Danau Lut Tawar, Aceh tengah |
Magrib mulai menggelayapi malam dipunggung Seulawah. Awan-awan jingga sudah memudar. Bergantikan kepakan sayap kelewar yang memutari puncak-puncak bukit. Sesekali, dia berdiam di sebuah pucuk pohon pinus. Sesekali dia terbang tanpa arah.
Malam tidak gelap kala itu, purnama yang membiru menemani perjalananku yang tak menentu. Deru mesin jeep mulai mengaung, memecah kesunyian di puncak seulawah. Kabut memutih mulai bergelayut di ranting-ranting pokok cemara. Persis seperti penunggu yang mematung sembari terus mengawasi setiap pengendara yang berlalu lalang. Bergidik bulu romaku dibuat olehnya.
Jalan aspal mulai gembung-gembung. Layaknya bisul pada tubuh busukku. Mobil jeep mulai kehabisan cara, tangki mulai bocor, tapi malam semakin gelap dan dingin. Sesekali, lolongan anjing hutan bersahut-sahutan. Seperti sebuah panggilan kematian yang turun dari puncak gunung yang beku.
Kelimpungan di tengah kabut dan malam yang dingin bukanlah sebuah mimpi dalam sebuah perjalanan yang indah. Tapi? Cinta ini harus ku labuhkan. Hasrat ini harus di sandarkan. Di sebuah tempat dalam bentangan alam gayo. Kalau begitu, biarlah malam ini aku bermalam di kakinya. Menarik selimut kabutnya. Sembari mencoba terlelap dalam pekatnya malam. Mobil rongsokan ini sudah mati total. Hanya bisa menunggu pagi untuk kembali menata persneling dan dapur pacunya. Aku terlalu lelah. Lelah menata hati, dan lelah bermandikan sinar purnama malam itu.
Diaroma malam, lolongan anjing gila, celetukan monyet-monyet bandot, yang berusaha memperkosa wanita tetangganya, membuat isi kepala ini berputar seratus delapan puluh derajat. Aku kini kembali harus menelan kecewa. Hanya sebuah buku diary yang entah dari mana yang hanya mengisahkan sebuah kematian yang pilu.
Dulu, beberapa tahun yang entah kapan, aku pernah bertarung mengeluti kematian dan cinta secara bersamaan. Tapi kini, sepertinya takengon menggetarkan kembali cerita lama itu. Jungkir balik aku mencoba mencernanya. Sekonyong-konyong kecantikan punggung Danau Lut Tawar mencoba memadamkan api cemburu. Padahal, tak ada kekasihku di sana. Kekasihku, ada di pinggir laut yang berpasir putih. Bermandikan cahaya mentari yang hangat. Bukan daerah dingin seperti ini.
Tapi, inilah cerita lain dari sebuah titik kehidupan. Malam, danau, dan cinta.
Perjalanan berlanjut. Badanku kini penuh oli mesin. Tubuhku kini berbau bensin. Sulut saja pakai rokok Marlboro. Pasti aku akan muntaz terbakar. Jalanan mulai ramai, Dari simpang Bireuen, aku putar haluan ke kiri. Menyusuri jalanan aspal mix yang mulus. Menyusuri lembah-lembah kesombongan anak manusia. Kebun sawit. Jalan terus mengular. Berkelok sesuka hatinya. Sesekali, tebing tua dan jalan aspal rusak menemani. Ah, aku pikir wajar saja. Jalan ini setua penjajahan di atas negeri ini.
Delapan jam perjalanan. Menjadi sebuah perjuangan tanpa henti demi sedikit rindu dan asa. Mengantarkan sebuah kesemberautan dalam lingkar kepala. Aku bingung, menjewantahkannya bagaimana lagi. Biarlah, cerita ini ku sudahi sampai disini.
Karena takengon, selalu mempunyai tempat sendiri dalam cerita cintaku. Mungkin, tahun-tahun yang bergulung, akan kembali mengantarkanku bersanding dalam kesunyian malam, desiran cinta, dan panggilan kematian…
Dedicated to : seorang teman yang kini telah menikmati kensuyian di sebuah tempat yang tak seorangpun tahu. I`m gonna miss u Na . Setengah mati aku menulis sepertimu, setengah mati pula aku kelimpungan. Padahal, aku ingin sekali meniru caramu bertutur. tapi, kau pergi begitu cepat. Baiklah.. aku coba mengerti. bahwa sebenarnya, inilah yang kau cari kan? http://sarinahyamin.blogspot.com/