“Bang, kita tadi nggak bisa berangkat lho Bang” seorang pria tambun, berparas sedikit jawa, berlogat kota metropolitan, tiba-tiba menyapa saya sesaat tiba di pelabuhan BPKS kota sabang. Pria bercelana pendek itu tiba-tiba datang menghampiri saya yang masih duduk diatas motor sewaan. Belum juga kunci kontak saya cabut, ia kembali bercerita mengenai pengalamannya pagi itu sesaat mencoba menyeberangi lautan untuk bisa kembali ke Banda Aceh.
Awan mendung yang kelabu, memberikan ruang sempit bagi mentari sore untuk menunjukkan sinarnya. Serasi dengan suasana hati pria tambun itu. Wajahnya sedikit memelas. Sesekali mencoba menghibur diri sembari terus menggenggam botol air minum kemasan.
“Ya Allah bang.. padahal tadi ombaknya gede banget loh bang Yud. Kami di kapal udah pada mulai yasinan” Pria yang belakangan saya ketahui bernama Rudi ini masih mencoba menceritakan apa yang dialaminya sesaat ketika mencoba naik kapal KMP sesaat lalu. Saya, hanya bisa tersenyum. Sembari mencoba menyembunyikan kegetiran yang sama seperti dirinya. Karena, secara tak langsung, saya pun termasuk korban Si Angin Timur
Ubur-Ubur Merah Maron di Teluk Sabang
Duit dari travel yang menyewa saya sebagai salah satu tour guide-nya mulai menipis. Para tamu masih harus di urus untuk masalah tiketnya. Bila saya harus tertahan sampai 2 hari lagi? Habislah sudah! Mungkin saya harus menceburkan diri di pelabuhan BPKS ini, lalu pingsan tersengat oleh Ubur-ubur merah maron yang sedang bersenggema di bawah dermaga. Untuk apa? Hanya agar ada tumpangan ambulan gratis ke kota Banda Aceh. ah, semoga saja tidak harus demikian.
Keadaan masih sedikit berbaik hati. Cuaca di dermaga Pelabuhan BPKS kota sabang tidak seganas balohan pagi tadi. Angin timur yang bertiup sedikit tertahan oleh bukit yang berbaris menutupi dermaga. Tak ada debur ombak yang menggila di sini. Satu persatu perahu nelayan berlabuh dengan tenang. Ada yang sedang membawa para wisatawan untuk berkeliling di teluk kota sabang. Ada juga yang mencoba memberikan sensasi bermain ubur-ubur yang membuat laut tenang menjadi gaduh karena teriakan histeris anak gadis.
Sebuah sensasi luar biasa. Pemandangan yang tak biasa ini, membuat saya, Bang rudi, dan beberapa para pengunjung di dermaga BPKS sedikit terobati kegetiran hatinya. Kami tersenyum bahagia akan tontonan gratis sore itu. Lahan dermaga yang luas, ditambah lagi, tidak ada pengunjung yang memenuhi spot ini layaknya spot Tugu Nol Kilometer, membuat kami sangat leluasa. Sesekali ke ujung, sesekali mengambil gambar, sesekali melirik sampai ke kolong dermaga. Aman, tak perlu takut tersenggol pengunjung lain. Karena, tempat ini masih sepi. Sepi yang menghibur diri.
Sensasi Santai Di Pantai Pulau Klah
Saya, tak pernah ingin ambil pusing saban kali keadaan mulai menjepit. Itenary yang sudah habis dari travel, tapi tamu masih belum di hantar sampai ketujuan pulang, sebenarnya menjadi beban yang sulit sekali diungkapkan. Tapi, sebisa mungkin, saya berusaha untuk tenang.
“bang Yudi harus tenang, kalau bang yudi juga panic, maka tamu abang akan lebih panic lagi” Bang Rudi, seolah mengerti kegelisahan saya sore itu. Pria ini, walaupun baru kali pertama ke pulau Weh, dan mengalami hal yang sedikit tak nyaman ini, masih bisa menerima keadaan. Ya, apa hendak di kata? Semua sudah kehendak alam. Kapal tak bisa berangkat sampai besok pagi karena cuaca buruk.
Baca Juga Galau di dermaga Balohan Sabang
Dari ujung dermaga, kami berdua melepaskan pandangan ke arah barat. Sepertinya, tak akan ada senja yang mengjingga. Hanya mendung, mendung, dan mendung. Duduk di pinggir dermaga menjadi hal yang menyenangkan. Tepat di kaki kami, ada ubur-ubur yang mencoba pencari pasangannya. Berduyun-duyun seperti hendak ada pembagian sembako. Di hadapan kami, pulau klah menghijau pekat karena berselimut awan kelabu.
