“Pinggir! Pinggir! Pinggir semua!”
Teriakan pria-pria berbaju Baru Oholu semakin menjadi-jadi. Puluhan pria dewasa dengan perlengkapan perang melompat-lompat. Baluse (perisai) yang berada ditangan mereka, bergeretak tak henti. Pedang tajam diacungkan tinggi-tinggi. Tak hanya pedang atau Gari si so togo yang mereka acung ke atas, tapi ditangan mereka juga dilengkapi dengan Toho Balusa, atau tombak dengan pegangan berwarna hitam. Berujung cukup tajam dan runcing. Sasarannya, adalah jantung!
Kerumunan pendatang yang tadinya mengelilingi para pria perkasa tersebut, harus bubar. Memberikan jalan bagi arakan-arakan lengkap dengan senjata persiapan perang. Yang paling menarik adalah, cara mereka membunyikan Baluse atau perisainya. Perisai yang biasanya digunakan untuk berperang ini, terbuat dari kayu ringan. Pada pertengahan bagian bawah telah dilubangi dan diberi tempat pegangan. Pada bagian belakang terdapat ukiran ular. Beberapa diantaranya, ada yang membawa baluse peninggalan keluarga mereka turun temurun.
para penggiring Famadaya Harimao |
Mereka akan mengantukkan perisai tersebut ke lengan mereka. Lalu keluarlah bunyi, buk..buk..buk.. bunyinya padat, dan membuat siapa pun yang mendengarnya akan mengercitkan hati. Lalu berjalan menjauh.
Pria-pria ini, membentuk barisan yang cukup rapat dan padat. Untuk bisa menembus kebagian tengahnya, terasa begitu sulit. Sepintas, mereka membentuk lingkaran per lingkaran. Lingkaran pertama, terdapat para prajurit lengkap dengan kalabubu, kalung pelindung leher, serta tombak. Lingkaran kedua, terlihat pakaiannya semakin lengkap. Tak hanya memakai pelindung leher, mereka juga memakai Oroba si’oli, baju besi. Namun di lingkaran ketiga, beberapa pria lebih muda, bertelanjang kaki dan dada, bersama-masa memanggul patung berbentuk harimau.
famadaya harimao |
Famadaya Harimao, begitulah masyarakat Nias menyebutnya. Ini adalah tarian yang biasanya dilaksanakan per tujuh tahun sekali. Dahulu, tarian ini digunakan untuk menyucikan keadaan desa dari berbagai penyakit dan marabahaya. Pelaksanaan Famadaya Harimao hari itu bukanlah dalam rangka peringatan tujuh tahun sekali, melainkan merupakan rangkaian dari Ya`ahowu Nias Festival 2018. Ini, ialah acara puncak dari festival tersebut!
Hari itu, siang terik, namun, gerimis mengundang sesekali. Tapi tak membuat keriuhan berhenti begitu saja. Pagelaran pamungkas baru saja akan dimulai.
tarian perang nias, Maluaya atau Faluaya |
Para pemuda yang sedari tadi ikut mengarak replika patung harimau, mulai berdiri berjejer. Mengambil jarak, memasang kuda-kuda. Menanti aba-aba dari tetua desa. Tak lama, para penonton mulai menggila. Pemuda-pemuda gagah tersebut berlari sekuat tenaga, lalu melompati batu yang tersusun meninggi sampai 2,25 meter.
Menariknya, tak berhenti di satu pemuda, melainkan beberapa pemuda lainnya juga mengambil bagian. Terjadilah pemandangan yang spektakuler. Pemuda desa Bawomataluo (Bukit Matahari), meloncati batu tua yang terletak persis di sisi depan rumah Omo Sebua, secara sambung menyambung. Saya? Hanya bisa berdecak kagum. Menahan nafas setiap kali harus menekan shutter kamera.
Banyak orang yang mengatakan, jika budaya lompat batu tradisional Nias ini, adalah pembuktian agar si pemuda Nias boleh menikah karena dinyatakan telah dewasa. Namun, sebenarnya, hal tersebut tak sepenuhnya benar.
Fahombo Batu Nias, lompat batu tradisional Nias. |
Menurut penuturan Nitra, teman saya yang kebetulan juga adalah putri asli dari desa Bawomatulo, budaya turun-menurun ini sebenarnya sebagai ajang pembuktian diri. Jika mereka, sudah layak ikut berperang demi membela sukunya. Iya, sebenarnya budaya yang pernah diabadikan dalam uang pecahan seribu rupiah tahun 1992 ini, adalah bagian dari persiapan perang suku Nias.
