“Menurut orang tua bilang, beberapa hari mendekati tanggal tenggelamnya kapal gurita, atau sebelum tenggelamnya kapal tersebut, lautan sabang akan berombak besar dan angin akan luar biasa kencang. Sepertinya, laut memang meminta korban.
pelabuhan Bebas Sabang |
Saya duduk tempat menghadap ke pantai. Yang kala pagi menyingsing, akan terlihat Pulau Seulako tepat dihadapan. Tapi, ini malam. Malam yang sangat sibuk. Hilir mudik para wisatawan begitu cepat. Beberapa mobil sewaan berhenti di penginapan yang saya inapi malam itu. Hanya untuk bertanya, apakah masih tersedia kamar kosong untuk mereka melepas lelah di malam yang dingin.
Angin timur sepertinya akan mencapai puncaknya. Ombak laut di perairan Pulau weh berombak sejadi-jadinya. Dentuman ombak laut yang biasanya melembut ketika tiba ditepian, malam itu tidak bersahabat. Beberapa speedboat di depan penginapan harus diikat dengan erat. Sesekali, terdengar suara keras dari tengah lautan. Bang isan, bang Asri, dan seorang bapak tua, yang duduk bersisian dengan saya malam itu hanya tersenyum simpul. Dan, hujan pun turun.
view dari kamar penginapan, keren sih tempatnya, tapi kamar mandinya nggak ada di dalam kamar hehe |
Bisa jadi, apa yang dituturkan bang Isan dan kedua temannya mungkin hanya isapan jempol belaka. Saya juga mendengar kisah mengenai terdamparnya kapal yang memuat 44 orang alim ulama di abad ke 17 kala hendak menyambangi tanah suci. Dengan Ummi Sarah Rubiah adalah salah satunya. Yang pada akhirnya, nama dari Pulau Rubiah yang bersebelahan dari pulau seulako, diambil dari namanya.
spot baru yang nggak banyak para wisatawan tahu :D |
Kala jaman Colonial Belanda berhasil mengusai kota sabang, perang dunia I berkecamuk di lautan samudera Hindia. Maka, peran Pulau Weh kala itu menjadi sangat strategis. Saking strategisnya, jepang kala perang dunia ke II sampai bela-bela membangun benteng pertahanan dalam tanah hampir di seluruh pulau! Soal kapal perang yang karam tak usah lagi diceritakan. Mulai dari kapal Sophie yang kini menjadi salah satu daya tarik wisata bawah laut sabang, sampai beberapa kapal lainnya yang harus karam dihantam torpedo.
*****
Selasa 9 februari 2016, tepat sehari setelah perayaan imlek. Saya, sendirian terdampar laksana seorang pengungsi yang hendak di usir dari tanah kelahiran. Pelabuhan Balohan sabang sesak tak terkira. Ribuan orang berduyun-duyun mengantri tiket. Mulai dari calo sampai gadis eropa yang berpakaian minim. Berbaur menjadi satu. Tak ada batasan yang jelas kali ini. Kalaupun hendak berbicara syariah islam yang menjadi salah satu dasar hukum daerah provinsi Aceh, sepertinya tidak berlaku di pelabuhan.
serasa dimanaaa gitu sampai sesak begini |
mencoba cari pemandangan lain ketika sudah terlalu lelah mengantri :D |
Tak ada antrian tiket khusus wanita. Ah, alih-alih antrian khusus wanita, toh loket tiket yang di buka hanya satu kok. Kondisi semakin memanas kala informasi mengenai keberangkatan kapal, jumlah tiket yang diperjualbelikan, tak ada.
“what happen with this situation bro?” seorang bule Eropa, bertubuh kecil dan beraksen latin menggerutu di depan antrian. Dua teman gadisnya hanya mengangkat bahu. Mereka juga bingung. Sama seperti saya.
Ketika hari semakin siang, keadaan semakin panas. Aroma kamar mandi mulai mengeranyangi setiap lobang hidung anak manusia. Satu persatu mereka menutup hidung. Ada yang berusaha tak acuh. Sampah sisa makanan mulai berlalat. Tak ada cerita indah hari itu mengenai Sabang. Semuanya hanya ada keluhan dan keluhan. Bingung, saat seperti ini, di mana para petugas ya? Ah sudahlah, saya memutuskan untuk memulai obrolan dengan dua gadis bule asal Austria. Siapa tahu nanti bisa menjadi teman couch surfing #eh..
Saya selalu percaya, cara Tuhan bekerja itu sungguh sangat mempesona. Dan, hari itu, Allah memberikan sebuah hiburan dalam hidup kesemberawutan pelabuhan Balohan siang itu. Tiket habis terjual! Dan, kapal Cepat (speedboat) tidak berlayar karena angin timur kembali bertiup. Antara tersenyum dan miris, saya hanya bisa mengelus dada. Dua loket saya jabanin tak satupun ada tiket tersisa. Hingga akhirnya, seorang tamu dari Medan, sumatera memberikan tiket kapal roro yang tadi lebih di beli olehnya.
Nasi siang baru sedap tersantap pukul 2 siang. Sepotong ikan goreng, sejumput kuah asam pedas, tanpa sayur berharga 13.000 rupiah saja. Antara tercekat tapi terpesona. Si penjual berbicara menggunakan bahasa inggris dengan saya. Dalam hati, sepertinya cerita ini belum berakhir sebelum saya menginjakkan kaki kembali di kota Banda Aceh.
satu persatu ibu-ibu itu tumbang dan tertidur dalam lelahnya mereka |
bang Arl bergaya sembari menghilangkan suntuk :D |