Museum Bank Indonesia, Jakarta |
Bermodalkan aplikasi ojek online, saya memutuskan pamit ke Farid, untuk melanjutkan petualangan ke kota tua. Iya, Kota Tua. Lima tahun saya kuliah di Jakarta, tapi tak pernah sekalipun saya tahu di mana letak museum Kota Jakarta, Museum Bank Indonesia, Museum Wayang dan Museum Keramik. Bagi saya, hanya stasiun kota dan Glodok yang akrab. Itupun ke Stasiun Kota hanya untuk menenami teman se-kosan beli Compact Disc. Ah semua juga pada tahu kan? #eh
Dari Perumnas Klender, saya sengaja memesan ojek online. Orang bilang, biar kekinian. Pun demikian untuk mengunjungi kota Tua Jakarta. Biar dikatakan up to date. Tapi, dibalik semua itu, saya ingin mencari jejak Aceh di sana. Memang, hal ini terkesan memaksakan. Tapi tahukah kalian, umur kota Banda Aceh (mungkin) yang tertua di Indonesia, 811 tahun atau lebih tua 322 tahun dari pada Jakarta. Sedikit menjadi masuk akal bila akhirnya, bila ada beberapa jejak Aceh di tanah Jayakarta ini.
Dalam banyak referensi, Ahmad Fatahillah, sang pencetus kota Jayakarta yang kini lebih dikenal sebagai Jakarta, adalah seorang putra Aceh dari Kerajaan Samudra Pasai yang kala itu akhirnya berhasil ditaklukkan oleh Portugis atau perang Saudara (entahlah). Belum lagi jejak Aceh di Monumen Nasional, yang berupa emas sebanyak 28 kg emas murni. Saya membayangkan andai saja emas itu dibagi-bagikan kembali ke para lajang-ers di Aceh, entah berapa ramai dari mereka yang akan bisa melamar kekasih hatinya. Tanpa harus menunggu purnama sampai 9 tahun #garing
Berhubung saya sama sekali buta akan kota tua, dari HOSTEL TEDUH KOTA TUAsaya melangkah dengan di pandu oleh google maps. Dan gedung yang pertama kali terlihat adalah Museum Mandiri. Saya mengitari gedung jaman colonial itu dengan seksama. Khusyuk sekali, sampai akhirnya saya sadar, kalau ternyata pintunya tertutup rapat. Sedang renovasi. Begitulah jawaban yang saya dapatkan dari beberapa orang yang tengah mengaduk cat di gerbang depan gedung. Saya hanya bisa melengos. Cuaca Jakarta ternyata masih sepanas dulu. Masih se-berasap dulu. Bedanya, kini, Jakarta lebih padat dan macet.
foto by :hikayatbanda.com |
Melewati ruang lobby yang megah. Museum ini terlihat begitu luar biasa. Rasa-rasanya saya tak lagi berada di Indonesia, melainkan di sebuah negeri di benua Eropa. Langit-langit yang tinggi dan melengkung, marmer warna merah maron, dengan pilar dari granit berwarna hijau lumut kehitam-hitaman berdiri tegak menyokong langit-langit lobby.
bila ada waktu, tanyakan kepada Belanda, bagaimana rasanya perang dengan Aceh |
Tragedi Terjadi
Disinilah tragedy terjadi. Sebuah diorama yang (menurut saya) sedikit merugikan negeri rencong yang berada di ujung Sumatra sana. Tanah kelahiran saya. Bukan, bukan niat hati mematik keributan perihal kesukuan. Tapi ketika sebuah sejarah dinafikan, itu sangat merugikan. Saya terperanjat cukup lama dibagian ini. Sebuah judul besar terpampang begitu saja. Tanpa ada penjelasan lebih lanjut. Seolah, Aceh adalah negeri pemberontak yang tak sedikitpun cinta akan Indonesia.
Display sebuah Koran tua yang berjudul Daud Bereueh tukang tipu,
Pemberontak PUSA terus berantakan, Menyerah atau mati di tembak
Apa-apaan ini?
Seolah, PUSA (Persatuan Ulama Seluruh Aceh) yang didirikan oleh para Ulama Aceh adalah gerakan pemberontak. Memang, PUSA yang dipimpin oleh Teungku Daud Bereueh akhirnya ikut gerakan pemberontakan DI/TII. Akan tetapi, harusnya diorama itu juga membahas mengenai “pemberian” PUSA kepada Negara ini berupa gerakan mengumpulkan dana untuk membeli pesawat Seulawah RI 001 dan Seulawah RI 002 (yang kini entah kemana bangkainya).
Alangkah indahnya, bila saja, dalam museum Bank Indonesia ini juga menampilkan janji presiden Soekarno kala itu yang memohon agar Aceh membantu Indonesia. Ada beberapa hal yang diberikan oleh rakyat Aceh selain hanya sebuah pemberontakan demi pemberontakan!
Orang Aceh, sebenarnya begitu cinta akan Indonesia. Percaya atau tidak, ketika Negara kembali harus melawan Belanda pada Agresi Militer Belanda II, Aceh menjadi salah satu daerah modal. Membangun radio Rimba Raya, membelikan pesawat demi lancarnya proses lobi. Menyumbang dana yang tak sedikit untuk kelancaran H Agus Salim untuk bisa terbang ke Delhi demi bisa mengikuti KONFERENSI ASIA. Belum lagi sumbangan dana untuk melancarkan roda pemerintahan Indonesia yang kala itu berantakan karena habisnya kas Negara yang terpakai untuk perang.
Ada begitu banyak, sumbangan rakyat Aceh demi membuat negeri ini tersenyum. Demi membuat ekonomi Indonesia bersemi bak bunga sakura di musim semi. Tapi? Apa yang hari itu saya lihat di museum Bank Indonesia adalah sebuah kesedihan yang mendalam.
Bayangkan, bila suatu hari nanti, anak-anak saya dari Aceh bermain ke museum ini. Atau bayangkan, berapa banyak pengunjung yang datang baik dari dalam maupun luar negeri dan hanya melihat diorama “pemberontakan Aceh” yang dianggap sebagai mesin pengeruk uang Negara kala itu. Sekali waktu, bayangkanlah kesedihan kami, rakyat Aceh yang kala itu sampai menyumbang segumpal beras demi Indonesia.#bayangkanRangga!
Seketika, rasa sendu menelungkupi saya sejadi-jadinya. Seolah ruangan emas yang ada di museum tak lagi jadi pelipur lara. Pun begitu dengan kemegahan demi kemegahan ruangan yang berbalut kayu jati dan marmer. Semuanya hanya kosong dan kosong. Tapi, inilah sejarah. Yang selalu ditulis oleh para penguasa dan demi menyenangkan penguasa.