Quantcast
Channel: FROM ACEH WITH LOVE
Viewing all articles
Browse latest Browse all 268

Layang Kleung, Tradisi Layang Aceh Yang Tergerus Jaman

$
0
0

Ka po beumayang hai geulayang, jeut kalon beutrang peukateun donya (Terbanglah yang tinggi wahai layang, agar bisa engkau lihat dengan jelas permainan dunia)
Pak Abdul Manaf terlihat misuh-misuh sembari terus menengadah ke langit. Sore itu, langit cerah. Angin yang bertiup ke arah barat tak terlalu kencang. Cukup untuk menerbangkan layang-layang berwarna-warni ke angkasa raya. Dia terus saja menengadah, melihat layangnya yang berwarna hitam kuning berusaha merebut posisi puncak. Sesekali, ia seperti merapal mantra. Sesekali, ia mengosok-gosok tangannya yang terlihat pecah-pecah.

“nyoe karena kayeum that meuen geulayang” ia menjelaskan perihal tangannya yang terlihat sedikit mengerikan. 

Ternyata, bekas luka dan sayatan itu didapatinya karena ia terlalu sering main layang. Benang yang digunakan untuk menerbangkan layang adalah benang pancing dengan ukuran yang cukup tebal atau besar. Ukuran layang yang membentang lebih dari satu meter itu, bisa dipastikan akan menimbulkan gaya tarik yang luar biasa ketika para pemain seperti pak Abdul Manaf mencoba untuk mengontrolnya.
setiap tim yang bertanding, masing-masing mereka memiliki tukang gulung benang
Rekan satu tim pak Abdul Manaf dalam pertandingan Layang Kleung
Di sebuah dusun kecil, yang terletak di perbatasan kota Banda Aceh dan kabupaten Aceh besar, permainan layang Aceh ini dilakukan saban sore. Tak ada jeda, asal tanah sawah kering dan tak hujan, pemuda desa setempat selalu mengadu ketangkasan dalam menaikkan layang.

Dalam tradisi  Aceh, permainan layang dikenal sebagai Geulayang Tunang/Tunong, yang berarti Lomba Menaikkan Layang. Layang yang digunakan oleh masyarakat Aceh disebut sebagai Layang Kleung atau Layang Elang.

Kenapa disebut sebagai Layang Elang? Karena pada ketinggian tertentu, layang yang ukurannya besar ini akan mirip sekali dengan burung elang.

besar bukan Layang Kleung nya?

Layang yang diterbangkan sore itu, berjenis layang Kleung Aceh Rayeuk. Rangkanya yang terbuat dari bambu pilihan, yang terlihat jelas dari kekokohan sang layang. Kertas minyak yang berwarna-warni memberikan kesan elegan dan futuristic.


Pak Abdul Manaf tidak sendiri. Ia, bersama 4 rekan lainnya sedang sibuk menurunkan layangnya. Permainan telah usai sore itu, tim mereka tidak menang. Saya memang datang sedikit terlambat. Permainan ini berlangsung cukup singkat. Berbeda dengan event yang sudah berskala nasional yang dilakukan saban tahun oleh pemerintah Aceh. Permainan layang tunang sore itu hanya berlangsung tak lebih dari 1 jam saja. Hanya untung menghibur pemuda kampung setempat saja.

“nyoe keu hayeu-hayeu mantong dek”

Ini hanya untuk bersenang-senang saja. Begitu katanya, sembari mengepulkan asap dari rokok yang bermerek angka berurut dan tak di mulai dari angka satu tersebut. Satu grup, untuk pendaftaran harus membayar tiga puluh ribu rupiah. Sore itu, saya melihat begitu ramai tim yang ikut serta. Mulai dari yang tua dan tak lagi bergigi seperi pak Manaf sampai anak-anak muda yang mungkin baru saja tamat SMP. Semuanya tumpah ruah, dan sibuk meninggikan layang ketika sang pemandu meneriakan aba-aba yang menandakan kalau waktu akan segera selesai. Semua mencoba meraih kemenangan, dengan memposisikan layang setinggi dan selurus mungkin. 

Ada dua orang wasit atau lebih dengan satu wasit kepala dalam setiap permainan Layang Kleung
Siapa yang paling tinggi, dan tepat di atas kepala, maka dialah yang berhak menang.

