“Jangan bilang kami ini orang Cina bang! Saya ini orang Aceh. Ini buktinya, kakek dan nenek saya dulu ikut nyumbang ke Negara Indonesia dan Aceh juga” ungkap pria yang bermata cipit itu, sembari menunjukkan sebuah surat utang negara Indonesia tahun 1950
Ziyad, anak bungsu saya sudah tak sabar lagi. Menanti esok pagi. Sabtu kali ini, menjadi berbeda baginya. Ia sudah merencanakan kegiatan di sabtu itu, dari jauh hari. Bahkan dari tahun lalu. Ketika ia bangun kesiangan, dan tak berhasil melihat barongsai. Iya! Ziyad begitu penasaran dengan Barongsai. Sebuah tradisional dari negeri tirai Bambu.
Untuk bisa melihat Barongsai di banda aceh, hanya ada satu tempat untuk menyaksikan tarian yang diperankan oleh dua orang pemuda/i. berpakaian bak seekor singa. Tempat itu, Peunayong namanya. Sebuah desa yang terletak di kecamatan Kuta Alam, yang merupakan Kawasan Pecinan di kota yang bergelar Serambi Mekkah. Pun, tarian itu, seringnya hanya ditampilkan pada Tahun baru China atau lebih dikenal dengan sebutan Imlek.
Sabtu, 25 Januari 2020. Ziyad begitu sibuk. Padahal masih begitu pagi. Ia sudah mandi. Sikat gigi, memakai baju rapi. Lalu membangunkan seisi kamar. Mulai dari saya, ibunya, dan dua adiknya. Baginya, tak seru jika hanya pergi berdua saja dengan ayahnya. Harus satu keluarga. Walaupun badan tengah kurang sehat, saya siap membawanya mengejar barongsai di salah satu Kawasan bersejarah di Banda Aceh.
Informasi yang saya peroleh dari Kak Nelly. Ia adalah warga peunayong, seorang teman yang beretnis thionghua, hanya kenal di social media, belum pernah ketemu. Namun, banyak info mengenai kegiatan umat Budha dan Khong hu chu darinya.
“Acara kebaktian mulai dari pukul 9 pagi, Start awal di Vihara Budha Sakyamuni. Untuk barongsai jam 8 pagi sudah keliling pasar Peunayong dan akan kembali ke Vihara pukul 10.40 wib. Semoga sesuai jadwal ya bang” begitulah pesan yang dikirimkan oleh kak Nelly melalui aplikasi messenger facebook.
Ziyad dan Om Amin |
Muka Ziyad, Bilqis dan Khanza, sempat kebingungan. Ketika satu persatu singa Barongsai memulai atraksinya. Satu persatu, ruko yang berada di Kawasan jalan TWK Daudsyah mereka masuki. Dan, rerata adalah ruko milik mereka yang beretnis Thionghua.
Suara tambur, gong, dan simbal, ditabuh dengan suara yang semarak. Sesekali, terdengar begitu keras, sesekali suara tambuhan ditabuh dengan pelan. Tak ayal, keriuhan itu menarik warga sekitar. Bahkan ada yang dari ujung kota Banda Aceh yang sengaja datang untuk melihat pertujukan yang berlangsung setiap satu tahun sekali.
Betapa kagetnya saya, ketika para pemain barongsai membuka kostumnya. Dua orang pemuda yang berkulit sawo matang, berambut ikal, dan bentuk wajah yang begitu Aceh. Ditambah lagi, ada beberapa penabuh simbal dan Gong yang menggunakan Jilbab.
Mereka? Bukan etnis thiounhua. Mereka orang Aceh! Tak mungkin saya salah terka.
Pantas! Jika kampung Peunayong ini, juga disebut sebagai sebuah kampung Keberagaman. Bagaimana tidak, ada begitu ramai suku dan agama minoritas yang tinggal di sini. Bahkan mereka telah ada, jauh sebelum Indonesia merdeka. Sebagiannya lagi, sudah ada sejak jaman kerajaan Aceh Darussalam.
