Pulau seribu Benteng! Begitulah nama lainnya. Kini, sesekali, sendu dan kengerian itu akan terasa. Duduk santai di kota atas, atau di Japanese Fortress yang terletak di desa Anoi Itam. Disini, suasana perang berpadu dengan keindahan laut di depannya. Terkadang, bila beruntung, saat angin meniup pelan gelombang laut di seputaran anoi itam. Pandanglah dengan jeli di hamparan laut biru, lalu, terlihatlah lumba-lumba yang sedang merayakan hari ulang tahun perkawinannya sembari berdansa ala spesies mereka.
view laut dari atas benteng jepang yang terletak di Anoi Itam |
Pulau Weh, sebuah pulau di ujung barat Negeri Indonesia. Di sini, Indonesia memulai ceritanya. Disini, titik awal dari sejuta pesona yang berhasil mengalahkan rasa resah, gelisah, dan lelah yang telah menggantung di pundakku selama lima tahun ini. Sabang, kini aku kembali ke pangkuanmu.
Semilir angin siang, membuat perjalanan Banda Aceh – Pulau Weh, menjadi sedikit menyenangkan. Libur panjang, berarti, berdesak-desakan dalam sebuah kapal roro sederhana dan terbuat di tahun yang cukup lama. Sesekali, akan terdengar orang-orang yang marah ketika antrian sepeda motor terkesan tak adil. Sesekali, ada balita yang menangis sejadinya karena panas mulai menggila.
salah satu sudut kota sabang yang berbatasan dengan laut |
Sayang, aku dan keluargaku tidak kebagian tempat duduk. Kapal KMP BRR Aceh-Nias tidak berlayar hari itu. Tidak seperti ketika lima tahun lalu saat terakhir aku menyeberang ke Pulau ini. Perjalanan dengan kapal yang begitu penuh sesak, berbaur dengan para tourist dari manca Negara sampai turis local. Berjuta aroma menyeruak. Bau muntah, bau asap rokok, bau solar yang menguap dari knalpot kapal, bau laut, dan bau keringat-keringat dari penumpang yang terpanggang dalam teriknya mentari siang.
Menikmati Senja…
senja dari pinggir taman kuliner kota Sabang |
Penderitaan belum berhenti, Pulau weh, masih memberikan kejutan terakhirnya. Rasa lelah dan panas masih harus di tambah dengan perjalanan yang mendaki. Berkelok, bahkan sedikit memutar. Jalan yang dulu sedikit “keras” kini menjadi lebih bersahabat. Walaupun tetap saja aku harus waspada ketika mengoper gear motor bututku ini.
Tak berselang lama, pemandangan dari puncak Cot Bak U, membuat semua sengsara sirna. Semuanya terbayar sudah. Walaupun jalanan masih harus menikung dengan turunan cukup terjal. Palling tidak, di siang yang panas ini, aku bisa melambatkan laju motor untuk menikmati pemandangan lautan Andaman di ujung sana. Ya, Welcome to Weh Island!
the wonderful sunset at Weh Island |
Waktu mulai berdetak, tersisa hanya 23 jam lagi sebelum akhirnya harus kembali pulang. Ah, belum habis sabang ini ku makan. Sudah harus pulang sebelum kenyang? Inilah dunia, di mana terkadang waktu tak mau kompromi.
Siang di sabang, adalah waktu yang tepat untuk menikmati sebuah kesombongan dari sisi lain anak manusia. Makan siang yang se-adanya. Lalu berlanjut dengan leyeh-leyeh di hotel yang sederhana. Sebuah hotel yang terletak di tengah kota Sabang. Lengkap dengan semua keheningan dan kenangan masa muda!
Sore telah menjelang, perut yang lapar akhirnya memaksa diri bangun dari pembaringan sembari mandi untuk memunculkan kembali semangat yang tergerus oleh mimpi-mimpi di siang yang tak lagi bolong, hanya sedikit basah! #eh..
Sunset di pantai kasih |
Sate gurita, deburan ombak, serta sinar mentari sore yang mulai menggurat senja seperti menjadi sebuah nuansa indah. Langkah dan putaran roda motor butut berakhir dipelataran yang menjorok sedikit melewati bibir pantai Kasih. (cerita tentang sore di pantai kasih ada disini). Bukankah senja di langit biru berbaur dengan awan putih itu Cinta? Ini memang kisah lama bagi sepasang muda mudi yang masih berbalut dengan romantika picisan. Mungkin, ini lebih dari sekedar cinta monyet, Cinta Gorilla! Begitulah, cintaku akan senja telah membawaku dalam pelukan kekasih yang kini memberikanku anak, anak manusia, bukan anak monyet!
