

“Selamat Datang di Sampoiniet, bang yudi. Akhirnya abang sampai juga di sini ya?” pria muda itu sumringah tatkala melihat saya berada dalam barisan tamu yang hadir di CRU, Conservation Response Unit yang berada di Kabupaten Aceh Jaya. Pria itu, Zahlul namanya. Anak muda setempat ini, masih setia menemani hampir ke mana pun saya melangkah. Bersama dengan kameranya, ia terus bercerita mengenai keadaan di kampungnya.
Apa yang diutarakan oleh Zahlul hari itu, tak bohong. Tempat ini, layak sekali menjadi salah satu destinasi wisata unggulan untuk kabupaten yang baru berdiri pada tahun 2002. Di sini, kamu dapat bermain bersama (sisa-sisa) Gajah asli Sumatera. Yang dulunya, adalah lambang kejayaan kerajaan Aceh Darussalam. Yang dulunya menjadi binatang kesayangan sultan Iskandar Muda yang masyhur itu.
Saya sendiri, sempat menikmati bermain bersama Aziz, si gajah jantan yang berada dalam kawasan CRU tersebut. Sesekali ia merebahkan diri di sungai yang dangkal. Sungai yang masih berair jernih ini, begitu sejuk. Tak sampai di situ, pasirnya juga bak pasir laut. Hamparan pasir putih itu memberikan warna yang kontras dengan tepian hutan hujan di sekitarnya.

Wisata di Aceh Jaya

Alamak!
Mengapa tak sedari awal saya mendatangi tempat ini? walaupun sinyal seluler tak terlalu baik. Namun tak menyurutkan saya untuk mendekat dengan sang Po Meurah yang sebutan Gajah di masyarakat aceh pada awal kerajaan dulu. Dan, mengapa saya tidak mengajak anak-anak ikut serta. Mereka, hampir saban malam meminta saya bercerita tentang betapa megahnya sang gajah. Ah, malu hati rasanya.
“Andaikata abang bisa nginap, besok pagi kita bisa tracking ke hutan naik gajah. Sambil terus menyusuri sungai ini, bang” celetuk Zahlul. Dan, saya pun membayangkan betapa seru dan asyiknya jika mendapatkan kesempatan yang luar biasa tersebut. Namun saya, pada tamu undangan mulai bergerak, merapat kembali ke mobil. Untuk mengunjungi tempat selanjutnya.
Wisata di Aceh Jaya

Hari itu, adalah hari pertama saya berhasil memijakkan kaki ke kawasan CRU Sampoiniet.  Sudah lama, Zahlul mengajak saya untuk mengunjungi tempat ini. dan, entah mengapa, selalu saja saya menemukan alasan yang tepat untuk menolaknya. Anggap saja sok sibuk. Padahal, sibuk menambal sempak. Betapa menyesalnya.

Tak puas rasanya mengitari tempat yang didirikan atas inisiasi Fauna and Flora International (FFI) bersama Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Aceh pada 2008. Dengan tujuan, mengurangi konflik antara gajah liar dengan manusia di Aceh Jaya. Konflik satwa dengan manusia ini, memang sudah begitu sering terjadi di Aceh. terutama di Aceh jaya.
Mulai dari berkurangnya tutupan hutan aceh, yang terus di rambah. Gajah Sumatera pun, terus diburu. Apalagi jika bukan untuk gadingnya. Yang harganya begitu mahal di pasar gelap dunia. Empat ekor yang tersisa di CRU ini, terlihat masih begitu gagah, walaupun tak semegah dahulu.
Wisata di Aceh Jaya
Bibit Nilam Aceh

Sebelumnya, saya sempat diajak menemui para petani Nilam di desa Ranto Sabon. Tak jauh dari Desa Ie Jeureneh tempat di mana CRU ini berada. Lain gajah, lain lagi Nilam. Ia pernah menapaki masa kejayaan pada tahun 1920an. Pada masa itu pihak VOC Belanda mulai membangun unit-unit usaha untuk melakukan penyulingan tanaman nilam untuk diambil minyaknya. Minyaknya sangat laku dan harganya cukup mahal di pasaran dunia.
Waktu berlalu, Belanda meninggalkan Aceh. Indonesia berdiri. Tahun 1998, Nilam Aceh kembali menggapai puncak kekayaan orang-orang yang berada di Aceh bagian barat. Tak terkecuali Aceh Jaya.  Minyak Nilam menjadi komoditi utama mereka. Harga sekilo Minyak nilam (Patchouli oil), mencapai 1,2 juta rupiah bahkan pernah menyentuh 1,4 juta. Harga motor kala itu, hanya 6 kilogram minyak nilam.
Sebenarnya, minyak Nilam menjadi bintang bagi bisnis ekspor Minyak Atsiri Indonesia. Indonesia sendiri, memasok sekitar 85 sampai 90 % pangsa pasar nilam global, 2.000 ton per tahun. Produksi minyak nilam sendiri didominasi di pulau Jawa dan Sumatera, dan Aceh salah satu daerah di Sumatera sebagai daerah penghasil nilam. Sayangnya, sebagian besar yang diekspor masih dalam bentuk minyak yang belum diolah jadi produk hilir.
Wisata di Aceh Jaya

Kini, Aceh, menghadapi sebuah dilema terbaru. Di satu sisi, minyak nilam Aceh menjadi primadona dalam kancah dunia dan begitu dibanggakan. Akan tetapi, harga yang tak baik menjadi masalah bagi petani. Nilam yang dijual oleh petani nilam dihargai sangat rendah. Hal ini, sebenarnya menjadi masalah klasik dalam dunia agrobisnis di Aceh.
Nilam Aceh, selalu dijual dalam bentuk tanaman kering yang sering dihargai dengan harga rendah. Hal ini semakin diperparah dengan keengganan masyarakat untuk menanam nilam, di mana mereka juga belum terlalu paham mengenai keunggulan serta prospek nilai ekonomi nilam.
Atas dasar hal itu, solusi yang sempat ditawarkan untuk meningkatkan kembali nilai jual Nilam Aceh ini, adalah dengan dibentuknya Desa Wisata Nilam, di sini, di desa Rantoe Sabon, desa yang masih termasuk dalam mukim Mukim Pante Purba, kecamatan Sampoiniet, Kabupaten Aceh Jaya.
Memang masih di angan-angan. Mungkin, masih jauh panggang dari api. Akan tetapi, saya merasa optimis. Jika serius, mengapa tidak? Kejayaan Aceh akan kembali ke tampuknya dahulu. Gajah kembali bermain di hutan dengan bebasnya. Dan, minyak Nilam kembali menjadi penumpang ekonomi masyarakat aceh secara umum.

Wisata di Aceh Jaya
pasirnya putih!