Permukaan laut yang tenang, beberapa bocah kecil masih bermain di pantainya. Menyelam, menyebur, dan sesekali ia memekik kegirangan.
“tadi saya sempat ke situ bang Rudi”. Saya mencoba kembali memecahkan suasana hening yang terjadi seketika diantara kami.
“Dari tempat makan rujak yang menjadi spot favorite para turis mengambil foto pulau klah itu, ada jalan menurun yang sedikit tertutup. Saya mengambil haluan ke kiri itu tadi sehabis dari pantai Gapang. Saya penasaran, bang. ternyata, tempatnya keren bang!”tiba-tiba semangat saya kembali hadir seketika. Dan, saya berharap ini bukan karena suasana mulai romantic di antara dua lajang jauh dari istri #Yaakss!
Bang Rudi masih tak percaya, ketika saya ceritakan bahwasanya air laut di sana begitu tenang. Tak ada angin timur yang bertiup kencang menghempaskan gelombang dengan kasar. tak ada ombak yang bergulung-gulung bak tsunami kecil menerpa pantai. Tak ada semua itu. Hanya ada ketenangan, kesyahduan, dan sebuah kerinduan akan masa kecil yang hilang. Hanya beberapa orang – lagi lagi tempat ini sepi pengunjung- yang ada di situ. Satu warung sederhana menjual beberapa botol air kemasan. Ibu penjual warung itu melempar senyum kepada saya. Pertanda, tempat ini masih sangat alami dari rongrongan resort yang menggurita di pulau weh.
Pasirnya hitam. Beberapa batu granit besar bertumpuk membentuk formasi tak tentu di bibir pantai. Saya sempat merasa seperti tak berada di sabang kala akhir pekan. Sunyi sekali. Hanya debur ombak yang mengalun pelan. Ah, betapa akhirnya saya menemukan rasa syukur yang teramat dalam. Tuhan, mempunyai rencana yang indah untuk saya yang nelangsa dalam kesendirian.
Mampir ke Kuburan Eropa Masa Lalu
Setelah puas membuat takjub bang Rudi, saya, mohon pamit. Sesaat lagi akan magrib. Saya tidur sendiri di sebuah penginapan tak jauh dari kota Atas. Banyak dana yang harus saya hitung ulang. Banyak kwitansi yang harus saya rekap kembali. Malam nanti, saya harus sudah menyerahkan laporan melalui aplikasi Whatsapp kepada pimpinan Pocket Tour.
Motor sewaan yang berbodi macho ini saya pacu sesuka hati. Serasa jiwa muda kembali menghampiri. Jalanan kota sabang, seolah berubah menjadi sirkuit balapan yang menantang. Secara tak sengaja, saya membaca sebuah plang penunjuk arah. Makam Eropa! Wah, ini dia! Bangunan sejarah, atau tempat yang kaya sejarah tak akan lengkap bila tak ada makam pelaku sejarahnya.
Kesempatan tak akan datang dua kali. Begitulah hati kecil saya berbisik. Mumpung keadaan masih mendukung. Mumpung, berjalan seorang diri. Kenapa tidak puaskan rasa penasaran dalam diri?
Het Kerkhof
Tempat ini sudah menjadi pemakaman warga sipil dan militer Eropa berkembangsaan Denmark, Yunani, Perancis, Jerman, dan terutama Belanda sejak tahun 1800an. Mereka Meninggal karena factor usia, penyakit, dan peperangan. Sebagian dari makam-makam ini masih diziarahi oleh keluarga dan pemerintahnya sampai saat ini.
Di sini juga dimakamkan Jacques Carissan, Pahlawan nasional Perancis yang gugur dalam pertempuran laut antara Kapal Perancis “Mousquet” dan kapal Jerman “Emden” pada perang dunia pertama pada Oktober 1914 di Selat Melaka
Cerita singkat dari plakat berdasar hitam yang menempel di pintu gerbang kompleks pemakaman membuat saya tersenyum bahagia. Lengkap sudah cerita sabang hari ini. Ada pahlawan dari negeri eropa dalam areal makam yang terlihat sedikit mengerikan ini.
Walaupun senang, bisa menyaksikan komplek areal makam dari luaran saja, tapi saya masih memendam hasrat untuk masuk ke dalamnya, dan membaca nama pada setiap nisannya. Tapi apa nyana, motor saya mati tiba-tiba. Bulu kuduk berdiri dan merinding. Ini pertanda tak enak. Sebaiknya saya balik ke penginapan.
Perjalanan singkat ini di sponsori oleh :