Kuburan Belanda atau lebih dikenal sebagai kuburan cina di kota Sabang |
Sabang, dahulu memang pernah menjadi primadona bagi penjelajah dari seluruh dunia, hingga akhirnya, pada perang dunia I Sabang memainkan perangnya sebagai salah satu pelabuhan kapal terpenting di selat Melaka. Belanda dan Jepang pernah mati-matian mempertahankan pulau ini karena mengingat posisinya yang sangat strategis. Tapi, setiap kali ke sabang, atau Pulau Weh, ada rasa penasaran yang tak pernah hilang dari benak saya. Dimanakah makam para pelaku sejarah di Pulau yang hanya memiliki luas 121 KM2 ini?
Hari menjelang senja. Lelah dari hiruk pikuk balohan yang sepagi tadi saya nikmati membuahkan penat yang tak tertahankan. Saya, memutuskan untuk kembali mencari penginapan dan memutuskan untuk menjelajahi sabang sekali lagi. Toh, tak ada kapal yang berlayar ke Banda Aceh hari itu. Angin timur sedang mencapai puncaknya, sehingga membuat ombak diperairan Pulau Weh menjadi sangat tidak aman untuk pelayaran. Mengapa tidak mencoba untuk menuntaskan hasrat yang terpendam selama ini? Mencari makam tua peninggalan kolonial Belanda!
Sudah hampir tiga kali saya mengelilingi Kota Atas, lalu ke Kota Bawah, lalu naik lagi ke atas. Hingga akhirnya saya sedikit kesasar di seputaran Gampong Kuta Ateuh, kecamatan suka karya, kota sabang. Sebuah plang berdiri menyempil dari rimbun dedaunan pohon mangga. Saya histeris kegirangan, ketika melihat tiang penunjuk arah berwarna coklat itu bertuliskan “Makam Eropa”! Yeee..
sepintas, makam-makam ini terkesan tidak terurus. Tapi, masih ada para pemerhati sejarah sabang yang mengurusnya |
*****
“Makam ini sebenarnya sudah beberapa kali di pugar. Bahkan ketika masa rehab-rekon pasca tsunami lalu, International Labour Organitation juga ikut mendonasikan sebagian besar dana untuk membangun pagar di sekeliling makam.” Bang Albina menjelaskan kepada saya melalui telepon beberapa saat setelah saya kembali ke Banda Aceh.
Sekilas, memang terlihat begitu menyeramkan. Beberapa pohon asam tumbuh rimbun seolah tak terawat. Memayungi makam-makam tua yang berada di bawahnya. Dari depan pintu gerbang, mata saya menyusuri jalan setapak yang mengarah ke tengah areal pemakaman. Pohon kamboja tumbuh semakin menggila. Merangas sejadi-jadinya. Seolah ingin menutupi seluruh cerita sejarah dari para penghuni makam.
Pada plakat batu yang terpasang pada dinding gerbang yang berwarna hitam dengan tulisan bertinta emas, saya mendapati informasi bahwa tempat tersebut sudah menjadi pemakaman warga sipil dan militer Eropa yang berkebangsaan Denmark, Yunani, Perancis, Jerman dan Belanda. Makam ini sudah ada sejak tahun 1800an. Berbeda dengan Kerkhof Peujut Banda Aceh yang sebagian besar penghuni makam adalah serdadu belanda yang meninggal karena perang dengan kesultanan Aceh, di Het Kerkhof, mereka meninggal karena faktor usia, penyakit, dan peperangan.
“Untuk makam Kapten Perancis itu, baru tahun lalu direhab oleh Kedutaan Perancis. Di pasangi batu marmer, di tata ulang. Mereka memang sedang gencar-gencarnya melakukan penelusuran terhadap situs-situs sejarah yang berkaitan dengan sejarah kepahlawanan perancis.” Dengan penuh semangat, anggota Dewan Perwakilan rakyat Kota Sabang ini terus menjelaskan kepada saya perihal sebuah makam yang terlihat berbeda yang berada di tengah areal makam.
*****
Tepat tanggal 28 oktober 1914, di pagi buta yang dingin Jauh di Pulau Pinang Malaysia sana, kapal perang legendaris Jerman pada Perang Dunia I bernama SMS Emden berhasil menenggelamkan kapal musuhnya. Sang kapten, berhasil mengelabui kapal armada sekutu Inggris yang berlabuh di pulau pinang. Emden memasang satu cerobong asap tiruan sehingga dari jauh terlihat seperti layaknya kapal Sekutu. Emden yang menerobos Pelabuhan Penang berhasil menenggelamkan sejumlah kapal perang Inggris, Rusia, dan Perancis.
Hari itu, adalah hari naas bagi Jacques Carissan, kapten dari kapal Le Mousquet dari perancis. Kapal tersebut harus mencium dinginnya dasarnya lautan, tenggelam. Le Mousquet tenggelam saat bertempur dalam jarak dekat melawan Emden di perairan Penang-Selat Malaka. Sang kapten selamat dari serangan maut tersebut, namun ia terluka cukup parah. Beruntung baginya, pihak jerman berusaha bersikap kesatria dengan mengangkut para korban luka dan selamat ke atas kapalnya. Lalu, mereka membawa para tersebut ke pulau Weh, Indonesia.
Carrisan meninggal dan dikuburkan di kota sabang. Pahlawan dari angkatan laut perancis ini, menjadi buah bibir di kampung halamannya.
“Batu nisan aslinya kapten perancis itu diambil dan dibawa pulang ke Negara mereka. Sebagai bukti otentik dan salah satu bukti sejarah untuk museum di perancis. Jadi, nisan yang ada di makam tersebut sudah tidak asli lagi.” Saya masih setia mendengar cerita bang Albina tentang sang kapten dari Perancis tersebut.
dibalik pokok kemboja itu, adalah makam sang kapten perancis |
Waktu semakin senja, sesaat lagi adzan magrib akan berkumandang. Saya, masih harus membeli nasi bungkus untuk makan malam. Angin timur bertiup semakin kencang. Sesekali sinar mentari sore menyembul malu dari balik awan mendung. Tempat ini, masih terlihat sama sedari tadi. Berbeda dengan benteng Jepang di Anoi Itam. Tak ada satupun pengunjung yang datang melihat sebuah situs sejarah yang luar biasa di kota sabang ini.
Mungkin benar seperti apa yang dikatakan oleh bang Al, tidak banyak orang yang tahu, kalau ada pahlawan dari perancis yang dimakamkan di areal pemakaman Belanda Merbabu ini. Jangankan orang dari luar Kota Sabang, di kota itu sendiri pun tak banyak yang tahu. Untungnya, para penggiat Sabang Heritage Society yang terus menerus mendengungkan cerita ini, agar kelak tak hilang di telan waktu.
&&&
Di muat oleh tabloid mingguan Pikiran Merdeka tanggal 29 Februari 2016 dalam Rubrik Sejarah (Tentunya versi yang dimuat di media tersebut sudah dilakukan pengubahan seperlunya"