“Aku sudah bawa lakban nih Yud. Kalau yudi terlalu cerewet, kami lakban. Nanti kami ikat di tiang jembatan Jantho!” sergah bang Junha ketika baru saja saya masuk ke mobil. Terperanjat saya dibuatnya.
Pagi itu, kami berempat, saya, Bang Junha, Bang Boy dan Abrar, tengah bersiap melakukan perjalanan liputan. Berawal dari ide iseng, akhirnya menjadi menjadi serius. Memang hidup itu, harus dimulai dari candaan lalu menjadi betulan. Mirip seperti memilih pasangan ya, dari iseng, naik ke pelaminan. Eh…
Kami, hendak akan mencoba melintasi jalan hubung antara Kota Jantho kabupaten Aceh Besar dengan Kota Calang yang berada di kabupaten Aceh Jaya. Hanya penasaran saja, sudah sejauh mana proyek yang mangkrak belasan tahun itu tertangani kini. Yang terpenting adalah, bagaimana keadaan hutan di sana. Aman, ataukah benar seperti desas-desus yang berhembus. Hutan mulai botak, penebangan liar merajalela. Keadaan mulai tak terkendali, ataukah sebenarnya itu menjadi sebuah solusi untuk kemajuan Aceh di masa depan?
Harus diakui, Aceh membutuhkan banyak sekali sarana dan prasarana pendukung ekonomi. Mengingat begitu tertinggalnya daerah ini dari belahan Sumatera lainnya. Ia yang dirundung konflik bersenjata puluhan tahun. Otomatis, hampir semua pembangunan berhenti. Gempa dan tsunami, juga datang berkunjung. Sehingga, sarana dan prasarana di Aceh, sebagian besar harus dibangun ulang.
Provinsi ini juga menempati provinsi termiskin di Sumatera. Angka kemiskinan meningkat tajam akibat konflik. Pernah menyentuh di angka 32,60%. Mungkin, karena atas dasar itulah jalan lintas ini dibangun. Jalan yang akan menghubungkan Aceh Besar dengan kabupaten Aceh Jaya. Lintas timur dengan lintas Barat Aceh.
Tanpa pernah mencari tahu lebih banyak mengenai kondisi jalan tersebut. Kami, cukup nekat untuk terus melaju mobil berpenggerak roda 4x4 ini. Jalanan mulus terpampang jelas. Berkelok menanjak menuju kota Jantho. Sebuah kota administrative sekaligus ibukota kabupaten Aceh Besar. Berdiri pada tahun 1976. Dengan tujuan, pemerataan ekonomi di Kawasan Lembah Seulawah Aceh Besar.
Tak lupa, sebelumnya membeli makan siang. Mobil terus melaju meninggalkan keramaian yang tak ramai dari sebuah kota kecil. Pemandangan mulai berubah. Padang savana terhampar begitu luas. Sejauh mata memandang. Bukit-bukit, tersusun rapi. Jalanan yang masih mulus, terlihat sepi. Hanya laju mobil yang terus berkelok-kelok. Padahal, jalanny cukup lurus. Apa yang hendak dikata, kotoran sapi warga tercecer sepanjang jalan aspal hitam.
Beberapa burung mulai terlihat. Terbang hilir mudik, bermain di pokok kayu yang mengering dimakan matahari. Sepintas, saya membayangkan ini, adalah Lombok. Atau suatu Savana di daerah Nusa Tenggara.
padang Savana di jalan Lintas jantho-Lamno (Foto By : Junaidi hanafiah ) |
“Turun bang!”
Eh? Kenapa ini? Jalanan memang sudah tak lagi mulus. Sudah berbatu. Dibeberapa bagian terlihat baru dikeruk oleh mesin. Beberapa sudut lainnya, begitu terjal. Dan kali ini, di depan kami, ada sebuah golondongan kayu yang baru siap dipotong. Dan, itu menghalangi laju mobil kami.
Kondisi salah satu sudut jalan yang begitu terjal ( Foto By: Junaidi Hanafiah ) |
Saya, dan bang Boy turun seketika. Sesaat setelah Abrar memberikan perintah. Kondisi benar-benar tak memungkinkan. Kayu besar itu harus dipindah segera. Tak bisa menunggu lama. Mobil berhenti di tanjakan dengan kemiringan 40 derajat. Ditambah, jalanannya berbatu!
Selesai memindahkan kayu, keadaan belum juga membaik. Mobil tak mampu menunggu kami untuk naik terlebih dahulu. Jadilah saya dan bang Boy harus menyusuri jalan yang menanjak itu. Berdiri saja sudah begitu sulit, ini harus ditambah menapaki jalan tersebut sampai ke atas. Jaraknya memang tak jauh. Hanya sekitar 150 meter. Tapi? Umur nggak bisa bohong. Nasib harus selalu duduk depan laptop dan handphone akhirnya membuahkan nafas kuda! Saya memilih duduk sesaat. Nafas tersengal berat. Jantung berdegup tak karuan. Pitam!