Sejarah Aceh dan Negeri Cina (Tiongkok) bukanlah cerita baru. Perjalanan pertemanan ini sudah berlangsung semenjak jaman Kesultanan Pasai. Pasang surut memang. Namun, tak bisa dilepaskan dari sejarah, terutama kota Banda Aceh. Daerah yang bernama awal Peumayong yang berarti tempat berteduh atau memanyungi ini, kini di huni oleh beberapa suku atau etnis Thionghua. Dari suku Khe, Tio Chiu, Kong Hu, dan Hokkian.
Puas menyaksikan pagelaran Barongsai, saya mengajak anak-anak dan istri untuk minum kopi sejenak. Sekedar melepas penat dan makan pagi. Di warung kopi langganan saya. Yang pemiliknya, masih teman dekat saya. Pun, beretnis Thionghua.
Seminggu Sebelumnya,
Masih di warung kopi yang sama. Terjadi pembicaraan yang berawal dari candaan, sampai akhirnya menjadi serius. Saya lupa, dari mana awal pembicaraan saya dan Aheng. Pemilik warkop di Peunayong itu. Ia lantas mengatakan bahwa iya punya beberapa sertifikat kuno, keluaran awal Indonesia merdeka.
“Bang, ini sama saya, ada pecahan uang Rp 5 keluaran tahun 1959 satu ikat. Kita jual aja bang? Kalau laku banyak bisa kaya kita, Bang” saya, Aheng, dan beberapa teman lainnya yang duduk di meja kopi tertawa serentak. Saya masih berpikir, ini mungkin hanya cerita konyol. Mana mungkin dia ada surat itu dan uang tersebut. Begitu terbesit dalam benak saya.
Tak lama, ia berjalan sedikit terburu-buru. Lalu kembali lagi. Dan duduk di kursi yang sama. Satu plastic tersaji di atas di meja. Satu ikat lembaran uang terlihat rapi namun lusuh termakan usia ia keluarkan. Seolah tak puas, ia mengeluarkan sebuah sertifikat Pinjaman Negara Indonesia yang tertanda tahun 1950.
Saya terkepak. terkejut, tak percaya, dan begitu bahagia. Melihat barang langka ini. Bagaimana bisa? Tak cukup sampai di situ, satu ikat lembaran uang kuno yang bernilai 5 rupiah masih tersusun rapi dalam ikatan tali sepatu. Merupakan uang kertas keluaran tanggal 1 Januari 1950.
Dan entah uang berapa lagi yang tak sempat saya lihat satu persatu. Ada tumpukan uang kuno yang begitu banyak di hadapan saya siang itu. Ada yang masih terbungkus rapi, dan ada yang hanya tersusun begitu saja. Tercampur berbagai pecahan dan beda tahun.
Ia hanya tersenyum, ketika melihat saya yang sontak berubah tingkah bak anak kecil yang baru ketemu mainan. Tak ingin melewatkan begitu saja, saya segera mengabadikan beberapa lembaran uang tersebut dan surat utang negara itu.
“Jangan bilang kami ini orang Cina bang! Saya ini orang Aceh. Ini buktinya, kakek dan nenek saya dulu ikut nyumbang ke Negara Indonesia dan Aceh” ungkapnya, yang membuat saya merasakan ada bening air yang mengalir dalam relung-relung diri ini.
Benar apa yang dikatakan olehnya. Tak ada Cina di peunayong. Yang ada hanya orang Aceh. Bagaimana tidak, mereka tak punya kampung halaman di Tiongkok sana. Sudah turun-temurun mereka di Aceh. Di Peunayong itu, yang dahulunya sempat bernama Balai Cina. Yang dibangun oleh Sultan Iskandar Tsani, pada abad ke 17 masehi.
Surat Pinjaman Negara Indonesia itu, mungkin cukup menjadi bukti. Jika etnis Thionghua di Aceh juga turut serta membantu perkembangan kota ini, sampai seperti hari ini. Namun, tak banyak dari kita yang mau duduk Bersama. Membangun rasa yang sama. Hanya dengan sedikit rasa saling menghargai, mungkin akan indah.
Lalu, bagaimana dengan Hasil survei Kementerian Agama RI yang menempatkan Provinsi Aceh pada rangking terbawah (urutan 34) dalam indeks kerukunan umat beragama di seluruh provinsi di Indonesia? Entahlah, saya sendiri juga bingung.
Gong Xi Fa Cai