“Bermimpilah, maka Tuhan akan memeluk mimpi-mimpimu!” Aku, masih ingat betul untaian kalimat sakti mandraguna dalam novel Sang Pemimpi itu. Terkesan sederhana namun secara tak sengaja menghunjam kuat ke dalam alam bawah sadarku.
Sebuah awal perjalanan mengejar mimpi bermula.
Jumat, 29 Juli 2016, kapal KM Mutiara bahari milik bang Mus menarik jangkarnya dari sungai Jembatan Tinggi kota Singkil. Penumpang telah duduk manis hampir di setiap sisi kapal yang berlambung warna hijau, merah dan berstrip putih ini. Ziyad dan Bilqis, dua anakku tak mau ketinggalan. Tatkala sang nahkoda kapal menawarkan bantal, tak ayal mereka bak ulat nangka yang disengat mentari siang. Bergeliat menjadi-jadi. Berebutan mengambil bantal dari tangan bang Mus.
kapal saya ketika hendak menyeberang ke Pulau Banyak |
Tak pernah terpatri sebelumnya. Jika suatu hari nanti, perjalanan ke Aceh Singkil akan menjadi sebuah perjalanan keluarga yang penuh dengan drama dan tawa canda. Tertatih tatih, memekik pilu, lalu tersenyum sempurna kala kapal yang berukuran 30 GT ini berhasil berlabuh sempurna di dermaga Pulau Balai. Mungkin, bagi sebagian anak Adam, ini perjalanan yang tak ubahnya travelling keliling kota. Tapi bagiku, ini adalah ajang mengejar sebuah mimpi, merangkai cinta dan memuja alam yang mungkin, Tuhan menciptakannya kala IA tersenyum.
pagi dari Pulau Balai |
Sekali layar berkembang pantang biduk surut ke pantai. Kami sekeluarga tak ingin mengendurkan langkah. Mobil sudah melaju, tak mungkin kembali pulang. Bila tidak hari ini, maka belum tentu akan ada rezeki dan waktu untuk bisa menikmati nyiur yang melambai syahdu di pantai Tailana.
Pesona Aceh Singkil, tak hanya terpaku pada indahnya bentangan laut yang hijau toska pada Pulau Tailana, Palambak, Sikandang, Asok, Biawak, Panjang ataupun pulau Rangit. Tapi ia lebih dari itu semua. Ada Bengkaru dengan kawasan konservasi penyu Belimbing, Sisik, dan Hijau. Ada Ujung Lolok yang menanti penggila ombak untuk menjamahnya. Ada Pulau Tuangku dengan kampung Haloban-nya, dan buaya muara yang dapat kau tengok dengan wajah senang namun takut terkaman.
pantai di Pulau Tailana, Kepulauan Pulau Banyak |
Aku masih ingat, duduk bersama para tetua kampung di pulau Balai, lalu mereka berkisah akan makam Tuangku. Yang menurut kabar ia adalah penghuni pertama di kepulauan yang kini berjumlah 66 pulau. Dahulu di sini pulaunya berjumlah 99 pulau, namun medio akhir 2004 lalu, Tsunami menenggelamkan setidaknya 30 pulau kecil yang tak berpenghuni ke dasar lautan.
“Itu Tailana” ungkap bang Sunarwin. Pawang boat Robin yang terus memainkan kemudi boat miliknya. Kami, menyewanya untuk dapat berkeliling pulau-pulau kecil yang ada di Pulau Banyak ini. Sesekali, ia menancap gas hingga membuat mesin meraung-raung di tengah lautan. Sesekali, ia memelankan laju boat. Takut-takut boat kecil yang berisikan 9 orang itu akan menghantam terumbu karang yang terhampar di hampir seluruh pantai pada pulau yang kami lewati.
saya lupa nama pulaunya hehe |
Air laut yang hijau bergradasi manja dengan biru terang, rimbun pokok kelapa melambai, membentang seantero pulau. Seperti menyusun cerita fiksi kembali ke awal tahun 80an. Kilauan air laut yang disinari mentari, sesekali menyilaukan mata. Namun enggan melewatinya begitu saja. Di beberapa sudut, pasir-pasir laut sedikit kasar memberikan sensasi yang begitu sulit terlupakan. Terpantul-pantul sinar mahatari dibuatnya. Aku terhipnotis seketika. Ziyad tak tunggu komando, langsung melompat kala boat bermesin robin merapatkan haluan ke tepi pantai Tailana. Byuurr..
Demamnya telah hilang, berganti senyum dan tawa yang tiada henti. Sesekali ia menjerit kegirangan, pasalnya, ikan senangin bermain di sela-sela pahanya yang mungil. Rasa panas yang harus diderita oleh Ziyad sepanjang perjalanan, reda sudah. Kini yang tersisa adalah senyum yang merekah dari bocah yang baru genap 4 tahun itu.
Pulau Malelo, foto by Zulfan Helmi (http://www.travelenses.com/) |
Rasanya pantas ketika banyak yang menyebutnya bak surga di ujung Sumatra. Indah nian. Wajar, saat harus merindui kehangatan penduduk desa Pulau Balai. Aroma ikan kakap gulai yang selalu menari di depan hidung, angin laut yang tenang, hangatnya mentari pagi dengan iringan deru mesin robin, dan renyahnya tawa bocah yang menjadi laut sebagai arena bermain mereka.