Krueng Raya, sebuah distrik atau mukim yang terletak nun jauh dari sebuah cerita kesuksesan pariwisata di provinsi terbarat Indonesia, Aceh. Dahulu menurut cerita yang saya dengar, Mukim ini pernah berjaya kala Portugis berusaha mati-matian ingin menguasai selat Melaka. Krueng Raya juga pernah jaya dalam kancah sejarah kala Lamuri, yang merupakan cikal-bakal lahirnya Kerajaan Aceh Darussalam yang menjadi salah satu dari kerajaan terbesar di dunia yang hilang ini, kembali ditemukan.
Di Mukim terujung Aceh Besar sebelah timur ini juga pernah berjaya dengan pelabuhan penyeberangan Banda Aceh - Pulau Weh. Jauh, sebelum Ulee Lheue kembali mengambil peran lamanya. Lalu, apa jadinya Krueng Raya hari ini? Percayalah, tak lebih dari sebuah distrik mati nan sepi.
Beberapa waktu lalu, rasa penasaran saya berhasil menuntun saya untuk menyambangi Pemukiman sunyi ini. Mirip seperti kota mati. Tak banyak penduduk yang berlalu-lalang. Beberapa kantor administrasi pemerintahan ataupun lembaga terkesan sepi dan tak ada aktifitas. Jalanan yang lengang, sesekali hanya sapi dan kambing yang melintas.
Menyusuri Jejak Laksamana Perempuan Pertama Di Dunia
benteng Indra Patra yang pernah digunakan oleh Keumalahati |
“Turun dulu Bang, kita akan lihat pemandangan Teluk Krueng Raya secara utuh dari atas sini” ujar bang driveryang langsung sigap dengan mematikan mesin mobil lalu mempersilahkan saya turun dan merekam sebuah pemadangan yang luar biasa tersaji.
Beberapa kapal nelayan, terlihat berwarna-warni dan seperti disusun secara beraturan dan berjejer. Tak bergerak. Ada dua buah kapal besar yang sedang melakukan bongkar buat. Selebihnya, beberapa boat nelayan hilir mudik mencari ikan di sekitar teluk. Di ujung mata memandang, bukit hijau berdiri tegak. Seolah menghalau awan dan angin yang hendak menciptakan gelombang laut. Saya terdiam seketika. Menikmati sebuah pemandangan bak sebuah lukisan tangan seorang pelukis handal, tapi, ini nyata. Bukan lukisan.
Belum lama mobil menempuh jalanan yang terjal, Bang Driver dengan cepatmengambil haluan ke kiri. Ternyata kami dibawa ke benteng Inong Balee (wanita Janda). Benteng Inong Balee adalah sebuah benteng peninggalan Laksamana Keumalahayati. Benteng ini di bangun sebagai benteng pertahanan dan pusat logistik kapal perang Aceh di jaman kesultanan Sultan Alauddin Riayat Syah Sayyid al-Mukammil (1589-1604 M).
ini kok jadi kontras gini ya? hedeuh |
Disebut sebagai Inong Balee atau wanita janda, karena kala itu, Sang Laksamana mengumpulkan para janda yang suaminya telah menjadi korban perang melawan Penjajah Portugis. Lalu, sejarah mencatat bagaimana kemasyhuran sepak terjangnya. Ia, berhasil mengumpulkan 2000 orang wanita yang kesemuanya adalah wanita janda perang. Tembok kokoh berdiri. Di pesisir pantai krueng raya berjejer kapal perang yang gagah pada masanya berderet rapi. Bersiap untuk menggerayangi setiap jengkal kapal penjajah yang nakal memasuki perairan Aceh.
Baca Juga Krueng Raya kota Para Janda
sisa benteng Inong Balee di Aceh Besar, Aceh-Indonesia |
Di hadapan saya, hamparan pepohonan yang hijau berdiri mengikat batu belikat yang membentuk dinding tua. Tapi, itulah dia, sisa dari benteng hebat sang Laksamana Keumalahayati-arti dari namanya adalah cahaya hatiku-yang pernah menjadi cahaya bagi seluruh kaum wanita Aceh sampai hari ini. Cut nyak dhien, pun terkesima dibuat olehnya. Langkah Cut Nyak Dhien menjadi seorang pemimpin perang tak luput dari inspirasi sang Laksamana.
