anak-anak di Gayo Lues tengah belajar ber Saman ( foto by : www.leuserlestari,com credit Zulfan Monika) |
Mukanya yang ramah tiba-tiba berubah. Menjadi tak lagi bersemangat. Sepertinya bathinnya bergumul. Merutuki keadaan yang sudah terlanjur salah. Saya, benar-benar merasa bersalah di siang itu. Ini semua, berawal dari sebuah pertanyaan yang sederhana.
“Apakah di sini, ada kelompok Tari Saman Wanita, Pak?”
Tak dinyana, pertanyaan itu membuat ruangan yang riuh menjadi diam. Seolah malaikat maut baru saja menyelesaikan tugasnya. Hening. Tak bergeming. Hanya angin yang bertiup dari lembah-lembah bukit Gayo Lues berusaha mencairkan suasana.
“inilah dia, semua orang sudah salah paham. Tari Saman itu, tidak ada penarinya yang perempuan” jawabnya datar. Sambil menahan bulir-bulir air mata yang mulai jatuh perlahan. Saya, hanya bisa mematung. Merutuki keadaan terus menerus. Ingin berteriak ke diri sendiri, Pantengong Kau Yud! Baru pertama kalinya ke Kabupaten Gayo Lues, bertemu dengan pejabat setempat, malah sebuah pertanyaan konyol yang kau tanyakan?!
Deg!
Jujur saja, saya adalah satu dari sekian puluh ribu orang di Indonesia ini yang tidak paham kalau sebenarnya Tari Saman, tidak ditarikan oleh kaum hawa. Lalu apa yang terlihat selama ini di setiap pentas, panggung, telivisi, dan acara-acara besar daerah ataupun Negara? Itu, tari apa?
Apakah kamu tahu, bagaimana Tari Saman yang sebenarnya? Lalu tarian yang ditarikan selama ini oleh kaum hawa, tari apa?
Tari Saman, oh Tari Saman...
pakaian asli penari Saman ( foto by www.lintasgayo.com) |
Sepulang dari pertemuan siang itu, saya berusaha menenangkan pikiran dengan minum kopi di salah satu warung yang ada di kota blangkejeren. Di sana, Supri, sudah menunggu. Dan mulailah Ia bercerita, setelah sebelumnya ia mengatakan, kenapa sampai saya tanyakan hal sekonyol itu kepada seorang pejabat daerah Gayo Lues.
Tapi, sekali lagi, saya begitu karena saya benar-benar tidak tahu. Media yang selama ini menjadi corong informasi tak pernah memberikan gambaran jelas mengenai apa dan bagaimana Tari Saman sebenarnya. Bahkan, kacaunya lagi, di Jakarta sana, tarian Saman yang versi kaum hawa ini, menjadi salah satu kegiatan kurikuler. Jadilah ia, tarian Saman versi wanita.
“Bang, Tari Saman, adalah tarian yang begitu melekat pada kami, orang Gayo, khususnya yang mendiami kabupaten Gayo Lues, Kabupaten Aceh Tenggara dan masyarakat Gayo yang berada di Kabupaten Aceh Tamiang (Tamiang Hulu), Aceh Timur (daerah Lokop atau Serbejadi). Sedangkan masyarakat Gayo yang ada di Kabupaten Aceh Tengah dan Kabupaten Bener Meriah mereka tidak punya Tari Tradisional Saman. Melainkan tari Didong.” Fakta awal yang disampaikan oleh Supri, membuat saya bengong. Tadinya saya berpikir kalau tari Saman adalah milik seluruh masyarakat Gayo, ternyata ada klasifikasi yang begitu detail.
Syahdan, menurut penuturan dari mulut ke mulut. Tarian Saman yang ada di kota seribut Bukit ini, dibawa oleh seorang Syeh Saman. Seorang ulama yang membawa Islam masuk ke tanah Gayo. Sedangkan menurut beberapa pendapat, dahulu, masyarakat Gayo telah mengenal Pok-ane, sebuah kesenian yang mengandalkan tepukan kedua belah tangan dan tepukan tangan ke paha sambil bernyanyi riang.
Lalu, syeh Saman, mulai memasukkan unsur-unsur Islam di dalam kesenian tersebut. Persis seperti kesenian wayang kulit yang digunakan oleh sunan kalijaga dalam menyebarkan Islam di tanah Jawa sana. Jadi, bukankah wajar kalau kaum hawa, tidak masuk dalam konteks tarian ini. Karena, dalam Islam, wanita dan pria tak boleh dicampur begitu saja.
ini bukan Tari saman, tapi Tari Ratoeh Duek ( foto : www.hananan.com ) |
“lalu kenapa ada wanita yang menarikan saman, bang Supri?” saya mulai tak sabar mendengar lebih detail darinya. Dia mulai bercerita mengenai kalau Tari Saman, memiliki proses yang panjang. Mulai proses Rinnenan, sampai Bejamu Saman. Supri memberikan jawaban tanpa jeda. Saya mulai kelimpungan dan pusing. Ternyata wajar, bila akhirnya Tari Saman, menjadi sebuah warisan dunia dalam hal non benda.