Semua itu, harus bermula dari sebuah kabupaten Aceh Jaya. Sebuah daerah yang memiliki begitu banyak potensi. Mulai dari Wisata Gajah, Edukasi Nilam, sampai keindahan pantai Pasie Saka. Yang mungkin, akan saya ceritakan dilain waktu. Ketika pantai itu, benar-benar telah dibuka untuk umum. Sebuah kawasan pantai yang menghadap ke samudra Hindia. Dengan pasir putih yang begitu halus. Bak gula pasir.
Wisata di Aceh Jaya
Bermain bersama dan berfoto bersamna
Wisata di Aceh Jaya
ehem., ini bonus aja. setelah lelah seharian jalan-jalan di kawasan Sampoiniet, tidak asyik rasanya bila tidak mencoba Mie Aceh plus Lobster ini, kan?



Saling Silang Budaya di Mercusuar Cikoneng

$
0
0
Mercusuar Cikoneng
foto by Evan Ipunk Saputra
Saya masih tidak percaya, apa yang saya lihat dengan mata kepala ini. Semuanya, bercampur baur. Menarikan sesuatu yang khas dari provinsinya masing-masing. Lantunan musiknya, berkolaborasi. Antara bedug, gitar, bahkan lengkingan khas suara anak-anak dari pesisir timur Indonesia. Mereka menari. Mereka membaca syair, hikayat, bahkan sampai puisi. Semua, dengan bahasa daerahnya.

Saling silang budaya, itulah yang terjadi. Padahal, sempat terlintas dalam benak saya, apa mungkin budaya yang ada di Indonesia ini bisa saling silang? Menjadi sebuah satu kesatuan? Menafikkan perbedaan antar suku, bahasa, daerah, ras dan agama? Ternyata, bisa! 

***
Mercusuar Cikoneng
Semua Saling Silang Budaya

Sabtu, 26 Oktober, pesawat Garuda dari Aceh mendarat sempurna di bandara Soekarno Hatta. Dari terminal tiga, saya menuju ke titik temu yang telah ditentukan. Di sana, sudah menunggu satu rombongan dari Palu. Beberapa menit kemudian, kami sudah terlibat pembicaraan penanganan bencana Gempa dan Tsunami. Ah, saya baru ingat. Jika Aceh dan Palu memiliki kesamaan. Sama-sama terkena gempa dan tsunami. 

Kami, semua diundang untuk acara BPIP, Badan Pembinaan Ideologi Pancasila.  Di Anyer, sudah menunggu teman-teman lainnya. Dari berbagai provinsi lainnya di Indonesia. Semuanya akan mengikuti kegiatan Persamuhan Pembakti Kampung, Jejaring, dan Komunitas,  yang akan berlangsung selama 26-30 Oktober 2019. Saya hanya bisa pasrah, setelah mengetahui, ternyata saya adalah satu-satunya dari ujung barat Indonesia, Aceh. Tak ada yang lain. Dan, hanya tahu, sesampai di sana, hanya kak Reh Ate Malem yang juga seorang blogger. Selebihnya? blas.

Mercusuar Cikoneng
Perpaduan antara Bedug dengan tarian Kalimantan

Mercusuar Cikoneng
foto by Evan Ipunk Saputra

Pagi masih, kami, peserta dari seluruh Indonesia berkumpul di pelataran kolam renang hotel, tepat di bibir pantai Anyer, Serang Banten. Ini, menjadi sejarah sendiri bagi saya, si anak Aceh. yang bertahun-tahun, tak pernah lagi merasakan suasana upacara peringatan Sumpah Pemuda. Di tambah lagi, ini, seluruh Indonesia. Tumpah ruah menjadi sebuah diorama kesatuan sendiri. 

Ketika giliran penampilan seni dari daerah masing-masing, yang terjadi adalah, mereka semua, para seniman dari beberapa provinsi Indonesia, membuat sebuah kolaborasi pertunjukan secara spontanitas. Sampai di sini, saya terperangah. Bagaimana mungkin, dentuman bedug Banten, mampu menyatu dengan tarian bali, tarian Kalimantan, lengkingan suara Ambon, Makassar, dan liak-liuk gemulai dari gadis-gadis Jawa Timur. Inikah saling Silang budaya itu? Yang mengesampingkan segala hal yang membuat kita terbelah?

***
Mercusuar Cikoneng
Awal mula saya bertemu dengan pak Yudha
“Keren sekali bangunannya ya, persisinya begitu rapi. Besi baja begitu padat dan kokoh.” Ungkap seorang bapak berkulit coklat itu kepada saya. Pembicaraan kami terus mengalir. Tanpa jeda, dan berhenti ketika acara puncak di kawasan mercusuar Cikoneng berakhir.  

“Jadi, dari tadi kamu bercerita tentang mercusuar di pulau Beras Aceh terus, kamu anak aceh ya? Tanyanya. Saya mengiyakan, sembari mencari tempat duduk, kami pun terus membahas perihal budaya, pariwisata dan Indonesia itu sendiri.

Sore itu, ia mengatakan, betapa penasaran akan tanah kelahiran saya, Aceh. terutama perihal budaya dan Pariwisatanya. Sudah sejauh mana, sudah bagaimana perkembangan Aceh hari ini. semakin sore, pembicaraan kita semakin mendalam. 

“Yudi, bagaimana kalau kamu nanti sampaikan kepada pihak berwenang di aceh, untuk melakukan Pendekatan Wisata  Aceh melalui penetrasi budaya di acara Sanur Village Festival, tahun depan?” tanya bapak yang bernama lengkap Yudha Bantono ini kepada saya, pria yang kelahiran Banyuwangi ini, telah 30 tahun menetap di bali. Menjadi salah satu praktisi wisata di sana, tepatnya di Sanur. Tawaran yang sangat menarik! Saya langsung mengiyakan dan menyetujui ide tersebut.

Mercusuar Cikoneng
Sore, ketika acara menjelang
Mercusuar Cikoneng

Mercusuar Cikoneng
foto by Evan Ipunk Saputra

Bali dan Aceh, memang terbentang jarak. Namun masih dalam satu bingkai Indonesia. Mengapa tidak? Sudah sewajarnya saling memberi apresiasi. Membantu dalam untuk saling mempromosikan daerah masing-masing. Bukan lagi saling bersaing. 

“Bayangkan, tarian Saman dari kampungmu itu, ditampilkan di 150.000 pengunjung. Dan rata-rata dari mereka adalah wisatawan mancanegara. Bayangkan juga, kamu bisa membagikan pengetahuan dan kebolehan wisata di daerahmu selama hampir lima hari. Saya kasih untuk kamu tawaran ini, karena kita sudah duduk di sini” beliau masih melanjutkan tawarannya. Dan saya, masih mendengarnya dengan penuh antusias.

Mercusuar Cikoneng

Di kawasan Mercusuar Cikoneng sore menjelang senja. Perhelatan Saling Silang budaya masih berlangsung. Tepat di titik Nol Kilometer Anyer, perpaduan budaya menjadi sebuah cerita yang sulit untuk saya gambarkan dalam tulisan ini. Namun, begitulah sebuah perjalanan. Selalu membawa cerita tersendiri. Lalu pulang, membawa sesuatu. Seperti layaknya saya dan pak Yudha. Antara Aceh dan Bali. Agar kelak, saling silang budaya terwujud.

Mercusuar Cikoneng
Nak, Beginilah seharusnya Indonesia!

