Masjid Raya Aceh Tengah yang telah Merdeka |
Tepat 70 tahun Indonesia merdeka, tubuh saya masih terguncang hebat didalam sebuah mobil keluaran tahun 2004. Pekik kemerdekaan mulai merajai seisi langit dataran tinggi Gayo. Mobil hitam pekat ini masih terus melaju sambil sesekali berdecit karena jalanan yang tak rata. Bergelombang, berlubang, dan berkelok terus menerus. Plastic yang sedari tadi berisikan remahan rambutan yang memerah, akhirnya berganti dengan seluruh isi perut yang keluar karena mobil ini terus berlompat-lompat sejadi-jadinya.
Saya memejamkan mata. Memaknai sakit yang duduk di punuk kepala. Sesekali, perasaan haru menyelimuti hati ini. Tanah Gayo, tanah para pejuang terakhir kemerdekaan negeri Indonesia ini, kembali aku kunjungi setelah 4 tahun lamanya. Ada rasa sedih, ketika membayangkan jalan yang tak pernah becus dikerjakan. Jalan menuju kota kopi yang terkenal seantero dunia ini, tak lebih macam jalan menuju ke pemakaman umum. Keriting, dan becek.
Udara mulai sejuk, dinginnya sampai ke dalam mobil. Air Conditioner di matikan, cukup dingin buat tubuh saya yang hanya tinggal tulang dan kulit ini. Saya mencoba menguatkan hati. Sabar, sebentar lagi kita akan mengecup manis si cantik Pukes di Loyang Pukes. Lalu mengecap gurihnya kopi Gayo asli. Ah iya, kali ini, saya membawa serta seluruh isi keluarga kecil kepelataran kota yang terletak di ketinggian 1.200-1.300 mdpl. Libur panjang menyambut kemerdekaan Indonesia, berarti saya harus melunaskan janji akan cinta yang termaktub 5 tahun lalu.
Hari mulai gelap, hujan masih turun teratur dan pelan. Awan-awan mendung masih mendekap erat puncak gunung Burni Terlong di sisi utara. Padahal angka di jarum digital kuno saya masih menggambarkan pukul 6 sore. 16 derajat celcius. Cukuplah angka ini menjadi alasan bagi saya untuk segera cek in di hotel tertinggi di tanah Gayo. Tarik selimut, lalu tidur!
Di Kejauhan terlihat pacar lama saya sedang berbalut kabut. Danau Lot Tawar, Takengon |
****
Percakapan santai antara saya dengan salah seorang penggiat kopi di tanah Gayo, menghantarkan rasa penasaran sekaligus rasa kagum saya akan kehebatan Gayo. Pagi sudah pukul 10 lewat. Tapi matahari masih malas. Semalas orang yang masih ingin tidur di kasur empuk berbalut selimut tebal. Padahal sudah tak ada AC, tapi dinginnya kurang ajar. Kawan baru saya, akhirnya datang menjemput. Inilah saat yang dijanjikan. Mencicipi citarasa kopi arabika Gayo yang sebenarnya.
Dari sebuah warung kecil yang terletak di depan sebuah bank berlabel bank rakyat berwarna biru, saya memesan segelas kecil espresso lengkap dengan sejumput gula merah. Tak sampai 10 menit, aroma kopi yang bercampur fruits menusuk hidung. Warnanya tidak hitam seperti kebanyakan kopi. Tapi lebih kecoklatan. Kental dan berbuih halus. Teksturnya pun lebut dan gurih. Ah nikmat..
mencicipi kopi asli Gayo, foto by, Sayidfadhilasqar.com |
Obrolan demi obrolan mengalir, khas orang-orang Aceh kebanyakan. Obrolan itu bermula dari jaman sultan Iskandar muda, sampai akhirnya muncul teori konspirasi belanda untuk menjatuhkan Aceh dalam segala hal, termasuk kopi.
****
Tahukah kalian, kalau sebenarnya kopi yang di jual sachet itu sebenarnya adalah “limbah” kopi yang sudah tak layak untuk di jual atau di ekspor? Tahukah kalian, kalau sebenarnya meminum kopi yang baik dan sehat adalah dengan tidak mencampurnya dengan gula? Pahit dong?!
saya beruntung bisa bertandang kemari |
Percaya tidak, bila saya katakan kalau sebenarnya kopi itu manis, kopi itu beraroma fruits seperti coklat, mangga, jeruk, dan pisang? Ah iya, saya juga baru tahu. Tadinya saya juga tidak percaya kalau kopi yang sebenarnya itu tidak pahit. Sampai akhirnya saya di undang untuk mengunjugi sebuah pabrik kopi yang bisa dibilang salah satu terbesar di Tanah Gayo, tepatnya di kawasan Takengon.
“Abang tahu? Betapa jahatnya belanda itu? Kita di paksa tanam kopi. Terus di ajari cara membuat kopi yang kata mereka itu baik untuk kita. Dia ajari kita menggoseng kopi sampai hangus. Lalu di suruh kita menumbuk dan menyaringnya. Kita pun meminumnya dengan gula! Bisa abang bayangkan betapa bodohnya kita. Kita disuruh minum arang kopi, sedangkan kopi yang bagusnya di bawa pula ke kampong halaman dia. Jadilah kita akhirnya kena asam lambung, dan sakit lain yang disebabkan oleh kopi gosong robusta tadi” bang Iwan membuka percakapan.