Memilih Ekologi Atau Ekonomi?
foto by : Junaidi Hanafiah/mongabay |
Suara deru mesin chainsaw terdengar bertalu-talu. Menyambut kami yang terpaksa turun dari mobil. Jalan lintas ini, putus. Tidak ada lagi jalan untuk dipacu. Mentok. Ternyata jalan lintasnya belum selesai. Memang berdasarkan informasi yang beredar di media massa, jika jalan ini ditargetkan akan selesai pada pertengahan 2022. Posisi berdasarkan titik GPS, kami masih dalam kawasan Aceh Besar. Tepat di titik tengah Ulu Masen.
Di sini, dilemma terjadi.
Pemandangan sekitar adalah hutan yang masih padat. Sangat padat malah. Dan, Kawasan ini, masuk dalam Kawasan hutan Lindung Ulu Masen. Salah satu hutan lindung yang masih tersisa di Aceh. Ulu Masen merupakan perpaduan hutan dataran rendah dan dataran tinggi dengan luas 738.856 hektar yang membentang di lima kabupaten. Yaitu, Aceh Barat, Aceh Jaya, Aceh Besar, Pidie, dan Pidie Jaya.
Jalannya masih Mentok! |
Hutan Ulu Masen ini, tidak hanya mampu memberikan manfaat ekonomi dan sosial bagi masyarakat yang hidup di sekitar kawasan, tetapi juga berperan penting sebagai sumber air bersih berkualitas.
Jika demikian, bagaimana dengan tujuan awal pembangunan jalan ini, yang dianggap sebagai salah satu penyokong sumber ekonomi masyarakat dua belah pihak kabupaten di Aceh?
tampak jalan dari Google Earth |
Di satu sisi, ada ekonomi yang diharapkan dari proyek jalan yang telah menelan dana negara hampir 1 triliyun rupiah. Di sisi lain, ada banyak habitat yang telah rusak dan diprediksikan akan semakin rusak. Mengingat semakin mudahnya akses untuk illegal logging dan perburuan satwa liar.
Mencontoh Taman Nasional Way Kambas, Lampung yang membangun jalan lintas dengan tujuan wisata. Memang, tak bisa dibandingkan begitu saja antara jalan Nasional Way Kambas dengan Jalan Lintas Lamno-Jantho ini. Akan tetapi, yang mampu kita petik pelajaran dari pembangunan tersebut adalah peruntukan dan system tata kelola. Di sana, penjagaan begitu ketat. Hampir bisa dipastikan tak ada kegiatan illegal dalam bentuk apapun.
Kebun masyarakat di tepi Jalan Lintas jantho-Lamno |
Minimal, provinsi Aceh hari ini bisa belajar mengenai tata kelola penjagaan Kawasan hutan. Minimal, bagaimana menjaga agar kegiatan yang berpontensi merusak tidak terjadi di Kawasan Hutan Ulu Masen. Atau mungkin, nantinya, mampu diterapkan di seluruh Hutan tropis Aceh. Betapa kayanya Aceh akan ekologi, tanpa menafikkan urusan perut rakyatnya.
Akankah Aceh mampu, mengejar ketertinggalan ekonomi dan pembangunannya, sekaligus menjaga habitat alamnya yang masih cukup kaya. Bukankah hutan juga mampu memberikan nilai tambah yang cukup kepada masyarakat sekitar. Mungkin, salah satunya dari sector wisata jelajah alam. Atau wisata adventure lainnya tanpa harus terus merusak alam yang ada.
Ekologi, atau ekonomi? Atau kita mampu menjalankan keduanya. Tanpa merusak atau merugikan satu dan lainnya. Jika satu atau dua kabupaten diuntungkan dengan keterbukaan akses jalan ini, maka bagaimana dengan tiga kabupaten lainnya yang juga mengantungkan sumber air dan kehidupan dari Kawasan hutan Ulu Masen ini?
Sore mulai turun ke peraduan. Suasanan kian syahdu. Walaupun perjalanan ini, terkesan gagal. Namun ada sedikit rasa bahagia di dalam hati. Bagaimana tidak, kami masih dapat merasakan (sisa-sisa) betapa sejuknya air sungai yang mengalir dari hulu hutan Ulu Masen. Yups, kami mandi sungai! Tanpa ada banyak orang. Tanpa deru suara mesin potong kayu, hanya kicau burung,
Ada rasa yang tak bisa bohong, jika saya, dan ketiga teman lainnya berharap. Agar cerita keindahan ini, tak hilang dimakan waktu. Atau terlindas oleh pembangunan yang akan menyertai jalan lintas yang bertujuan untuk meningkatkan ekonomi Aceh. Katanya…
betapa sejuknya sore di sini... |
salah satu sungai yang mengalir ke kawasan Jantho dan sekitarnya |
kondisi hutan yang mulai rusak |