Dinding itu masih cukup kokoh, walaupun benteng tak berbentuk lagi. Beberapa pengunjung dari Jakarta, terlihat sibuk menyusuri setiap inci dari sisa-sisa benteng kuno itu. Di sisi lain dari benteng tersebut, ada sebuah makam tua dengan nisan yang mirip dengan nisan lamuri. Istri saya mencoba membaca tulisan arab yang terpatri di nisan tersebut. 1206 M “Selebihnya Adek nggak tahu bang” jawabnya kala saya meminta menerjemahkan yang lainnya.
Bukit Ujung Batee Puteh
makam yang berada di kawasan benteng Inong Balee |
Bukit Ujung Batee Puteh
di puncak bukit bersama dengan para bocah. Taken by : Putri |
Suara hiruk pikuk pelabuhan kini berganti dengan ciutan burung perkutut dan burung-burung hutan. Sesekali, terlihat sapi merumput di punuk bukit yang hijau. Sejauh mata memandang, hanya hamparan hijau yang menenangkan mata terlihat. Tak jauh dari jalan aspal berbukit, saya disuguhkan sebuah pemandangan yang unik.
Jalanan berbatu ini berakhir pada pasir hitam halus yang berwarna legam, seolah menjadi kontras kala berpadu dengan tebing putih yang gagah. Tebing Putih terjal tinggi menjulang. Beberapa pohon tumbuh di sisi tebing kapur yang putih beradu hijau ini, menjadikannya sebagai hal yang indah dan unik. Pesona pantai yang terletak di Kilometer 47 dari Banda Aceh menuju ke kreung raya ini, akan semakin indah ketika saya berada di puncak bukitnya.
selalu kangen dengan pemandangan ini, walaupun kudu harus berpanas-panas ria |
Berdiri kokoh berwarna putih. Menjadikan pemandangan di sini seperti layaknya di negeri subtropics. Seketika lelah, dan penat saya hilang. Hanya rasa tenang, nyaman, dan bahagia yang saya rasakan. Dari atas bukit batu putih ini pula, kesan kota mati ataupun kota para janda menghilang. Semuanya tersaji indah di hadapan saya.
Di sebelah utara, dari atas bukit, terlihat sebuah pantai dengan pasir berwarna putih bersih. Debur ombak yang mengalun lembut, pepohonan yang tumbuh rapat-rapat nan hijau. Berbanding terbalik dengan sisi selatan bukit. Dan, inilah uniknya. Bukan hanya tebing bukit kapur berwarna putih, melainkan saya langsung diperlihatkan dua pemandangan unik sekaligus.
Makam Laksamana Keumalahayati
Mobil putih yang sudah tak karuan warnanya ini karena berkalang lumpur kembali ke jalanan aspal. Memacu sedikit kencang lalu berbelok ke kiri lagi. Tepat di depan pelabuhan Keumalahayati. Hasrat diri begitu ingin menuntaskan seluruh rangkaian cerita dari Mukim Kuno Krueng Raya hari ini. Saya dan istri mengunjungi makam sang pencetus emansipasi wanita pertama kalinya dalam dunia kemiliteran dunia. Dialah, Laksamana Keumalahati.
jalan menuju ke Makam Keumalahayati |
Ada tiga makam yang dinaungi cungkup. Di sana, terbaring jasad Laksanama Keumalahayati, suaminya dan anaknya. Dipusara Nisan yang berbentuk caping itu, saya duduk terdiam dan termenung. Merenungi semua kisah hebatnya berjuang demi tanah negeri tercintanya dari tangan-tangan penjajah.
Kondisi makam cukup terawat loh |
** Artikel ini pernah dimuat di www.harianaceh.com
Keterangan foto paling atas : pemandangan di salah satu sudut Krueng Raya/Arie Yamani/www.arieyamani.blogspot.com
Keterangan foto paling atas : pemandangan di salah satu sudut Krueng Raya/Arie Yamani/www.arieyamani.blogspot.com