The Crew Hotel Kualanamu, Hotelnya Para Pramugari

$
0
0


“Kamu berangkat duluan sama beberapa orang. Kita ketemu besok di Bandara Kualanamu, ya, Yudi”

Perintah itu keluar begitu saja.

Mau tidak mau, suka tidak suka. Saya harus berangkat segera. Tanpa harus mengeluhkan keadaan. Kondisi ketersediaan tiket ke pulau Simeulue sedikit susah dicari. Bukan, bukan karena tidak ada yang berminat untuk mengunjungi “Simeulue Ate Fulawan-Simeulue yang berhati emas. Melainkan, penerbangan ke Simeulue penuh hari itu.

“saya titip, dua anggota saya ya pak Yudi. Ibu Cut dan dek Izzah. Nanti kalian tidur di Medan semalam. Ambil hotel di dalam Bandara saja. Nih uang jalannya” sembari beliau menyerahkan uang untuk perjalanan ke Medan.

Jujur, walaupun sudah terlalu sering transit di Medan, saya tak pernah bermalam di Bandara Kualanamu medan, paling lama hanya enam jam. Selebihnya, langsung terbang. Entah itu ke destinasi selanjutnya, ataupun kembali ke Banda Aceh.

Semua, pasti ada pertama kali kan? Pun demikian dengan bermalam di Kawasan Bandara Kualanamu Deli Serdang, sumatera Utara. Ragu, pasti. Namun gengsi saya dalam mempertaruhkan nama “travel Blogger” (alay) jauh lebih tinggi.

“Paham kan, Yud? Nanti di sana cari hotel saja” Ungkap bapak tersebut. Beliau ini, perawakannya tinggi besar. Suaranya nge-bass. Wajahnya serius. Saya yakin, tak mungkin membantahnya.

“Paham pak, gampang pak” jawab saya sekenanya.

Selama di ruang tunggu bandara, saya mencoba mencari hotel yang dimaksud. Harganya permalam, Rp. 510.000. dua kamar, artinya saya harus membayar satu juta rupiah. Uang makan dan lainnya, bisa-bisa minus.

Karena hidup tak selamanya Garuda 

Saya mencoba mencari alternative lainnya. Yang masih dekat dengan bandara. Siapa tahu lebih murah. Siapa tahu, lebih bagus fasilitasnya. Dan yang terpenting adalah, ada angkutan gratis serta ada rumah makan terdekat. Ketemu! The crew Hotel Kualanamu!

Sempat ragu, ketika melihat harga yang ditawarkan dari berbagai aplikasi pemesanan online. Ditambah lagi, Hotel ini juga menyediakan jasa transport antar jemput bandara, dan itu, gratis! Saya memesannya melalui telepon. Maklum, tidak ada uang dalam rekening. Adanya hanya cash. Harganya per-kamar per-malam hanya Rp 310.000 untuk kamar bisnis. Asyik! Menang banyak!

Pesawat cap singa akhirnya berangkat. Meninggalkan bandara Sultan Iskandar Muda, Blang Bintang Aceh Besar, setelah sebelumnya delay selama satu jam. Ya, ini bukan cerita baru. Para pramugari SingaAirline ini, sudah siap dengan kerudung yang menutupi rambut rapi mereka. Penerbangan selama hamper satu jam ini, terlihat sedikit membosankan. Apalagi, dalam pesawat ini, tak ada wahana entertainment (halah).

Pesawat mendarat. Saya menelpon lagi hotel yang bersangkutan. Untuk menanyakan perihal jemputan. Dijawab, segera sampai. Silahkan tunggu di depan resto ichiban. Tak lama berselang, jemputan datang. Pembangunan bandara kualanamu hari itu, terasa begitu sibuk. Di era pemerintahan ini, pembangunan infrastrukur hampir merata di seluruh negeri. Tidak ketinggalan, Bandara Aceh.

The Crew Hotel Kualanamu, Deli Serdang



Hotel ini, terletak hanya sekitar 15 menit perjalanan dari Bandara kualanamu. Sehingga, saya bisa memastikan jika tidak akan kesulitan dalam mengejar penerbangan esok hari. Pun, di hotel tersebut, telah disediakan jadwal keberangkatan menuju bandara. Jadi, setiap tamu yang menginap di hotel ini, akan dengan mudah memilih jam berapa jika hendak ke bandara. Oh iya, di hotel ini juga menyediakan jasa wake up call bagi kamu yang tidurnya bak kerbau beranak.

Kesan awal dari hotel tersebut, konsepnya cukup modern. Minimalis. Dan begitu terasa ketika menginjakkan kaki di lobby hotelnya. Imajinasi akan semakin liar ketika saya melihat ada beberapa sofa dengan gaya mirip tempat duduk pesawat.


Bagaimana dengan keadaan kamarnya? Apakah murah berarti murahan? Ternyata tidak! Kakak resepsionis yang ramah itu, menjelaskan kepada saya. Jika di hotel yang berada dalam Kawasan travel hub kualanamu ini, memiliki konsep yang berbeda-beda dalam setiap kamarnya. Menurut hemat saya, wajar saja. Soalnya, setelah mencari tahu lebih jauh, dan melihat dengan mata kepala sendiri, ternyata hotel ini merupakan hotel tempat menginapnya para crew airline cap singa itu.

Pantas! Jika fasilitasnya begitu nyaman, bersih. Kamar mandinya juga ok. Yang paling penting, bagi saya, adalah, tersedianya café yang menjual kopi dan makanan tepat di belakang lobby. Plus, mereka buka 24 jam secara penuh! Karena berada di Kawasan travel hub Kualanamu, di dalam Kawasan ini juga tersedia minimarket, restoran cepat saji, dan café.


kenapa nggak ada yang melirik ya, para pramugari itu?
Di hotel sendiri, juga menyediakan spa, Cabin Spa Namanya. Pemilihan namanya pun tak jauh-jauh dari Bahasa penerbangan. Amboi.. ini hotel rasa pesawat! Ia seolah tak hanya menawarkan pengalaman baru dalam menginap, namun, hotel ini juga memberikan kemudahan dalam one stop staycation.

Murah, nyaman, dekat bandara, lengkap dengan minimarket, café, restoran, spa, dan Bersih! Sesekali, kalua kamu beruntung, kamu bisa satu lift sama para pramugari. Tentu, karena sudah tak di provinsi Aceh, mereka tak lagi mengenakan kerudung.

cafe yang berada di lobby hotel dan buka 24 jam ( foto by : GOOGLE )


The Crew Hotel Kualanamu
Alamat: Jl. Arteri Kuala Namu No.15, Tumpatan Nibung, Kec. Batang Kuis, 
Kabupaten Deli Serdang, Sumatera Utara 20372
Email: reservation@thecrewhotel.co.id
Phone/WhatsApp: +62 823-6521-1199

Menjelajah Masjid Cheng Ho, Jawa Timur

$
0
0



Saya memekik gembira!

Berlompatan di depan laptop. Sampai dimarahi oleh istri. Tengah malam, kenapa begitu ribut. Padahal, anak-anak sudah terlelap. Tinggal saya dan istri yang masih terjaga.