Saya masih berusaha focus untuk mendengar penjelasannya mengenai kopi Gayo yang fenomenal itu. Saya masih terkagum-kagum setelah melihat betapa luasnya pabrik kopi ini. Yang bikin saya kagum bukan masalah luasnya, tapi pabrik kopi ini adalah sebuah koperasi dengan jumlah anggota mencapai 6000 lebih anggota, sudah berdiri sejak 12 tahun yang lalu. Dan sekarang, mereka sudah mengekspor kopi ke luar negeri dengan jumlah rata-rata 2200 ton pertahun! Ini koperasi? Atau sebuah corporation?
hujan membuat kopi semakin nikmat!! |
“Silahkan diminum kopinya bang Yud,” sebuah kopi lagi-lagi tersuguh didepan saya. Malu rasanya menolak tawaran tulus dari seorang manager Public Relantionship di koperasi Baburrayyan ini. Padahal, baru saja tadi pagi ngopi bersama bang Sayid Fadhil. Kali ini, kopi yang dihidangkan berbeda dengan kopi yang tadi pagi saya minum. Ini bukan espresso, melainkan kopi encer biasa. Tetap tidak pakai gula. Tapi Bang Iwan mungkin paham, kalau saya tidak terbiasa dengan kopi tanpa gula, akhirnya ia menyertakan gula secara terpisah di atas meja.
Kopi pahit ini “manis”. Saya sampai terheran dibuatnya. Sebelum saya bertanya, bang iwan langsung menjelaskan kalau begitulah rasa aslinya kopi. Jadi, jangan heran, kalau kopi di italia itu terasa manis padahal tidak pakai gula. Itulah rasa asli kopi. Dan sayangnya, kopi ini hanya di peruntukkan ekspor. Tidak memungkinkan di jual dalam negeri sendiri. Karena mengingat harganya yang mahal. Ditakukan pasar dalam negeri tidak siap menerimanya. Jadilah kopi Gayo asli ini di ekspor ke seluruh penjuru dunia.
Saya beruntung, akhirnya bisa merasakan kopi kelas dunia tanpa perlu repot-repot ke perancis atau ke italia. Hanya duduk di punggung bukit, berjaket ria, saya sudah bisa mencicipi betapa nikmatnya kopi asli Gayo ini. Wajar, bila akhirnya Belanda bersusah payah mengibuli orang Aceh agar tidak mencicipi kopi asli dari negerinya sendiri.
“kami sekarang, bisa berbangga bang Yud, karena kami bisa menjual kopi Gayo ini di atas harga rata-rata kopi dunia!” he?? Hampir-hampir saya menyembur kopi ini ke muka bang Iwan yang berwajah putih itu. Sombong sekali!
“kopi kita sudah bersertifikasi dunia, organic, dan fair trade. Toh starbuck juga sudah membuat kontrak dengan kita. Jadi, ketika harga dunia perkilonya 10 dollar, maka kita bisa menjualnya dengan harga 11 dollar. Dan ini betulan bang yud, saya tidak bohong. Semua orang berebut sama kopi kita. Dan saya bangga, kalau akhirnya, kami bisa ekspor sendiri tidak harus melalui agen medan. Kami sendiri yang menentukan harga jual bukan lagi tengkulak medan ataupun Jakarta. Sekarang, anggota koperasi kami sudah senang, kopi Gayo, di tanam oleh orang Gayo, di olah oleh orang Gayo, di jual oleh orang Gayo, dan akhirnya, harga jual di tentukan oleh orang Gayo”
Wajahnya merona, dan saya paham. Kalau dia merasa bangga sekaligus merasa lega. Akhirnya orang Gayo tidak lagi dalam jajahan tengkulak-tengkulak yang tak tahu diri di provinsi seberang. Mereka paham, kalau akhirnya mereka kini sudah dikenal oleh dunia, punya nilai jual yang tinggi. Untuk pertama kalinya, saya bisa melihat dan mengerti bagaimana sesungguhnya makna kemerdekaan itu. Inilah kemerdekaan itu yang sebenarnya. Seperti orang Gayo yang akhirnya merdeka setelah bertahun-tahun terjajah. Ya, Tanah Gayo akhirnya merdeka!
percaya atau tidak, mereka tetap bangga dengan kopi mereka |
Saya kemballi nanar dan sadar, kalau esok harinya saya harus kembali berjibaku dengan jalanan yang berlobang, bergelombang, berbatu, keriting dan becek. Ini belum termasuk kelokan tak tahu diri, dan jembatan putus. Ah, walaupun akhirnya tanah Gayo merdeka, tapi pemerintah provinsi ini kayaknya lupa kalau jalan menuju tanah Gayo masih berkubang debu.
Takengon, 19 Agustus 2015
YR
Saya tidak bohong, di karung ekspor ini tertulis, grade I arabica Green Bean!! merdeka!! |