“Tidak ada shalat jamaah lagi di sini, masjid ini hanya digunakan untuk anak-anak desa sekitar mengaji di malam hari. Atau untuk penggajian Tasawuf yang diadakan seminggu sekali”
Jelas bang Safari yang saat saya menanyakan mengapa masjid ini terlihat sepi. Tak ada yang shalat atau bersiap-siap untuk shalat Ashar sebagaimana keadaan masjid pada umumnya. Quran beraneka ukuran tersusun begitu saja di pinggir dinding masjid yang sebagian besar bangunannya masih dari kayu.
Harus diakui, tak banyak yang mengetahui mengenai keberadaan masjid Tua Ulee Kareng (sebagian pendapat mengatakan dahulu penyebutannya bukan Kareeng melainkan Kareung / karang). Saya sendiri baru beberapa tahun belakangan ini mengetahui jika di Banda Aceh, ada sebuah masjid tua yang dibangun oleh seorang ulama yang berasal dari Yaman.
Di Banda Aceh, pada umumnya kita hanya mengetahui Masjid Raya Baiturrahman yang berada di tengah kota, lalu masjid tua Tengku Di Anjong yang terletak di desa Peulanggahan sedikit menjorok ke pesisir pantai. Sayang, masjid itu ikut menjadi korban dari bencana Tsunami tahun 2004 silam sehingga ia harus direnovasi total. Walaupun bentuknya masih sama, akan tetapi bahan penyusun bangunannya berubah total. Dari kayu, menjadi bangunan beton bertulang.
Jauh dari kesan manis pariwisata di kota Banda Aceh yang tengah bergeliat, masjid tua Ulee Kareeng ini sebenarnya terletak di pusat kuliner Kopi Aceh yang terkenal. yaitu kawasan Simpang Tujuh Ulee Kareeng yang selalu terkenal dengan aroma khas kopi robustanya.
Hari telah menjelang sore, saya masih mencoba meraba-raba di mana persisnya letak masjid tersebut. Setelah beberapa saat bertanya kesana kemari, ternyata masjid ini terletak persis di belakang MIN Ulee Kareng yang tak jauh dari Simpang Ulee Kareeng.
Saya hanya bisa berdiri diam memandangi bangunan tua itu sembari menikmati hangatnya matahari kota Banda Aceh yang cerah. Angin timur bertiup syahdu memberikan suasana teduh tatkala saya masuk ke dalam masjid.
Menurut bang Safari, masjid tua Ulee Kareeng ini beberapa saat lalu baru saja selesai direnovasi. Lantainya yang dahulu masih semen kasar, kini telah berkeramik. Atapnya yang dahulu sudah bocor karena dimakan usia, kini berganti dengan seng baru. Rasa senang, haru menyatu dalam tetesan air wudhu yang mengalir dari ujung-ujung uban yang mulai memperlihatkan umur tak lagi muda.
Tiang-tiang kayu dari tahun 1800an masih berdiri kokoh. Ukiran-ukirannya masih terpahat rapi. Di beberapa titik, gigi-geligi rayap kuat melubanginya. Namun semua itu tak membuat rasa yang membuncah dalam dada ini berkurang. Ibarat anak kecil yang menemukan main baru, saya tak henti-hentinya menikmati setiap sudut masjid. Kapan lagi bukan? Masjid ini rapi, bersih, dan sepi. Jadilah saya merajai seluruh isi masjid yang masih memiliki hubungan dengan masjid tua Tengku Di Anjong.
Walau terlihat sepi dan seperti tak berpenghuni, sebenarnya masjid ini memiliki sejarah panjang. Dahulu, masjid ini pernah menjadi pusat pembelajaran Islam untuk sebagian kawasan Kutaraja pada abad 18 silam.
“kadang-kadang, ada tamu dari Malaysia, Turki, dan beberapa Negara Arab yang berziarah ke makam Tengku habib Kuala Baku” ungkap bang Safari yang menemani saya sembari ia terus merapikan kawasan pemakaman yang terletak di sisi utara masjid.
Sejarah Pembangunan Masjid
Berdasarkan beberapa sumber sejarah dan plakat pada komplek makam yang terletak di sisi Barat Masjid, Masjid Tua Ulee Kareng ini bisa dikatakan hampir menyerupai masjid Tengku di Anjong Peulanggahan, dan Masjid Tuha Indrapuri. Hanya saja ia memiliki perkarangan kecil bila dibandingkan dengan kedua masjid lainnya.
Masih menurut plakat tersebut pula, masjid ini didirikan oleh Habib Abdurrahman Bin Habib Husen Al Mahdali atau yang bergelar Habib Kuala Baku, beliau berasal dari Hadrul Maut negeri Yaman. Ketibaan beliau di Aceh diperkirakan pada tahun 1826 Masehi, tak jauh beda dengan Habib Abu Bakar Balfagih atau yang lebih dikenal dengan Tengku Di Anjong yang juga membangun masjid dengan bentuk arsitektur yang sama di desa Peulanggahan, tak jauh dari Masjid Raya Baiturrahman Banda Aceh.
Plakat pada komplek makam yang terletak di sisi barat masjid |
Bahkan dibeberapa literature yang pernah saya baca, masjid ini dahulunya menjadi salah satu pusat pengajaran agama Islam. Sang habib tak ingin bersama dengan saudaranya, yang lebih memilih pesisir pantai sebagai pusat dakwah, melainkan beliau memilih untuk sedikit ke dalam dari pusat kota Banda Aceh kala itu.
Walaupun masjid ini sebagai salah satu situs sejarah, saya harus mengakui belum banyak masyarakat kota Banda Aceh yang mengetahui keberadaan masjid ini. Selain dulu pernah sedikit terlantar, posisinya juga sedikit masuk ke dalam. Tapi, bukankah itu semua tak bisa menjadi alasan kita untuk memungkiri bahwa nun di pusat keramaian Kecamatan Ulee Kareng, masih terdapat masjid Tua peninggalan sisa-sisa kemasyhuran kerajaan Aceh Darussalam di masa lalu.
Tampak Depan Masjid Tua Ulee Kareeng |
Tak lama lagi, adzan shalat Ashar menyapa, anak-anak kayu yang menjadi dinding masjid berwarna kecoklatan seolah tersenyum lesu. Tiang-tiang kayu yang menjadi penampang atap seolah merindukan kembali suara azan yang berkumandang, mengisi setiap relung-relung ukiran kaligrafi dalam masjid yang kini berusia lebih dari seratus tahun.
Mungkin, kita bukan tak peduli. Mungkin sebenarnya kita lupa. Jika dari tiang-tiang masjid inilah, Aceh pernah menjadi begitu perkasa dalam menjawab semua invasi dari luar. Dari ratapan tiang-tiang berwarna coklat tua itulah seruan merdeka disematkan dalam setiap jiwa anak-anak Aceh.
Ada benarnya ungkapan dari Presiden Indonesia pertama, bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai sejarahnya. Apapun ceritanya, apa yang engkau tanam itulah yang engkau tuai. Bila sejarah tak engkau hargai, maka jangan harap bangsa ini akan menjadi besar. Mungkin...
ukiran ukiran yang masih asli pada papan penyangga tiang masjid |
kaligrafi yang masih jelas terbaca |
ingin rasanya tetap berlama-lama didalamnya sembari menikmati sejuknya suasana |
anggap saja model salah asuhan! |