Layang yang terdiri dari Seurungguk (kepala), Sayeup (Sayap), Tuleung Rueng (Tulang Punggung), Tuleung Keuing (Tulang Pinggang), dan Capeung (ekor) ini dimainkan saban sore di desa Lamreung kabupaten Aceh Besar.

kerangka layang tetap dibawa pulang untuk kembali diperbaiki

“kami akan selalu menaikkan layang di sini, karena tak lama lagi, area sawah ini akan jadi perumahan semua”. Senja turun perlahan. Langit menjingga sejadi-jadinya. Angin yang bertiup dari timur ke arah barat, berhenti seketika. Saya seperti merasakan sensasi slow motion ketika mendengar kalimat terakhir darinya. Dari pak Abdul Manaf.

Hal yang sama pernah saya alami. Dan, saya memahami seperti apa rasanya ketika sebuah permainan rakyat yang menjadi hiburan warga desa harus terengut hilang karena pesatnya pembangunan. Kampung saya, kehilangan permainan sejak 20 tahun silam. Tak ada lagi tanah sawah kosong tempat bocah ingusan menaikkan layang saban sore. Semuanya, berganti dengan komplek perumahan. Mulai dari yang cluster mewah sampai perumahan biasa. Tembok dan tembok yang menjadi pembatas menghalangi Layang, terbang bebas.
tenang Nak,, masa kecil kalian terselamatkan 


Tradisi yang yang bermula dari jaman kesultanan Aceh ini, bukanlah hanya sebuah permainan rakyat biasa. Didalamnya, mengandung nilai-nilai sosial budaya Aceh. Terciptanya sifat kerjasama dalam kebersamaan. Saling gotong royong ketika mereka berusaha menahan posisi layang tetap di puncak.

Kalian akan bingung, ketika benang yang tajam tadi ditahan melalui selangkangan. Lalu, seorang teman lainnya akan menarik melalui celah yang tersedia dari kedua belah paha tersebut. Dan, seorang lainnya meluruskan benang pancing tersebut agar tak kusut sehingga mudah digulung oleh teman lainnya.
saya lupa tanya, bagaimana rasanya benang yang tajam dan tegang itu melewati area yang kadang-kadang tegang juga :D

Kini,…

Lambat laun namun pasti, permainan ini semakin langka dan sulit ditemukan di seputaran kota besar di Aceh. Seiring dengan hilangnya lahan kosong atau areal persawahan yang selalu menjadi sasaran pemukiman baru yang katanya lebih menjanjikan. Dilemma memang, ketika mengetahui bahwa, pak Abdul manaf dan beberapa rekannya akan kehilangan permainan masa kecil mereka. Tidak akan ada lagi kerja sama dalam tim ketika layang harus ditarik sejadi-jadinya agar mencapai posisi paling “cot”-tinggi lurus di atas kepala.

Saya merasa beruntung sore itu, ketika pemuda lainnya sibuk mengukur jalan bersama kekasih hatinya, saya malah sibuk menonton sebuah pertandingan layang kuno yang mulai tergerus jaman ini. Satu dua layang diturunkan. Ada yang jatuh dengan baik, ada yang harus diputuskan benangnya. Gema adzan magrib yang terdengar sayup-sayup dari setiap sudut areal tempat pertandingan layang. Membubarkan seluruh aktifitas di tanah lapang itu.
Pulang, esok tanding lagi!

 Satu persatu, pemuda kampung dan beberapa bocah mulai mengayuh sepedanya untuk pulang ke rumah masing-masing.  Dan layang elang? Semuanya sudah turun sempurna. Disimpan baik-baik, agar esok bisa diterbangkan lagi.

 Lalu, sampaikanlah kepada dunia, kalau di Aceh, kami masih bisa layangan walaupun harus bertarung dengan pesatnya pembangunan!


bagi mereka, pula kala menjelang magrib itu adalah hal biasa.
mereka ketika beradu untuk mencapai posisi paling tinggi 


senja, layang-layang, dan angin timur? mungkin saja masa kecil saya terselamatkan




fyi :


  •  tradisi permainan layang ini masih bisa di lihat di seputaran desa lamreung aceh besar, atau hanya 7 menit dari warung kopi solong ulee kareng banda Aceh.
  • acara berlangsung mulai dari pukul 17.00 wib sampai dengan selesai
  • disarankan datang lebih awal sehingga kalian bisa melihat dari awal mengukur benang sampai layang diperlombakan.
  • Untuk event-event tertentu, tradisi ini masih sering di perlombakan hampir di seluruh Aceh. Terutama ketika musim panen tiba. 



Viewing all articles
Browse latest Browse all 268