Romantika Perang Dunia II
Sebenarnya, ini sebuah obsesi masa kecil. Menikmati perang dari sebuah benteng. Melabuhkan beribu khayal berada dalam sebuah benteng persembunyian ala Vietnam. Menembakan meriam, sembari meneriakan, Mati Lo! #eh?
Pantai Anoi Itam |
Meriam di Benteng Jepang desa Anoi Itam |
Desingan peluru bersahut-sahutan dengan teriakan histeris dan percikan darah. Kapal-kapal perang Destroyerberlalu lalang bersama battleship dan Cruiser. Sepertinya, sibuk sekali lautan seputaran Anoi Itam dan Kota Sabang ini.
Para tentara Nippon sibuk! Setiap kali kapal sekutu melintas, mereka akan berteriak. Sembari terus mengangkat bom untuk di isikan kedalam meriam. Putaran meriam terus menerus berdenyit seperti kurang oli pelumas. Tapi, inilah perang! Walau tanpa pelumas sekalipun, meriam harus tetap berputar. Membidik, dan Menembak!
Benteng Jepang di Sumur Tiga |
Pulau seribu Benteng! Begitulah nama lainnya. Kini, sesekali, sendu dan kengerian itu akan terasa. Duduk santai di kota atas, atau di Japanese Fortress yang terletak di desa Anoi Itam. Disini, suasana perang berpadu dengan keindahan laut di depannya. Terkadang, bila beruntung, saat angin meniup pelan gelombang laut di seputaran anoi itam. Pandanglah dengan jeli di hamparan laut biru, lalu, terlihatlah lumba-lumba yang sedang merayakan hari ulang tahun perkawinannya sembari berdansa ala spesies mereka.
Danau Penompang Kehidupan
Terkadang, yang namanya bosan, dia suka sedikit bejat dan kaplat. Waktu perjalanan hanya tersisa 4 jam dari jadwal pulang. Di sisa waktu yang ada, bosan, kembali datang. Sepertinya, dia masih dendam, setelah tahu kalau ternyata Pantai Sumur tiga yang terkenal itu tak memberinya sensasi yang mesra serta aduhai. Sumur tiga, pasang tinggi pagi itu. Sepi, dan tak ada pesisir pantai yang berpasir putih yang tersisa. Semuanya tergulung air pasang. Hanya deburan dan deburan yang terdengar.
Danau Aneuk Laot, Weh Island |
Mungkin, inilah yang menjadi bosan kembali menggerayangi kepala dan otakku. Bisikan demi bisikan yang menyesatkan menyesak di ubun-ubun. Dia tak mau pulang dulu. Dia, tak ingin perjalanan memoar daun kelapa ini berakhir begitu saja. Toh, sebentar lagi siang, dan siang berarti makan siang. Hidung ini, kembali manut-manut. Rasa-rasanya, sepiring nasi, sepotong ayam bakar yang di olesi madu dari hutan pulau, lalu di segarkan dengan segelas jus. nikmat! Padanan sempurna yang membuatku kembali lapar.
Seumur hidup, namanya hanya sekedar menyedap pada telinga, dan penyejuk mata. Tapi tak pernah berani melepaskan hasrat yang sudah bergairah semenjak datang. Danau! Ya, aku rasa, mengunjungi danau kecil yang hanya berukuran 38 hektar tak berpersegi ini tak ada salahnya. Lagi pula, bila bisa duduk disampingnya, lalu menikmati belaian lembut dari airnya yang hijau, itu semua akan menjadi sebuah kisah klasik untukku.
Danau aneukLaot, begitulah namanya. Ada mitos yang menelungkupinya. Ada kehidupan yang bergantung padanya. Danau ini, meskipun jarang di pedulikan oleh para pelancong, dia tetap cantik. Biar, biarkan saja para pelancong sombong itu menari diatas terumbu karang pulau rubiah. Asalkan danau ini tetap terjaga.
Pulau kecil ini, membutuhkan danau yang berair hijau dan sejuk ini sebagai penompang hidupnya. Toh, air minum dan air bersih seisi pulau berasal darinya. Dari danau yang selalu di lewati begitu saja. Sungguh, mereka terlalu sombong mengakui keindahanmu. Cukuplah aku, yang akan menjadi pujanggamu, melukiskanmu di dalam relung-relung hati. Sembari terus meraba, betapa indah punggungmu yang masih hijau..
Aku pulang, siang ini…
Ku bawa semua rasa cinta ini, sebagai bukti aku masih akan merindukanmu. Mungkin, tahun depan, kita akan bertemu lagi…
Bna, 31 Mei 2015
salah satu view di Danau Aneuk Laot |
Masih di Sumur Tiga |
sisi lain dari pantai sumur tiga |
Untuk informasi yang lebih lengkapnya bisa dilihat di sini
Mencari guide ke sabang? Jangan pilih saya yah ^__^