Jika menilik literature sejarah, apa yang dikatakan oleh Nitra, benar adanya. Suku nias, dahulu dikenal sebagai suku yang sangat suka berperang. Baik antar suku, melawan penjajah Belanda, ataupun melawan invasi-invasi dari luar pulau. Saking seringnya mereka dahulu terlibat dalam peperangan, masyarakat Nias mampu mengembangkan sebuah budaya perang. Mereka mampu membangun pertahanan dan membuat senjata sendiri.
bapak ini, masih semangat untuk mengikuti seluruh rangkaian pameran budaya di desanya. |
Bahkan, para pemuda-pemuda di Nias dibesarkan untuk menjadi prajurit yang ganas dan pelatihannya dimulai dari usia dini. Sebagai hasilnya, Nias memiliki pejuang-pejuang yang kuat, ahli pembangunan, dan pandai besi. Tak heran jika dahulu, setiap desa dan suku membangun bangunan yang begitu strategis dalam peperangan lengkap dengan pagar batu yang rata-rata tingginya 2 meter. Hal inilah yang mendorong budaya lompat batu menjadi begitu melekat pada pemuda Nias.
Saya sempat menyaksikan bagaimana anak-anak usia belasan tahun bahkan ada yang masih berusia 10 tahun diajari melompat batu. Sorak-sorakan semangat bersahut-sahutan. Tak ada kata-kata yang merendahkan semangat mereka. Sampai satu-persatu anak-anak tersebut mampu melompati pembatas kayu yang disediakan oleh para orang dewasa. Tak heran, jika akhirnya, ketika mereka dewasa, melompati tembok batu setinggi lebih dari dua meter adalah keniscayaan bagi mereka.
yaks! inilah cara mereka belajar melompat batu |
Berbicara budaya perang orang Nias, saya jadi teringat sebuah fakta sejarah. Saking pintarnya mereka melompat batu, menombak dan berperang, Sultan Iskandar Muda (sultan kerajaan Aceh 1606-1636) pernah menggunakan jasa pejuang Nias dalam setiap invasi perangnya di Selat Melaka. Dari sini pula, hubungan Aceh dan nias berlangsung.
Di Pulau Nias sendiri, akan ditemukan orang-orang yang beragama islam bersuku “Polem”. Mereka lah orang-orang Aceh yang kini menjadi satu dalam satu kesatuan dengan Nias. Sebagian besar dari keturunan mereka ditemukan di desa Mudik dan juga di To’ene, tak jauh dari Teluk Dalam, Nias selatan.
Makam Pahlawan Nias, Saonigeho
in frame, Aci team Genpi.co mencoba menyusuri pemakaman kuno Desa Bawomataluo |
Puas menyaksikan Fahombo Batu dan Famadaya Harimao, saya diajak oleh Nitra, untuk bermain ke komplek pemakaman kuno masyarakat desa Bawomataluo. Menariknya, sebelum sampai ke areal pemakaman desa, Nitra mengajak saya menyambangi makam pahlawan negeri ini, sekaligus pahlawan kebanggaan masyarakat Nias, khususnya bagi Dewa Bawomataluo. Makamnya sederhana, namun, bentuk kepala menyerupai Naga atau disebut Lasara pada makamnya, menunjukkan kedudukannya yang tinggi.
Di sebuah prasasti, saya menjumpai informasi yang menyebutkan sepintas siapakah sang pahlawan Nias ini. Namanya, Saonigeho atau Silebah Pohon Beringin. Saonigeho adalah Si’ulu (pimpinan tertinggi) generasi kedua yang memerintah di Bawõmataluo setelah Si’ulu Laowõ. Ia mampu mengusir penjajah belanda yang berusaha merangsek masuk ke desanya dan Nias.
Makam Pahlawan Nias, Saonigeho |
Tercatat, ia berjuang mengusir belanda pada ekspidisi belanda pada tahun 1847, 1853, 1856, 1863 dan terakhir pada perang Hiligeho 1908. Dengan menyerahnya sang Si’ulu. Tak lain dan tak bukan, ia menyerahkan diri demi menyelamatkan harta yang termahal dari Nias. Yaitu Desa Bawomataluo dari pembakaran oleh pasukan Belanda dan pembantaian penduduk Nias itu sendiri.
Karena jasanya lah, kita masih bisa menyaksikan desa adat Bawomataluo. Berdiri anggun di bukit Matahari, membentang dengan empat penjuru angin. Menjadi sebuah benteng alami. Menjadi sebuah pembuktian perjuangan besar yang selaras dengan besarnya tiang-tiang rumah adat desa. Dan, Omo Nifolasara yang lebih dikenal omo Sebua, Rumah besar. Adalah rumahnya sang pahlawan itu sendiri.
suasana desa, sudah, jangan bahas tiang listriknya :D |
Suasana dalam rumah penduduk desa Bawomataluo
|
Hari menjelang sore, rentetan acara mulai selesai. Satu persatu tamu yang datang mulai memilih turun dari desa. Saya dan rekan seperjalanan juga harus mengikuti keadaan. Mendung menggulung, menyiratkan tak ada senja yang akan datang di sore terakhir saya di pulau Nias. Namun, secercah semangat membuncah dalam dada. Tak ada perjuangan yang tak membuahkan hasil manis. Ini, adalah pelajaran yang saya dapatkan dari perjalanan kali ini. berhenti? Bukanlah sebuah jawaban...