Pasalnya, pesawat yang akan menerbangkan saya ke Surabaya, adalah Garuda! Dan, berjenis Airbuss A330. Pucuk di cinta, ulam pun tiba. Hastag naik garuda tahun 2019 selesai sudah. Ntah, tahun depan.


Ini, adalah undangan  kedua saya sebagai salah satu Blogger di acara Badan Pembinaan Ideologi Pancasila. Yang pertama, di Anyer Provinsi Banten. Di Hotel yang pada malam terakhir, Kasur saya bergoyang kencang. Saya sempat berpikir jika itu gempa. Ternyata, kasur saya ada yang menggoyangkan dengan hebat. Padahal, saya hanya sendiri di kamar tersebut. Hmm..

Yang kedua, undangan datang lengkap dengan tiket Garuda. Kali ini, tujuannya adalah Surabaya. Hotelnya, Shangri-La. Kamarnya kali ini aman. Dan yang terpenting dari itu semua adalah, saya naik garuda yang seri Airbus330. Dan, kembali lagi ke Surabaya untuk kedua kalinya.



Ada banyak hal yang ingin saya lihat di kota Tri Rismahariniini. Mungkin, nanti bisamenjadi referensi untuk kota saya, kota Banda Aceh.Harus di akui, ketika melihat rundown acara dari Persamuhan Pendidik Pancasila, hampir tak ada jadwal jalan-jalannya. Hanya ada ke Pandaan, Pasuruan. Itu pun hanya untuk menghadiri acara pembukaan.

Saya, di satu sisi, tak terlalu menyukai acara yang berada di dalam ruangan. Apalagi bila terus menerus. Bingung saja rasanya. Di sisi lain, saya juga tak kuat bila seharian di panas terik. Suka masuk angin dan takut hitam. Halah..

Namun, saya percaya, setiap perjalanan pasti akan membawa hikmah tersendiri. Pun demikian di perjalanan kali ini. Ya, minimal ke Surabaya. Minimal naik garuda. Syukur-syukur, jika pulang, mampu membawa sekotak sempa(k)baru. Tiba di pandaan, acara berlangsung seperti biasa. normatif sekali. Sampai akhirnya…

“kita jalan-jalan yuks? Yang dekat-dekat aja?” ujar kak Rere. Yang juga seorang blogger dari Medan. Yang turut menjadi salah satu peliput acara.

“iya, Yuks. Ke masjid Cheng Ho aja” teman yang lain menimpali. Semuanya, kami bersepeluh langsung bergegas. Ke masjid Cheng Ho yang berada tak jauh dari tempat acara.

Masjid Cheng Ho Surabaya Di Waktu Dhuhur


Masjid yang bernama asli, Masjid Muhammad Cheng Ho di resmikan pada tanggal 13 oktober 2002. Masjid ini sepintas, begitu menyerupai kelenteng, rumah ibadah Tri Dharma. Begitu kental rasa etnis Thionghua. Bahkan sampai ke nuansa warna. Pun, gerbang masuk ke Kawasan masjid pun tak luput dari gaya arsitektur china abad pertengahan.



Memori saya berkelebat, teringat akan perjalanan ke Kota Tua Jakarta, beberapa tahun silam. Di sudut Pecinan Jakarta itu, berdiri sebuah rumah ibadah dengan nuansa yang sama. Namun, bukan masjid melainkan Gereja Katolik. Gereja Santa maria De Fatima. Keduanya, memiliki benang merah. Yaitu, sama-sama bernuansa Thionghua. Pun, terbuka untuk umum.

Saya memang tak sempat sampai masuk ke dalam gereja tersebut. Walaupun rasa di hati begitu penasaran, bagaimana nuangsa abad ke 19 dalam gereja tersebut. Apakah hanya di luar bangunannya saja yang bernuansa Cina, ataukah sampai ke ruang peribadatannya juga



Siang di Pandaan, begitu menyengat. Saya menyempatkan diri untuk masuk ke dalam masjid. Tanpa harus menunggu siapapun. Toh, waktu telah memasuki ba’da Dhuhur. Saya sudah bersarung. Lengkap dengan baju gamis. Keluaranterbaru dari salah satu merk baju local dari Aceh. Ija Kroeng. Kurang Islami apa lagi? Halah..

Mimbarnya, megah sekali!

Ini pertama kalinya sama melihat sebuah mimbar untuk Khutbah Jumat dan ceramah yang terbuat dari batu Granit. Semimbar! Granit semua. Tiang pengapit di sisi imam masjid berbalut granit. Nuansa Thionghua masih tersisa sedikit di dalam masjid. Karpet merah berbulu tebal menutupi permukaan lantai. Tak banyak ukiran kaligraphi didalamnya. Hanya ada tepat di atas mimbar, dan satu lagi di bagian sisi pintu masuk.



Masjidnya cukup nyaman. Bahkan sejuk jika membandingkan dengan cuaca siang di Pandaan yang begitu panas. Hari itu, mencapai 35 derajat celcius.

Puas mengelilingi bagian dalam masjid, saya kembali keluar. Menikmati sisi-sisi unik dari masjid ini. Rasa-rasanya, hampir tak mungkin, ketika sebuah masjid berhiaskan lampu lampion. Namun, saya menyadari satu hal. Agama Islam, berkembang mengikuti jaman. Rumah Ibadahnya, tetap berpegang teguh pada kaidah-kaidah agamanya.



Seperti hal kubah pada masjid. Kubah atau Dome itu berasal dari Bangsa Romawi. Tahun 100 Masehi. Mereka menerapkannya pada bangunan-bangunan megah dan kuil Agung. Pun, Menara Masjid. Menurut beberapa ahili sejarah arsitektur, Menara sudah dikenal semenjak masa Mesopotamia. Dan Sekitar 80 tahun setelah kematian Nabi Muhammad, baru muncul menara pertama.

Begitulah…

Saya tersenyum, terlepas dari klaim yang mengatakan Cheng Ho beragama islam ataupun non Islam. Ada kesenangan tersendiri ketika bisa kembali menyaksikan perpaduan dua budaya tua menjadi satu kesatuan. Bukanhkah hal itu mencerminkan sebuah sikap yang baik. Mencari kebaikan bersama, menjauhkan perbedaan.

“Pancasila itu tidak ada di negeri ini! Jikalau masih terjadi perpecahan. Pancasila itu tidak mengakar di budaya Indonesia, jika kita masih melakukan sesuatu yang diluar agama. Saya akan tantang kalian semua. Untuk mau menuntut koruptor sebagai sebuah pelecehan agama! Karena seorang koruptor menentang hukum rezeki dari Tuhan!”

Tutup Sujiwo Tejo di hari penutupan Persamuhan Pancasila. Sebuah acara yang dilaksanakan oleh  BPIP Pancasila di Hotel Shangrila Surabaya. Shangrila, yang berarti sebuah surge Fiktif, yang berada di Himalaya. Pun masih dalam Bahasa Thionghua..
 
mirip orang mana coba? Aceh? Thionghua? atau Portugis? Atau?


