Rasanya masih tak percaya, ketika kaki berukuran empat puluh empat ini, berhasil menapaki kembali pelabuhan pulau Balai. Tempat yang sama, setelah tiga tahun berlalu. Hanya beda kondisi, hanya beda suasana. Selebihnya, masih sama. Masih dengan biru yang sama. Masih dengan kemilau laut yang sama. Camar yang sama. Syahdu yang sama. Ah...
Hari itu, hujan turun. Tak tahu diri. Tak peduli, akan nasib ratusan penumpang feri KMP Teluk Singkil yang kedinginan. Yang basah diterpa tempias air hujan. Berhamburan mereka dari dek atas kapal. Kocar-kacir seperti anak ayam dikejar musang. Tak terkecuali saya. Tidur lelap harus berubah kepanikan. Ombak menari, mengayun kapal. Tergopoh-gopoh saya dan teman lainnya memindahkan tas carrier.
Drama berakhir, ketika haluan kapal memasuki teluk Pulau Balai. Hujan mereda. Swastamita tertutup mendung. Hanya camar yang terbang pulang. Satu persatu penumpang turun. Saya merebahkan badan yang pegal dihantam angin laut. Malam turun lebih cepat hari itu. Tak terasa hari telah gelap. Pelabuhan perlahan sepi. Tak riuh lagi.
suasana di Pulau Rangit |
Hari-hari selanjutnya, hanyalah tersisa kegiatan yang tak berhenti. Sebenarnya, kedatangan saya ke pulau Balai yang berada dalam gugusan Pulau Banyak ini, untuk kerja. Benar-benar kerja dalam arti yang sebenarnya. Ini semua, salah Garuda. Yang menaikkan tiket tak berperi-kemiskinan. Kerjaan sedikit sepi beberapa bulan belakangan ini. Hingga akhirnya, jurus kepepet mengejar cinta harus dikeluarkan. Demi masa depan dapur dan popok si kecil. Semua harus dilakukan.
Tak ada famtrip. Hanya duduk, mengawal acara demi acara yang ditampilkan di panggung. Sesekali melepaskan pandangan ke laut lepas. Berharap bisa menjelajah daerah Kepulauan yang berada di samudra Hindia ini. Ada Tailana di ujung barat. Ada pulau Panjang di sisi selatan, dan ada pulau Rangit di ujung pulau Panjang.
Angin bertiup sesuka hati. Sesekali, badai datang menyapa. Ini masih musim barat. Tak ayal cuaca berubah sesuai kehendaknya. Bersyukur saja, acara yang ada, berjalan sempurna. Tanpa kendala apa pun.
“Semuanya, besok bangun pagi. Kita jalan-jalan ke pulau Panjang dan Rangit!”
Perintah nan tegas itu datang dari pimpinan rombongan. Saya yang mendengarnya, terhenyak tak percaya. Hari itu, begitu cerah. Mentari bersinar garang. Angin bersahabat tak terperi. Hati ini? girangnya bukan main. Tanpa perlu berlama-lama, saya menyiapkan semua hal yang diperlukan. Siap berangkat! Sembari mengoles losion di muka saya berlarian layaknya anak delapan tahun yang diajak ke laut oleh orang tuanya.
Sepanjang perjalanan dari pulau Balai ke Pulau Rangit, mata ini dimanjakan oleh pemandangan laut yang luar biasa. Sesekali, terlihat kumpulan ikan yang melompat di atas permukaan laut. Kondisi air laut yang jernih membuatnya tembus pandang. Setiap kali laju perahu dipelankan, setiap itu pula saya bisa melihat ragam terumbu karang lengkap dengan penghuninya.
jalan masuk ke Mercusuar Pulau Rangit |
Tak nyana, tiga puluh menit berlalu begitu saja. Dalam ritme mesin boat, langit biru, dan laut yang menggarisi batas horizon, kami sampai di pulau Rangit. Dari pinggir pantai berdiri mercusuar setinggi delapan lantai. Berdiri megah, berdinding putih kekuning-kuningan, diselingi garis biru di bagian atasnya. Mercusuar yang dibangun pada tahun 2015 dan rampung pada tahun 2016 ini, didirikan oleh departemen Perhubungan Laut.
Tujuan awal pembangunan mercusuar tersebut adalah untuk memberikan keselamatan pelayaran bagi kapal pesiar dan tanker yang berlalu lalang di sekitar pulau Banyak. Kini, mercusuar ini menjadi primadona yang layak dikunjungi setiap kali ada wisatawan yang mengunjungi kawasan yang tersebar pulau kecil sampai 63 pulau ini.
naik tangga |
Nafas tersengal-sengal. Jantung berdegup kencang. Namun, derap langkah tak ingin berhenti. Ia tetap menapaki setiap anak tangga yang tersusun melingkar. Suasana dalam mercusuar yang terkesan tak terurus ini, memang memberikan sensasi tersendiri. Tumbuhan lumut, menghiasi dinding dalamnya. Di beberapa sudut, terlihat genangan air hujan, sisa semalam. Namun, semakin gotik, semakin seru. Saya melangkah tak ragu!
Hampir saja, saya lupa menyalakan kamera. Begitu terkesima. Paru-paru saya masih bergerak dengan kencang. Mencoba menarik udara segar yang bau garam laut ini. hamparan biru bergradasi toska, diselingi putihnya pasir, hijaunya Nyiur, dan ditingkahi laju boat pengunjung memberikah riak di atas permukaan laut. Indah sekali! Sungguh!
Dari atas, langit rasanya dekat sekali. Pemandangannya memberikan cerita sendiri. Namun sulit sekali saya mendeskripsikan dalam laman ini. Dari atas, terlihat puluhan pulau-pulau berukuran kecil yang sangat eksotik, seperti Pulau Panjang, Pulau Rangit Besar, Pulau Palambak, Pulau Baguk, Pulau Asok dan lainnya. Kemudian warna-warni laut yang menghiasi pinggiran setiap pulau. Lalu bayangkan, engkau bisa duduk tanpa harus berbuat apa pun. Hanya duduk, lalu mensyukuri keadaan. Betapa Tuhan, memberikan keunikan dalam setiap sudut negeri ini.
Betapa kayanya alam Kabupaten Singkil ini. wisata baharinya tak kalah dari Maldives, hamparan Rawa Singkil yang masuk ke dalam kawasan Ekosistem Leuser, begitu kaya akan flora dan fauna. Belum lagi wisata sejarahnya. Ia adalah negeri tua yang kaya akan jejak sejarah.
silahkan membuat deskripsi sendiri |
Di negeri ini, pernah lahir penerjemah Al Quran, kitab umat Islam, ke dalam bahasa Indonesia pertama kali. Bertali-tali sejarahnya menyusuri negeri nusantara. Berharap, suatu hari nanti, Singkil, kembali melangit. Seperti asa yang saya kembangkan dari atas mercusuar pulau Rangit ini.
Penasaran bagaimana cara ke sini? ini dia caranya ( Baca yuks )