sunset di pantai daerah bakongan, Aceh Selatan |
“Hei!, tidak sholat?” sergah seorang bapak tua kepada saya, sembari ia terus tergopoh-gopoh masuk ke dalam pelataran masjid Agung Istiqamah, kota Tapaktuan, Aceh Selatan.
Bilqis masih terus merajuk dengan sesekali menangis. Bocah kriwil ini, kalau sudah merajuk dia memang sedikit sulit untuk dirayu. Sejuta rayuan pulau kelapa tak laku padanya. Ziyad, lain hal. Bila dia sudah menyenangi sesuatu, maka akan sulit untuk dilarang. Sepanjang perjalanan dari Banda Aceh menuju Aceh selatan, untuk selanjutnya ke Aceh Singkil, ziyad dan bilqis sedang tidak sehat.
Sesekali mereka berdua batuk. Sesekali demam tinggi. Perjalanan sudah memasuki setengah jalan. Tidak mungkin mundur kembali ke Banda Aceh yang berjarak delapan jam jalan darat. Saya mencoba menguatkan hati. Begitupun dengan istri, ini perjalanan kami terjauh bila akhirnya kami berhasil menginjakkan kaki ke Pulau Banyak.
Sesekali mereka berdua batuk. Sesekali demam tinggi. Perjalanan sudah memasuki setengah jalan. Tidak mungkin mundur kembali ke Banda Aceh yang berjarak delapan jam jalan darat. Saya mencoba menguatkan hati. Begitupun dengan istri, ini perjalanan kami terjauh bila akhirnya kami berhasil menginjakkan kaki ke Pulau Banyak.
Kami tidak hanya berempat, melainkan ada 4 orang lagi rekan se-team Famtrip Susuri Cahaya Aceh di Pantai Barat. Beberapa rekan sempat mengkhawatirkan keadaan kedua bocah saya, tapi, resiko sebuah perjalanan keluarga dengan jarak tempuh hampir 21 jam via darat adalah sesuatu yang harus ditanggung oleh saya dan istri.
Perkarangan masjid Agung istiqamah kota tapaktuan memang tidak sebesar dan semegah masjid Agung kabupaten/kota lainnya di provinsi Aceh. Muadzin telah mengumandangkan iqamat dengan bertalu-talu. Saya masih duduk di pelataran masjid. Mendiamkan bilqis yang masih saja menangis sembari diselingi batuk. Ziyad telah lari mengejar ibunya ke ruangan wudhu khusus wanita.
Selembar kain sarung berwarna hitam dengan motif khas Aceh gayo saya bentangkan untuk menyelemuti tubuh anak gadis berambut kriwil ini. Dan,
Tragedy terjadi…
“Hei!, tidak sholat?” sergah seorang bapak tua kepada saya, sembari ia terus tergopoh-gopoh masuk ke dalam pelataran masjid Agung Istiqamah, kota Tapaktuan, Aceh Selatan. Mukanya serius. Air mukanya yang teduh menyiratkan bahwa ia sepertinya serius mengatakan hal tersebut kepada saya. Iya, kepada saya yang duduk sembari sibuk mendiamkan bilqis.
suasana di dalam masjid Agung Tapaktuan (foto by : wisataaceh.net/zlvn.net) |
Saya bingung, seolah tak percaya. Terakhir kali saya ditegur seperti ini di kota Banda Aceh, itu, sekitar 20 tahun lalu. Sekarang? Kota Banda Aceh mulai menjelma menjadi salah satu kota metropolitan. Ah, teguran bapak tadi membuat saya rindu kisah syahdu di masa lalu.
*****
“Dari mana nak? Sepertinya kalian bukan anak-anak tapaktuan ya?” masih di tapaktuan Aceh selatan. (lagi-lagi) seorang bapak tua, cukup tua malah. Bila dilihat dari gigi geliginya yang sudah rontok satu persatu. Kami terdiam. Terperanjat seolah tertangkap basah sedang mencuri keindahan pantai yang di kecamatan Sawang.
Ntah, dari mana, tetiba bapak yang belakangan saya tahu bernama Abdul Muthaleb, lahir di kota Medan tapi memutuskan menghabiskan masa tuanya di Aceh, muncul tepat disamping saung tempat saya dan rekan lainnya berteduh dari panasnya mentari siang. Di tepi jalan nasional Banda Aceh – Aceh Selatan, di desa lhok pawoh, sawang, aceh selatan.
Fakhri, mencoba menjelaskan siapa dan apa yang sedang kami lakukan. Beliau hanya mengangguk-angguk. Lalu berujar “Ayo ikuti saya, di kampong saya ada air terjun yang cukup bagus tapi belum di angkat media”
Eh? Kok?
Dengan sepeda BMX yang terlihat tua, seperti tubuh rentanya, ia mengayuh dengan penuh semangat. Kontur jalanan yang naik turun bukit tak menjadi masalah baginya. Kami? Hanya mengikutinya dengan perlahan. Tentu saja dengan mobil.
Sepuluh menit kemudian, sebuah wahana alam yang keren tersaji dihadapan kami semua. Ziyad, dan bilqis bersorak gembira. Deburan air yang menabrak bebatuan cadas membuat sakit mereka hilang. Yang terpenting, lagi-lagi saya tersenyum dengan “teguran” seorang pria tua dari Aceh selatan ini. Tanpanya, mungkin air terjun “Tuwie Lhok” ini tidak pernah kami jumpai selama perjalanan menyusuri Aceh Selatan.
Cerita demi cerita mengalir menyejukkan seperti aliran air terjun yang membawa hawa sejuk ditengah siang yang terik di Sawang. Perlahan, saya merasa salut akan semua cerita yang terukir dari dirinya. Sosoknya begitu ramah.
air Terjun Tuwie Lhok, di desa Lhok pawoh, Aceh Selatan |
air terjun Air Dingin di Aceh Selatan |
Inilah sebenarnya pesona dari Kabupaten Aceh Selatan itu, keramahan penduduknya yang tiada tara. Mereka tak memandang pendatang sebagai sesuatu yang menganggu. Seharian saya mengelilingi Kabupaten yang terkenal dengan legenda Tuan Tapa melawan naga ini, saya mendapatkan sebuah pelajaran menarik.
Tapaktuan ternyata begitu sejuk di hati. Raut muka yang ramah berbalut senyum manis dari bibir yang mengembang. Bersanding dengan pesona alam yang luar biasa. Maka sungguh, sangat sayang bila setiap kali perjalanan menyusuri pantai barat Aceh, kamu tidak menyinggahi kabupaten Aceh selatan, tempat awal mula legenda Tapaktuan berasal.
Tapaktuan ternyata begitu sejuk di hati. Raut muka yang ramah berbalut senyum manis dari bibir yang mengembang. Bersanding dengan pesona alam yang luar biasa. Maka sungguh, sangat sayang bila setiap kali perjalanan menyusuri pantai barat Aceh, kamu tidak menyinggahi kabupaten Aceh selatan, tempat awal mula legenda Tapaktuan berasal.
Perjalanan ini disponsori oleh Dinas Pariwisata Aceh, dalam rangka Branding The Light Of Aceh dan Wisata Halal Aceh