Etnis Thionghua Banda Aceh, Pelaku Sejarah Kemerdekaan Yang Terlupakan

$
0
0


“Jangan bilang kami ini orang Cina bang! Saya ini orang Aceh. Ini buktinya, kakek dan nenek saya dulu ikut nyumbang ke Negara Indonesia dan Aceh juga” ungkap pria yang bermata cipit itu, sembari menunjukkan sebuah surat utang negara Indonesia tahun 1950

Ziyad, anak bungsu saya sudah tak sabar lagi. Menanti esok pagi. Sabtu kali ini, menjadi berbeda baginya. Ia sudah merencanakan kegiatan di sabtu itu, dari jauh hari. Bahkan dari tahun lalu. Ketika ia bangun kesiangan, dan tak berhasil melihat barongsai. Iya! Ziyad begitu penasaran dengan Barongsai. Sebuah tradisional dari negeri tirai Bambu. 

Untuk bisa melihat Barongsai di banda aceh, hanya ada satu tempat untuk menyaksikan tarian yang diperankan oleh dua orang pemuda/i. berpakaian bak seekor singa. Tempat itu, Peunayong namanya. Sebuah desa yang terletak di kecamatan Kuta Alam, yang merupakan Kawasan Pecinan di kota yang bergelar Serambi Mekkah. Pun, tarian itu, seringnya hanya ditampilkan pada Tahun baru China atau lebih dikenal dengan sebutan Imlek. 



Sabtu, 25 Januari 2020. Ziyad begitu sibuk. Padahal masih begitu pagi. Ia sudah mandi. Sikat gigi, memakai baju rapi. Lalu membangunkan seisi kamar. Mulai dari saya, ibunya, dan dua adiknya. Baginya, tak seru jika hanya pergi berdua saja dengan ayahnya. Harus satu keluarga. Walaupun badan tengah kurang sehat, saya siap membawanya mengejar barongsai di salah satu Kawasan bersejarah di Banda Aceh. 

Informasi yang saya peroleh dari Kak Nelly. Ia adalah warga peunayong, seorang teman yang beretnis thionghua, hanya kenal di social media, belum pernah ketemu. Namun, banyak info mengenai kegiatan umat Budha dan Khong hu chu darinya. 

“Acara kebaktian mulai dari pukul 9 pagi, Start awal di Vihara Budha Sakyamuni. Untuk barongsai jam 8 pagi sudah keliling pasar Peunayong dan akan kembali ke Vihara pukul 10.40 wib. Semoga sesuai jadwal ya bang” begitulah pesan yang dikirimkan oleh kak Nelly melalui aplikasi messenger facebook. 

Ziyad dan Om Amin


Muka Ziyad, Bilqis dan Khanza, sempat kebingungan. Ketika satu persatu singa Barongsai memulai atraksinya. Satu persatu, ruko yang berada di Kawasan jalan TWK Daudsyah mereka masuki. Dan, rerata adalah ruko milik mereka yang beretnis Thionghua. 

Suara tambur, gong, dan simbal, ditabuh dengan suara yang semarak. Sesekali, terdengar begitu keras, sesekali suara tambuhan ditabuh dengan pelan. Tak ayal, keriuhan itu menarik warga sekitar. Bahkan ada yang dari ujung kota Banda Aceh yang sengaja datang untuk melihat pertujukan yang berlangsung setiap satu tahun sekali. 

Betapa kagetnya saya, ketika para pemain barongsai membuka kostumnya. Dua orang pemuda yang berkulit sawo matang, berambut ikal, dan bentuk wajah yang begitu Aceh. Ditambah lagi, ada beberapa penabuh simbal dan Gong yang menggunakan Jilbab. 

Mereka? Bukan etnis thiounhua. Mereka orang Aceh! Tak mungkin saya salah terka.  
Pantas! Jika kampung Peunayong ini, juga disebut sebagai sebuah kampung Keberagaman. Bagaimana tidak, ada begitu ramai suku dan agama minoritas yang tinggal di sini. Bahkan mereka telah ada, jauh sebelum Indonesia merdeka. Sebagiannya lagi, sudah ada sejak jaman kerajaan Aceh Darussalam.


Sejarah Aceh dan Negeri Cina (Tiongkok) bukanlah cerita baru. Perjalanan pertemanan ini sudah berlangsung semenjak jaman Kesultanan Pasai. Pasang surut memang. Namun, tak bisa dilepaskan dari sejarah, terutama kota Banda Aceh. Daerah yang bernama awal Peumayong yang berarti tempat berteduh atau memanyungi ini, kini di huni oleh beberapa suku atau etnis Thionghua. Dari suku Khe, Tio Chiu, Kong Hu, dan Hokkian. 

Puas menyaksikan pagelaran Barongsai, saya mengajak anak-anak dan istri untuk minum kopi sejenak. Sekedar melepas penat dan makan pagi. Di warung kopi langganan saya. Yang pemiliknya, masih teman dekat saya. Pun, beretnis Thionghua.



Seminggu Sebelumnya, 

Masih di warung kopi yang sama. Terjadi pembicaraan yang berawal dari candaan, sampai akhirnya menjadi serius. Saya lupa, dari mana awal pembicaraan saya dan Aheng. Pemilik warkop di Peunayong itu. Ia lantas mengatakan bahwa iya punya beberapa sertifikat kuno, keluaran awal Indonesia merdeka. 

 “Bang, ini sama saya, ada pecahan uang Rp 5 keluaran tahun 1959 satu ikat. Kita jual aja bang? Kalau laku banyak bisa kaya kita, Bang” saya, Aheng, dan beberapa teman lainnya yang duduk di meja kopi tertawa serentak. Saya masih berpikir, ini mungkin hanya cerita konyol. Mana mungkin dia ada surat itu dan uang tersebut. Begitu terbesit dalam benak saya. 

Tak lama, ia berjalan sedikit terburu-buru. Lalu kembali lagi. Dan duduk di kursi yang sama. Satu plastic tersaji di atas di meja. Satu ikat lembaran uang terlihat rapi namun lusuh termakan usia ia keluarkan. Seolah tak puas, ia mengeluarkan sebuah sertifikat Pinjaman Negara Indonesia yang tertanda tahun 1950.

Saya terkepak. terkejut, tak percaya, dan begitu bahagia. Melihat barang langka ini. Bagaimana bisa? Tak cukup sampai di situ, satu ikat lembaran uang kuno yang bernilai 5 rupiah masih tersusun rapi dalam ikatan tali sepatu. Merupakan uang kertas keluaran tanggal 1 Januari 1950.


Dan entah uang berapa lagi yang tak sempat saya lihat satu persatu. Ada tumpukan uang kuno yang begitu banyak di hadapan saya siang itu. Ada yang masih terbungkus rapi, dan ada yang hanya tersusun begitu saja. Tercampur berbagai pecahan dan beda tahun. 

