“Bang, ke Jungle Fish yuks? Mumpung sudah di Ubud!” Viqi, merayu saya agar tidak balik dulu ke Legian tempat di mana saya memutuskan untuk menginap selama di Bali dalam beberapa hari ke depan.
Setali tiga uang, bang Bobby (virustravelling.com) juga mengangguk mengiyakan. “mumpung sudah di Ubud” begitu katanya. Saya masih terus menyeruput kopi Bali yang mulai dingin. Beberapa bebek mulai gatal dan genit berlarian di pematang sawah. Bilqis asyik masyuk bersama ibunya yang mulai lelah. Sedang Ziyad, masih duduk tenang untuk mengembalikan arwahnya yang sempat hilang di kejar monyet.
Terus terang, saya sedikit kecewa dan kesal. Pasalnya, gara-gara ke Forest Monkey Ubud! Awalnya, saat mendengar nama forest monkey, saya yang mulai sok konservasi ini sangat tertarik. Kali aja ada yang bisa dipelajari dan dibawa pulang ke Aceh untuk menjadi bahan konservasi. Begitulah pikiran saya yang lagi kemaruk konservasi ini. ada orang bicara konservasi, ada saya bicara konservasi. Entah apa, entah...
Monkey Forest Ubud
Berhubung ke Bali tidak ada ittenary khusus, jadilah akhirnya saya memutuskan ke Forest monkey. Sungguh! Ini semua hanya demi menghilangkan rasa penasaran dan sok konservasi. Butuh waktu satu jam untuk sampai ke monkey forest dari Loft Legian Hotel.
salah satu pura dari tiga pura yang ada di Forest monkey |
Kesan pertama masuk Monkey Forest? Saya shock karena harus mengeluarkan dua lembar uang bergambar soekarno hatta. Bagaimana tidak, di Banda Aceh, sangat susah ditemui tempat wisata yang biaya masuknya semahal ini. Dengan sedikit berlagak sok jadi blogger kayah, saya membeli dua tiket dewasa seharga 100.000 ( @50.000 x 2 dewasa) dan 80.000 untuk anak anak ( @40.000 x 2 anak). Totalnya? 180.000! muahal cyin..Cuma untuk lihat monyet?!
Jika bicara soal tempat, hutan monyet Bali ini sebenarnya bagus. Rapi malah. Track dari papan kayu yang disusun sangat teratur dan jelas arah petunjuknya. Ada yang mengarah ke pura, ada yang mengarah ke Holy Spring dan toilet.
sumpah, penasaran kali lah pengen masuk kedalamnya |
Saya, yang saat itu baru saja balik dari hutan desa ketambe dan merupakan kawasan taman nasional leuser, merasa sedikit dongkol. Bagaimana tidak, demi melihat monyet saja saya harus membayar mahal. Padahal, di kampung, monyet-monyet yang hampir sejenis ini bisa dengan mudah saya temukan di pinggir jalan lintas Banda Aceh- Sigli, lintasan Banda Aceh – Lamno, atau lintasan calang-Tapak Tuan. Mereka akan duduk dengan cantik di sepanjang jalan tersebut. Semuanya free free free! Tanpa bayar. Sedangkan di Ubud saya harus bayar Rp 180.000 demi melihat monyet!
Pelajaran dalam perjalanan kali ini adalah, siapkan uang yang banyak kalau ingin jalan-jalan ke kawasan yang bertemakan alam hijau. Terutama bagi kamu yang di kotanya sudah tidak ada lagi hutan! Dan bagi kamu yang masih ada hutan di kampungnya, maka belajarlah dari forest monkey Ubud di Pulau Bali ini.
Baca cerita lainnya tentang Bali
Harus saya akui, hutan ini menarik. Saya suka dengan cara mereka menatanya. Terlepas semua kekesalan saya akan mahalnya harga masuk demi melihat monyet (dibahas!), di sini, pada saat tertentu kamu bisa melihat prosesi ngaben atau ritual lainnya. Di dalam kawasan ini pula, ada tiga pura. Pura Dalem Agung, Pura Beji dan Pura prajawati yang terletak di area parkir lengkap dengan kuburan warga sekitar.
pemandangannya asyik memang, tapi monyetnya itu nggak nahan |
“Ayaaaah....ayaaah... tolong Yah..ayaaaah...” Ziyad menjerit, menangis dan lari terbirit-birit! Seekor monyet Bali betina besar dengan anak pada pangkuannya menarik-narik baju bagian belakang Ziyad. Suasana yang tadinya terkesan sunyi mulai menjadi gaduh. Saya harus melepas Bilqis dan istri untuk lari ke sumber suara teriakan Ziyad. Para penjaga kawasan hutan monyet pun tak kalah sigap. Tiba-tiba suasa benar-benar menjadi tegang.