Tari yang dilebih diperuntukkan menyebar-luaskan Islam di tanah gayo, juga dijadikan sebagai ajang mencari jodoh. Loh kok? Iya, dalam prosesnya, Tari Saman ini menjadi sebuah media silahturahmi antar kampong atau desa. Setiap kali pemain tampil yang biasanya ditarikan oleh para Pemuda kampong tamu, maka, akan ada barisan pemudi-pemudi yang mencoba melirik-lirik calon suami. Uhuy..
“Itu tari kreasi bang. Kalau tidak salah, namanya, Tari Ratoeh Duek” supri menjawab singkat. Sekaligus membuat saya akhirnya paham dan menutup pembicaraan singkat kami mengenai Tari Saman. Kalau tari Saman yang kini heboh seantero bumi, bukanlah tari saman yang sebenarnya. Melainkan sebuah tari kreasi yang bernama Ratoeh Duek.
Perbedaan Tari Saman dengan Ratoeh Duek
Tari Saman dan Tari Ratoeh Duek, merupakan dua jenis tari yang sangat jauh berbeda. Berikut adalah perbedaannya yang berhasil saya kumpulkan dari berbagai sumber.
Inilah perbedaan Tari Saman dengan Tari Ratoeh Duek/Jaroe (editing by : stamalia.wordpress.com) |
- Tari Saman tidak ditarikan wanita, melainkan hanya pria dengan jumlah ganjil. Sedangkan Tari Ratoh Duek seluruhnya ditarikan wanita dengan jumlah genap.
- Tari Ratoh Duek dikendalikan oleh dua orang syahi (penyanyi syair di luar formasi duduk penari), sedangkan Tari Saman dikendalikan oleh seorang penangkat yang duduk di dalam formasi paling tengah.
- Syair Tari Saman selalu menggunakan Bahasa Gayo, sedangkan syair Tari Ratoh Duek menggunakan Bahasa Aceh.
- Tari Saman dibagi dalam beberapa gerakan atau bagian utama dalam posisi duduk; rengum, dering, salam, uluni lagu, lagu, anakni lagu dan penutup.
- Ratoh Duek ditarikan dengan gerakan dalam posisi duduk hanya terdiri dari gerakan tangan menepuk dada dan paha, gelengan kepala ke kanan dan ke kiri, gerakan duduk dan berlutut serta mempersilangkan jari dengan penari di sebelahnya yang dilakukan dengan urutan yang lebih fleksibel, dapat berubah dan dikreasikan sewaktu-waktu.
- Tari Saman tidak pernah diiringi oleh musik tradisional apa pun, sedangkan Tari Ratoh Duek sering kali diiringi oleh dentuman rapai
- Baju penari Saman adalah baju tradisional Gayo yang bernama baju Kantong lengkap dengan motif kerawang. Sedangkan tari Ratoeh Duek, menggunakan pakaian polos yang dipadu dengan songket Aceh.
Jadi, kawan, berhentilah menyebutkan tari Ratoeh Duek sebagai tari Saman. Karena tari Saman, merupakan sebuah identitas masyarakat Gayo dan Negeri Aceh yang tak boleh lekang dimakan jaman. Tak terbayangkan oleh saya, ketika masyarakat gayo berusaha mengembalikan identitas mereka melalui perhelatan tari Saman 10001 ( sepuluh ribu satu penari) yang akan dilaksanakan tanggal 13 Agustus 2017 mendatang.
kala Tari Saman Massal tahun 2015 lalu di Kabupaten Gayo Lues |
“dek Yudi, kami ini kabupaten baru, kami nggak punya apa-apa selain Hutan Leuser dan Tari Saman. Makanya, kami berharap dengan tari Saman ini, orang-orang seperti dek yudi akan mengenal kami lebih dekat.” Tutup obrolan saya dengan seorang pejabat di gayo lues pada siang itu. Setelah sebelumnya saya merasa begitu bersalah.
Begitulah, siang itu menjadi begitu bermakna. Pergulatan bathin mengenai tari Saman, akhirnya terselesaikan. Pun, saya berharap, kita mau menggunakan Tari Saman pada tempat yang semestinya.
Ah iya, hampir saya lupa. perbedaan yang paling mencolok dari kedua tarian ini adalah, salah satu tujuan dari Tari Saman adalah untuk mencari calon pengantin. Sedangkan tari Ratoeh Duek itu... ya gitulah.. hehe
**referensi : websitenya bang supri dkk