Ia hanya tersenyum, ketika melihat saya yang sontak berubah tingkah bak anak kecil yang baru ketemu mainan. Tak ingin melewatkan begitu saja, saya segera mengabadikan beberapa lembaran uang tersebut dan surat utang negara itu. 

“Jangan bilang kami ini orang Cina bang! Saya ini orang Aceh. Ini buktinya, kakek dan nenek saya dulu ikut nyumbang ke Negara Indonesia dan Aceh” ungkapnya, yang membuat saya merasakan ada bening air yang mengalir dalam relung-relung diri ini. 



Benar apa yang dikatakan olehnya. Tak ada Cina di peunayong. Yang ada hanya orang Aceh. Bagaimana tidak, mereka tak punya kampung halaman di Tiongkok sana. Sudah turun-temurun mereka di Aceh. Di Peunayong itu, yang dahulunya sempat bernama Balai Cina. Yang dibangun oleh Sultan Iskandar Tsani, pada abad ke 17 masehi. 

Surat Pinjaman Negara Indonesia itu, mungkin cukup menjadi bukti. Jika etnis Thionghua di Aceh juga turut serta membantu perkembangan kota ini, sampai seperti hari ini. Namun, tak banyak dari kita yang mau duduk Bersama. Membangun rasa yang sama. Hanya dengan sedikit rasa saling menghargai, mungkin akan indah. 

Lalu, bagaimana dengan Hasil survei Kementerian Agama RI yang menempatkan Provinsi Aceh pada rangking terbawah (urutan 34) dalam indeks kerukunan umat beragama di seluruh provinsi di Indonesia? Entahlah, saya sendiri juga bingung. 

Gong Xi Fa Cai





Pantai Lampuuk Aceh Besar, Pantai Konservasi Penyu di Masa Depan

$
0
0
 “Adek-adek, kalau abang-abang yang mengambil dokumentasi ini masih di dalam garis batas, kita tidak akan melepaskan tukiknya dulu!”

Adon, pria yang bernama asli Ikhsan Jamaluddin itu, berbicara begitu keras. Begitu tegas. Padahal, matahari mulai turun ke peraduan. Waktu pelepasan tukik yang berjumlah 80 ekor ini mulai mencapai ujungnya. Bila tak dilepaskan segera, maka akan menimbulkan masalah baru. 

Beberapa fotografer yang berkumpul di dalam garis batas yang telah ditentukan. Dan, saya salah satu orang yang melanggar batas berkumpul. Semuanya mundur teratur, hingga akhirnya, masyarakat Lampuuk dan sekitarnya yang telah berkumpul, mulai melepas anak penyu. Suasana menjadi meriah, rindu bersambut. Antara debur ombak dan tukik yang merangkak menuju lautan luas.

Adon tengah memberikan pengarahan cara melepaskan Tukik Lekang di Lampuuk
Pantai Lampuuk di Aceh Besar ini, memang merupakan salah satu destinasi wisata laut terbaik di Aceh besar. Bahkan menjadi tujuan wisata utama bagi masyarakat kota Banda Aceh. Namun, siapa sangka, jika pantai yang selalu ramai dikunjungi saban minggu, menyimpan begitu banyak cerita. 

Tak banyak yang tahu, jika di pantai ini adalah Kawasan konservasi Penyu. Bahkan, beberapa penyu langka masih menjadikan Kawasan tersebut sebagai lokasi bertelur. Ada dua jenis penyu langka yang sering bertelur di pantai Aceh Besar, jenis penyu Belimbing dan penyu Lekang yang perlu dilestarikan. 

Jumat, 31 januari 2020, menjadi titik awal pertama kali saya menyaksikan kegiatan pelepasan anak Penyu Lekang di pantai tersebut. Setelah sebelumnya beberapa kali saya menghubungi Adon, menanyakan kapan diadakan pelepasan anak tukik. Sekalian saya ingin mengenalkan anak-anak kepada salah satu satwa yang sudah mulai langka ini. 

Dalam daftar IUCN telah menyatakan Penyu Laut masuk dalam Red List of Threatened Species (Daftar Merah Spesies yang Terancam). Rasanya, sangat wajar bila acara-acara yang penuh edukasi seperti ini, saya mampu menghadirkan anak-anak untuk belajar langsung di Alam.

kamera handphone tetap di tangan hihi
Hari itu, Adon terlihat begitu sibuk. Melayani 28 siswa-siswi Min Lampuuk yang penuh tanya. Setiap anak mengajukan begitu banyak pertanyaan. Mereka juga terlihat begitu serius mendengarkan penjelasan sembari menuliskan penjelasan Adon. Acara yang berlangsung di Pantai Babah Dua Lampuuk ini, terlihat begitu meriah. Kegiatan acara yang dilaksanakan oleh Aceh Japan Community Project dan Konservasi Penyu Lampuuk, menitik beratkan pada edukasi dini penyelematan penyu. 

“Tanpa penyu, pantai lampuuk nanti akan kesulitan untuk memancing ikan. Ayah-ayah kita nanti akan susah cari rejeki. Kenapa? Karena Penyu merupakan salah satu hewan yang menyehatkan terumbu karang. Kalau terumbu karangnya sakit, kek mana ikan di laut?” tanya Adon di sela-sela ia memberikan penjelasan kepada murid Min Lampuuk, Aceh Besar. 

“ikan akan hilang…!!!” jawab anak-anak itu dengan serempak.

salah satu kegiatan adalah melukis
Saya tersenyum, melihat percikan semangat yang membuncah dari diri putra-putri asli Lampuuk ini. Terlintas, dan terbayang, akan masa depan lampuuk akan semakin cerah. 

Ziyad, Bilqis, dan Khanza. Tiga abang beradik ini, begitu antusias. Melihat tukik yang bermain di tepian pantai. Pasir putih nan halus di Pantai Lampuuk, semburat senja yang merona perlahan, membuat suasana semakin syahdu. Satu persatu tukik pergi. Melarung hidup dalam lautan lepas.


Pantai Konservasi Penyu di Masa Depan di Aceh Besar


“Bang, coba abang bayangkan, jika di lampuuk ini, ada tempat khusus untuk menetaskan telur penyu. Dan itu bisa menjadikan Kawasan pantai Lampuuk ini sebagai tempat Konservasi Penyu di Aceh Besar.” Sore itu, wajah lelah terlihat begitu jelas dari wajah Adon dan beberapa temannya yang menjadi penggiat dari penyelematan Penyu. Namun, tidak dengan semangat mereka. Masih begitu berbinar. Tatkala ide itu diutarakan, saya mengangguk setuju 

Saya membayangkan, jika hal itu menjadi kenyataan. Betapa beruntungnya masyarakat Lampuuk pada khususnya dan Pemerintah kabupaten Aceh Besar pada umumnya. Ah, begitu keren! Membayangkannya saja saya sudah merinding. Melihat bagaimana nantinya Lampuuk, tak hanya menjadi Kawasan wisata laut, namun juga wisata edukasi penyu. Akan ada begitu ramai peniliti muda Aceh ataupun Nasional yang akan berkunjung ke sini. Hanya untuk meneliti si penyu ini. 