Hap! Sejurus kemudian, bang Bobby sudah menangkap dan menggendong ziyad. Iya, bang Bobbylah yang menemani saya dan keluarga untuk jalan-jalan ke kawasan ini. kalau tidak ada bang Bobby, manalah saya paham kalau di Bali ada hutan monyet begini?
udah bisa senyum karena udah kenyang.. |
Jungle Fish? Hutan Ikan?
Rasa-rasanya saya malas menerima tawaran keliling di kawasan Ubud, Bali di siang itu. Mungkin, bila ada yang bertanya bagaimana Bali? Saya akan menjawab bali keren. Terutama dari segi manajemennya. Walaupun, saya harus menerima pil pahit dari kepintaran bali dalam mengelola wisatanya. Masuk hutan lihat monyet aja muahal, Gam!
Selesai makan siang di sebuah resto yang pemandangannya sawah lengkap dengan padi menghijau dan bebek genit berlarian di pematang sawah, saya akhirnya mengikuti ajakan bang Bobby dan Viqi ke Jungle fish.
Sumpah! Dengar namanya saja saya sudah mulai merasa aneh. Ini jangan-jangan kayak Forest monkey lagi. Udah mahal, hutan, dan cuma ada monyet doang! Jungle Fish, Hutan ikan? Ini mahal jugakah? Hutan dan cuma ada ikan mas koki doang kah?
Pikiran saya berputar-putar. Antara menebak-nebak seperti apakah daerah tujuan selanjutnya dengan terus menghitung sisa duit di ATM. Jangan-jangan biaya masuknya sama juga? Atau malah lebih mahal? Lalu saya teringat pesan dari almarhum nenek, jak beuto kalon beudeuh, bek rugoe meuh saket hate ( datanglah sampai tujuan, jangan rugi emas sakit hati). Siplah kalau begitu, saatnya melangkah kaki ke Jungle Fish.
Kesan pertama? Tempatnya cukup sepi sore itu. Jarum jam menunjukkan pukul lima sore. Tak lama lagi akan magrib. Bangunan berbahan kayu bergaya minimalis menyambut saya dan keluarga. Pramusaji dengan ramah mempersilahkan kami masuk.
“langsung ke kolam renang ya bang Yud” begitu kata Viqi yang terus berjalan bersama sang ibundanya. Jalan setapak ini terus menurun sampai pada akhirnya sebuah pemandangan yang menyejukkan tersaji di depan mata.
Pepohonan rimbun nan hijau, kolam ikan dengan ikan koi bukan mas koki. Beberapa tumbuhan bunga mempercantik tangga yang terus menurun sampai ke pinggir kolam renang infinity-nya. Tanpa ba bi bu, Ziyad dan bilqis sudah siap dengan pakaian renang ala ala mereka. Lalu, cebur...
Saya masih bengong dengan keadaan. Beberapa bule ada yang bersantai ditepian kolam. Bang bobby dan Viqi sudah nyebur duluan. Ternyata, Jungle Fish tak seperti yang saya bayangkan. Ini bukan Hutan Ikan, melainkan sebuah resto, swimming pool, spa atau apapunlah yang ada di situ. Intinya ini bukan hutan Ikan titik!
Bingung karena tak ada celana pendek, masa iya mandi pake kolor robek? Apa kata dunia? Untungnya bang Bobby berbaik hati meminjamkan celana cadangannya. Dan, jadilah sore menjelang magrib itu saya dan anak-anak menikmati kolam renang infinity kayak di instagram-instagram itu. Ah suka hati kalianlah, mau bilang saya kemaruk atau norak. Kapan lagi berlagak jadi orang kaya? Walaupun harga kopi dan kentang gorengnya bikin atm patah dan muka merengut, yang penting, tetap gaya.
So guys, buat kamu yang menghabiskan liburan atau tahun baru, mungkin, dua tempat liburan di Bali ini bisa kamu singgahi. Oh ya, siapkan juga bugdet lebih ya.. hehe
Fun Fact :
Fun Fact :
- masuk di bawah jam lima sore di Jungle Fish; orang dewasa bayar 150k rupiah
- kalau di atas jam 5 sore biasanya free yang penting pesan minuman