Tak sampai di situ, jika hal tersebut berhasil tentu akan memberikan nilai tambah ekonomi kepada masyarakat setempat. Satu hilang, tumbuh seribu. Jika selama ini, masyarakat masih ada yang mengambil telur penyu untuk di konsumsi dan dijual, nantinya, mereka pasti akan bahu membahu agar penyu menjadi lestari.


Komunitas yang telah berdiri sejak tahun 2011 ini, bukan tanpa masalah. Memang ada banyak pihak yang ikut membantu. Namun, masih begitu banyak bantuan yang untuk menutupi biaya bulanan yang tak sedikit. Mengingat biaya operasional mereka untuk kegiatan pemantauan, perawatan, dan lainnya mencapai kurang lebih 2 juta rupiah. Ini, belum lagi kebutuhan lahan untuk mengumpulkan telur penyu dan menetaskannya.

Kegiatan ini, mungkin terkesan sederhana, namun begitu bermanfaat. Demi anak-anak yang hari itu duduk berkumpul di saung-saung tepi pantai Babah Dua Lampuuk.

Jika kamu ingin tahu lebih banyak mengenai Konservasi Penyu Lampuuk, kamu bisa datang langsung ke Babah Dua, Pantai Lampuuk, Kabupaten Aceh Besar. Atau, kamu juga bisa mengontak Adon (0813-6041-8440) atau Yudi (0813-6045-8045) atau melalui instagram @konservasipenyu_lampuuk.




Menyusuri Jalan Lintas Jantho-Lamno, Ekologi Atau Ekonomi?

$
0
0

“Aku sudah bawa lakban nih Yud. Kalau yudi terlalu cerewet, kami lakban. Nanti kami ikat di tiang jembatan Jantho!” sergah bang Junha ketika baru saja saya masuk ke mobil. Terperanjat saya dibuatnya.

Pagi itu, kami berempat, saya, Bang Junha, Bang Boy dan Abrar, tengah bersiap melakukan perjalanan liputan. Berawal dari ide iseng, akhirnya menjadi menjadi serius. Memang hidup itu, harus dimulai dari candaan lalu menjadi betulan. Mirip seperti memilih pasangan ya, dari iseng, naik ke pelaminan. Eh…

Kami, hendak akan mencoba melintasi jalan hubung antara Kota Jantho kabupaten Aceh Besar dengan Kota Calang yang berada di kabupaten Aceh Jaya. Hanya penasaran saja, sudah sejauh mana proyek yang mangkrak belasan tahun itu tertangani kini. Yang terpenting adalah, bagaimana keadaan hutan di sana. Aman, ataukah benar seperti desas-desus yang berhembus. Hutan mulai botak, penebangan liar merajalela. Keadaan mulai tak terkendali, ataukah sebenarnya itu menjadi sebuah solusi untuk kemajuan Aceh di masa depan?


Harus diakui, Aceh membutuhkan banyak sekali sarana dan prasarana pendukung ekonomi. Mengingat begitu tertinggalnya daerah ini dari belahan Sumatera lainnya. Ia yang dirundung konflik bersenjata puluhan tahun. Otomatis, hampir semua pembangunan berhenti. Gempa dan tsunami, juga datang berkunjung. Sehingga, sarana dan prasarana di Aceh, sebagian besar harus dibangun ulang.

Provinsi ini juga menempati provinsi termiskin di Sumatera. Angka kemiskinan meningkat tajam akibat konflik. Pernah menyentuh di angka 32,60%. Mungkin, karena atas dasar itulah jalan lintas ini dibangun. Jalan yang akan menghubungkan Aceh Besar dengan kabupaten Aceh Jaya. Lintas timur dengan lintas Barat Aceh.


Tanpa pernah mencari tahu lebih banyak mengenai kondisi jalan tersebut. Kami, cukup nekat untuk terus melaju mobil berpenggerak roda 4x4 ini. Jalanan mulus terpampang jelas. Berkelok menanjak menuju kota Jantho. Sebuah kota administrative sekaligus ibukota kabupaten Aceh Besar. Berdiri pada tahun 1976. Dengan tujuan, pemerataan ekonomi di Kawasan Lembah Seulawah Aceh Besar.

Tak lupa, sebelumnya membeli makan siang. Mobil terus melaju meninggalkan keramaian yang tak ramai dari sebuah kota kecil. Pemandangan mulai berubah. Padang savana terhampar begitu luas. Sejauh mata memandang. Bukit-bukit, tersusun rapi. Jalanan yang masih mulus, terlihat sepi. Hanya laju mobil yang terus berkelok-kelok. Padahal, jalanny cukup lurus. Apa yang hendak dikata, kotoran sapi warga tercecer sepanjang jalan aspal hitam.

Beberapa burung mulai terlihat. Terbang hilir mudik, bermain di pokok kayu yang mengering dimakan matahari. Sepintas, saya membayangkan ini, adalah Lombok. Atau suatu Savana di daerah Nusa Tenggara.

padang Savana di jalan Lintas jantho-Lamno (Foto By : Junaidi hanafiah )

“Turun bang!”

Eh? Kenapa ini? Jalanan memang sudah tak lagi mulus. Sudah berbatu. Dibeberapa bagian terlihat baru dikeruk oleh mesin. Beberapa sudut lainnya, begitu terjal. Dan kali ini, di depan kami, ada sebuah golondongan kayu yang baru siap dipotong. Dan, itu menghalangi laju mobil kami.

Kondisi salah satu sudut jalan yang begitu terjal ( Foto By: Junaidi Hanafiah )
Saya, dan bang Boy turun seketika. Sesaat setelah Abrar memberikan perintah. Kondisi benar-benar tak memungkinkan. Kayu besar itu harus dipindah segera. Tak bisa menunggu lama. Mobil berhenti di tanjakan dengan kemiringan 40 derajat. Ditambah, jalanannya berbatu!

Selesai memindahkan kayu, keadaan belum juga membaik. Mobil tak mampu menunggu kami untuk naik terlebih dahulu. Jadilah saya dan bang Boy harus menyusuri jalan yang menanjak itu. Berdiri saja sudah begitu sulit, ini harus ditambah menapaki jalan tersebut sampai ke atas. Jaraknya memang tak jauh. Hanya sekitar 150 meter. Tapi? Umur nggak bisa bohong. Nasib harus selalu duduk depan laptop dan handphone akhirnya membuahkan nafas kuda! Saya memilih duduk sesaat. Nafas tersengal berat. Jantung berdegup tak karuan. Pitam!

Memilih Ekologi Atau Ekonomi?


foto by : Junaidi Hanafiah/mongabay

Suara deru mesin chainsaw terdengar bertalu-talu. Menyambut kami yang terpaksa turun dari mobil. Jalan lintas ini, putus. Tidak ada lagi jalan untuk dipacu. Mentok. Ternyata jalan lintasnya belum selesai. Memang berdasarkan informasi yang beredar di media massa, jika jalan ini ditargetkan akan selesai pada pertengahan 2022. Posisi berdasarkan titik GPS, kami masih dalam kawasan Aceh Besar. Tepat di titik tengah Ulu Masen.

Di sini, dilemma terjadi.

Pemandangan sekitar adalah hutan yang masih padat. Sangat padat malah. Dan, Kawasan ini, masuk dalam Kawasan hutan Lindung Ulu Masen. Salah satu hutan lindung yang masih tersisa di Aceh. Ulu Masen merupakan perpaduan hutan dataran rendah dan dataran tinggi dengan luas 738.856 hektar yang membentang di lima kabupaten. Yaitu, Aceh Barat, Aceh Jaya, Aceh Besar, Pidie, dan Pidie Jaya.

Jalannya masih Mentok!

Hutan Ulu Masen ini, tidak hanya mampu memberikan manfaat ekonomi dan sosial bagi masyarakat yang hidup di sekitar kawasan, tetapi juga berperan penting sebagai sumber air bersih berkualitas.

Jika demikian, bagaimana dengan tujuan awal pembangunan jalan ini, yang dianggap sebagai salah satu penyokong sumber ekonomi masyarakat dua belah pihak kabupaten di Aceh?

tampak jalan dari Google Earth

Di satu sisi, ada ekonomi yang diharapkan dari proyek jalan yang telah menelan dana negara hampir 1 triliyun rupiah. Di sisi lain, ada banyak habitat yang telah rusak dan diprediksikan akan semakin rusak. Mengingat semakin mudahnya akses untuk illegal logging dan perburuan satwa liar.

Mencontoh Taman Nasional Way Kambas, Lampung yang membangun jalan lintas dengan tujuan wisata. Memang, tak bisa dibandingkan begitu saja antara jalan Nasional Way Kambas dengan Jalan Lintas Lamno-Jantho ini. Akan tetapi, yang mampu kita petik pelajaran dari pembangunan tersebut adalah peruntukan dan system tata kelola. Di sana, penjagaan begitu ketat. Hampir bisa dipastikan tak ada kegiatan illegal dalam bentuk apapun.

Kebun masyarakat di tepi Jalan Lintas jantho-Lamno

Minimal, provinsi Aceh hari ini bisa belajar mengenai tata kelola penjagaan Kawasan hutan. Minimal, bagaimana menjaga agar kegiatan yang berpontensi merusak tidak terjadi di Kawasan Hutan Ulu Masen. Atau mungkin, nantinya, mampu diterapkan di seluruh Hutan tropis Aceh. Betapa kayanya Aceh akan ekologi, tanpa menafikkan urusan perut rakyatnya.

Akankah Aceh mampu, mengejar ketertinggalan ekonomi dan pembangunannya, sekaligus menjaga habitat alamnya yang masih cukup kaya. Bukankah hutan juga mampu memberikan nilai tambah yang cukup kepada masyarakat sekitar. Mungkin, salah satunya dari sector wisata jelajah alam. Atau wisata adventure lainnya tanpa harus terus merusak alam yang ada.


Ekologi, atau ekonomi? Atau kita mampu menjalankan keduanya. Tanpa merusak atau merugikan satu dan lainnya. Jika satu atau dua kabupaten diuntungkan dengan keterbukaan akses jalan ini, maka bagaimana dengan tiga kabupaten lainnya yang juga mengantungkan sumber air dan kehidupan dari Kawasan hutan Ulu Masen ini?

Sore mulai turun ke peraduan. Suasanan kian syahdu. Walaupun perjalanan ini, terkesan gagal. Namun ada sedikit rasa bahagia di dalam hati. Bagaimana tidak, kami masih dapat merasakan (sisa-sisa) betapa sejuknya air sungai yang mengalir dari hulu hutan Ulu Masen. Yups, kami mandi sungai! Tanpa ada banyak orang. Tanpa deru suara mesin potong kayu, hanya kicau burung,

Ada rasa yang tak bisa bohong, jika saya, dan ketiga teman lainnya berharap. Agar cerita keindahan ini, tak hilang dimakan waktu. Atau terlindas oleh pembangunan yang akan menyertai jalan lintas yang bertujuan untuk meningkatkan ekonomi Aceh. Katanya…

betapa sejuknya sore di sini...

salah satu sungai yang mengalir ke kawasan Jantho dan sekitarnya

kondisi hutan yang mulai rusak





Danau Sentarum, Sensasi Berlayar di Lahan Basah Terbesar di Asia Tenggara

$
0
0
Pantat ini, kebas. Tak ada rasa lagi. Mata berkunang-kunang. Jemari ini, mulai lincah meraba koyok di dalam tas pinggang yang lusuh. Lengkap sudah, pantat mati rasa, kepala cenat-cenut, tubuh berkeringat, mata kunang-kunang. Tapi semua ini, begitu menggairahkan! Rasa ini, seolah ingin melesak keluar dari dalam dada. Rasanya, pasti kecewa. Tatkala sudah berada dalam kawasan sekitar danau,

Menjemput Asa, Di Nias dalam Festival Yaahowu 2018

$
0
0
sumber foto : http://niasselatan.travel "Yud, kamu tahu? di Pulau Nias ada suku Aceh. Mereka sudah lama bermukim di sana dan tak pernah menginjakkan kakinya di Aceh" Bang Abu Khaidir, Seorang photografer kawakan di Aceh, memberikan penjelasan singkat. Namun membuat saya begitu bingung. Benarkah? Beberapa pria terlihat berdiri sebanjar. Siap melompati sebuah prisma segi empat berujung

Musim Hujan Yang Romantis Di Banda Aceh

$
0
0
November musim penghujan, kawan. Banyak yang mengeluh tiap kali ingin berpergian jika telah masuk musim penghujan. Namun ada pula orang yang suka dengan aroma tanah basah ini. Kadang saya sendiri agak sukar memilih antara cuaca bersuhu panas, atau bernuansa romantis untuk sekedar traveling. Lebih seringnya saya tak bermasalah dengan kedua kondisi ini. Bila ingin jalan, ya jalan saja. Toh,

Menjajal Ombak di Pantai Sorake, Nias Selatan

$
0
0
Pagi masih, keriuhan terjadi di depan Sosui Resort tempat saya menginap. Sebagian orang berusaha mendirikan tenda. Sebagian lainnya, memasang tiang dan net untuk pertandingan bola Voli Pantai. Dan, sebagian lainnya, sibuk meluruskan garis-garis yang akan menunjukkan jika lapangan bola voli akan berdiri sesaat lagi. Tak lama berselang, sebuah lapangan Voli pantai ekspres berdiri, lengkap

Sehari di Desa Bukit Matahari, Nias Selatan

$
0
0
“Pinggir! Pinggir! Pinggir semua!” Teriakan pria-pria berbaju Baru Oholu semakin menjadi-jadi. Puluhan pria dewasa dengan perlengkapan perang melompat-lompat. Baluse (perisai) yang berada ditangan mereka, bergeretak tak henti. Pedang tajam diacungkan tinggi-tinggi. Tak hanya pedang atau Gari si so togo yang mereka acung ke atas, tapi ditangan mereka juga dilengkapi dengan Toho Balusa, atau
Viewing all 268 articles
Browse latest View live